Senin, 30 Mei 2016

Erik & Helena : Skenario Untuk Semesta


            Sore itu, seorang pemuda berkacamata yang sedang duduk termenung di sebuah taman tiba-tiba berteriak “Beri aku kebahagiaan yang tak terhingga! Sehingga aku dapat bosan dengan kebahagiaan dan bisa secepatnya meninggalkan panggung sandiwara ini…” teriak pemuda itu ke arah langit yang hampir mendung, menandakan bahwa sore itu akan turun hujan. Setelah pemuda itu berteriak, datanglah seorang perempuan yang kebetulan sedang lewat dan menghampiri pemuda tersebut.
            Perempuan tersebut kira-kira usianya tidak jauh berbeda dengan pemuda tersebut, rambutnya hitam panjang dan wajahnya memancarkan cahaya seakan-akan dia membawa sebuah harapan untuk diberikan. Setelah pemuda tersebut kembali termenung, perempuan tersebut kemudian memposisikan diri untuk duduk disebelahnya dan mulai menyapa pemuda tersebut.
            “Bolehkan aku duduk di bangku ini?” Tanya perempuan tersebut.
            “Oh, silahkan. Maaf untuk teriakanku yang tadi.”
“Teriakanmu tadi menyebabkan seluruh orang di taman ini teralihkan perhatiannya, termasuk aku yang kebetulan sedang lewat.”
“Iya, tadi itu adalah sepersekian detik yang begitu hebat, aku benar-benar bisa menyampaikan segala keresehanku sebagai seorang manusia, ditambah dengan teriakan lantang yang ku persembahkan untuk semesta.”
“Siapa namamu?” Sembari bertanya, perempuan itu mengulurkan jabat tangan.
“Apakah penting untuk dirimu mengetahui siapa namaku? Sebenarnya aku juga sedang bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Tentang seorang perempuan tak dikenal yang tiba-tiba datang.”
“Aku hanya bertanya, lagipula akan lebih mudah kan jikalau kita mengobrol dan mengenal satu sama lain? Aku Helena. Salam kenal.” Perempuan tersebut tersenyum ke arah pemuda tersebut.
“Aku Erik.”
“Erik, apa yang sedang kau lakukan disini?” Tanya Helena yang semakin penasaran.
“Aku hanya menikmati keterlemparanku di dalam kehidupan ini. Bagaimana denganmu, Helena?
Sore di taman itu begitu tenang, tidak terlalu banyak orang disana. Sehingga Erik dan Helena bisa merasakan ketenangan yang disajikan oleh kolam, air mancur dan rerumputan hijau, serta rindangnya taman itu yang dikelilingi oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi. Ditambah burung-burung bertebangan bebas kesana kemari, dari satu pohon ke pohon lain. Kemudian mereka berkumpul menjadi suatu kelompok dan akhirnya terbang menuju senja.
Setelah Erik menjawab pertanyaan yang dilontarkan Helena, sejenak waktu berhenti di kepala Helena. Jawaban yang dirasa benar-benar mengguncang hati Helena sebagai seorang manusia. Tapi dia tetap berusaha untuk menutupi ekspresi kagetnya dan kemudian bertanya lagi “Apakah dengan begitu engkau akan menemukan kebahagiaan?”. Erik dengan tegas menjawab “Ya.”. Setelah percakapan singkat itu, mereka berdua akhirnya hanya bisa terdiam di bangku tersebut. Bangku dimana dua insan manusia yang sebenarnya sedang sama-sama mencari kebahagiaan dipertemukan.
“Aku pun sebenarnya sedang mengalami hal yang sama denganmu, Erik.”
“Apa maksudmu?” Erik begitu kaget dengan pernyataan Helena.
“Aku juga sedang mencari apa itu arti kebahagiaan.”
Kemudian Erik terdiam dan melanjutkan permenungannya. Matanya tetap fokus menatap air mancur yang tiada pernah kering, seperti halnya penderitaan manusia. Erik benar-benar semakin merasakan keterlemparannya di dunia ini, terlebih setelah mendengar pernyataan mengejutkan Helena yang tidak pernah diduga oleh Erik. Bagaimana mungkin seorang manusia yang sedang mengalami keterlemparannya di dalam hidup ini tetap bisa bermain sandiwara sedemikian rupa? Akhirnya Erik berbalik penasaran dan mulai melontarkan beberapa pertanyaan. Obrolan di sore hari itu pun dimulai.
“Kau hebat Helena!” Erik mengambil rokok di saku kiri bajunya, kemudian mulai menyalakan rokok tersebut. “Kau tidak keberatan kan jika aku merokok?”
“Oh silahkan, lagipula aku tumbuh di lingkungan para perokok, jadi itu sudah biasa.” Kemudian Helena juga mengeluarkan rokok dari tasnya, kemudia rokok menjadi teman bercengkerama mereka berdua.
“Sejak kapan kau mulai merokok?” Tanya Erik kepada Helena sembari menghisap rokoknya.
“Baru-baru ini, belum ada tiga bulan sepertinya, bagaimana denganmu?
“Sudah hampir setahun.”
“Belum lama juga ternyata.
Sudah hampir habis dua batang, tetapi obrolan mereka belum sampai pada inti keresahan mereka tentang kebahagiaan dan keterlemparan. Lalu langit sore itu mulai menangis ketika matahari perlahan mulai pergi meninggalkan taman itu. Sedikit demi sedikit semesta mulai membasahi bumi ini, memberikan kesegaran bagi mereka para pecinta hujan dan Erik adalah salah satunya. Hujan mulai turun, Helena sedikit khawatir apabila basah karena malam itu juga dia harus pergi ke sebuah pesta. Lalu dikeluarkannya payung hitam dari tas ransel berwarna biru muda.
“Apa kau tidak takut dengan hujan yang semakin deras?” Tanya Helena kepada Erik sembari membuka payung untuk melindungi mereka berdua dari kegelisahan semesta yang menangis.
“Tidak, aku menyukainya. Lagipula kau tidak perlu repot-repot untuk membagi payungmu denganku, biarkan saja hujan bersetubuh denganku di penghujung sore ini.” Lalu Helena menarik payungnya dan kali ini kita dapat melihat di sebuah bangku tua, ada dua insan manusia yang sedang merasakan keterlemparannya. Satu seorang pemuda dengan keberaniannya menghadapi hujan, satunya lagi seorang perempuan muda yang duduk dibawah lindungan paying hitam.
“Erik, sebentar lagi aku akan pergi. Kita belum sempat berbicara banyak hal mengenai Keterlemparan dan Kebahagiaan.”
“Pembicaraan kita sore ini terlalu sendu Helena.”
“Benar Erik.”
“Kalau begitu, aku tunggu kau di taman ini minggu depan. Bangku dan jam yang sama, silahkan datang apabila kau mau membicarakan banyak hal yang belum sempat tersampaikan sore ini.” Kemudian perlahan Erik mulai bangkit dari bangku tua tersebut.
“Terima kasih untuk waktunya Erik.” Helena tersenyum sambil menundukan kepalanya.
“Tidak masalah.” Erik berdiri dibawah amukan semesta yang semakin menjadi-jadi, sedangkan Helena masih duduk dan terdiam di bangku tua tersebut. “Bukankah kau harus menghadiri sebuah pesta mala ini?”
“Iya, tapi aku ingin semenit lagi disini.”
“Baiklah kalau begitu, sampai jumpa minggu depan Helena.” Kemudian perlahan-lahan Erik mulai berjalan ke luar taman, meninggalkan Helena yang masih duduk termenung seorang diri. Tiba-tiba Helena berteriak “Terima kasih semesta! Engkau telah memberiku jawaban atas ketakutan ini.” Kemudian Helena melempar payungnya dan berlari dibawah derasnya hujan sembari menggendong tas ransel. Dari kejauhan terlihat Erik menghentikan langkahnya dan melihat Helena yang sedang berlari menuju kearah matahari tenggelam.
Hujan semakin deras, Erik kemudian kembali ke taman tersebut untuk mengambil payung hitam Helena dan melanjutkan perjalanan pulang. Erik menjadi pusat perhatian orang-orang di sepanjang jalan menuju apartementnya. Bagaimana tidak, seorang pemuda berkacamata yang basah kuyup dan sama sekali tidak membuka payung hitam yang dibawa disebelah tangan kirinya. Tapi Erik tetap berjalan, seakan-akan dia mengisyaratkan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh Erik. Sebuah perlawanan atas kebiadaban peradaban beserta konstruksi tirani yang semakin menderu-deru membungkam kemanusiaan…………….. ( Bersambung )



*Sebuah cerita singkat dan apa adanya yang bersambung, mewakili segala hal yang ada di dalam benak KrunK maupun Carolus Dewangga. Terbit juga di carolusdewangga.tumblr.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar