Jumat, 11 September 2020

Tentang Pikiran dan Perasaan

 

        Apakah kalian pernah merasakan kebahagiaan dan kesedihan di waktu yang bersamaan? Terdengar cukup aneh, tapi pagi ini aku merasakan kedua hal tersebut secara bersamaan. Bahagia karena aku masih diberikan hidup, keluarga yang baik dan dapat menikmati pagi ini dengan segelas teh serta pemandangan burung-burung yang berterbangan di sekitar rumahku. Sedih karena menyadari bahwa dalam beberapa jam, hal-hal tersebut akan menghilang dan aku harus melanjutkan kehidupanku di usia dua puluh tiga yang menyebalkan. Aku benar-benar yakin bahwa kalian pernah merasakan hal-hal semacam ini.

            Manusia adalah makhluk yang menurut ku begitu kompleks dan rumit. Kita terdiri dari berbagai macam perasaan dan pikiran yang terus-menerus berubah dan saling mengisi satu sama lain, perpaduan komposisi itu pun bergantung juga pada suasana dan kondisi di sekitar kita. Bisa jadi kita merasakan kesedihan karena beberapa jam yang lalu kita baru saja dikhianati oleh orang yang kita cintai, tetapi di saat yang bersamaan bisa jadi kita harus berbahagia karena dikelilingi oleh orang yang benar-benar mencintai kita dan masih peduli dengan keberadaan kita.

Setelah melalui pergumulan dalam diri karena mempertimbakang perasaan dan pikiran, kita akan berakhir pada satu titik dimana keputusan harus segera diambil, apakah kita akan bersedih atau berbahagia. Tentu saja, secara tidak sadar kita akan berbicara dengan diri kita sendiri seperti orang gila, untuk menentukan respon seperti apa yang harus kita berikan terhadap sekumpulan kejadian yang sedang kita alami, atau hal yang paling mendasar adalah menentukan apa yang harus kita rasakan dan kita pikirkan untuk menjadi satu fondasi tertentu di dalam memenuhi diri kita sebagai manusia yang mewaktu dalam keadaan yang selalu berubah.

Beberapa orang akan mengikuti perasaan mereka, beberapa yang lain akan mengikuti pikiran mereka dan tidak ada yang salah dengan kedua hal tersebut karena pada akhirnya ini cuman persoalan preferensi. Beberapa teman-temanku menyadari biasanya mereka terlebih dahulu digerakan oleh perasaan, lalu kemudian dikendalikan oleh pikiran. Bisa jadi perasaan kita yang mendominasi, bisa pula pikiran kita yang jauh lebih bijak untuk mengendalikan keadaan. Perasaan tidak pernah salah, begitu pula dengan pikiran kita, hanya saja kesesuaian menjadi sesuatu yang biasanya mutlak bagi sebagian manusia di dalam menentukan respon yang paling tepat dalam suatu kondisi tertentu.

Bagi ku pribadi, perasaan dan pikiran seperti saudara kembar yang sering berkelahi karena memperebutkan hal-hal remeh, tetapi di saat yang bersamaan mereka berdua adalah saudara kembar yang saling melengkapi satu sama lain. Meskipun keduanya dapat hidup terpisah, tetapi kemungkinan akan lebih baik jika mereka hidup berdampingan dan saling menopang satu sama lain sebagai saudara yang memiliki keterikatan batin. Sesekali saudara kembar bernama perasaan dan pikiran tersebut berkelahi, untuk memperebutkan kendali atas diri kita. Sesekali pula saudara kembar tersebut saling bersinergi agar diri kita tidak kehilangan arah. Mereka berdua terkesan seperti “love hate relationship” tetapi dalam bentuk yang abstrak.

Sabtu, 05 September 2020

Pengampunan Imajiner

            Aku masih menantikan, hari-hari di mana aku tidak menghidupinya, menjadi yang satu dengan alam semesta dan menjadi yang tidak mewaktu dalam kehidupan. Tetapi hari-hari itu masih menjadi pertanyaan, entah kapan datangnya atau seperti apa rupanya, tidak ada satu pun manusia yang dapat menjelaskan dan membuktikannya secara penuh, bahkan pembahasan mengenai hal-hal tersebut hanya berputar disekitaran intepretasi dan nilai-nilai kebenaran yang relatif. Melalui segala perdebatan tentang seperti apa kematian nantinya, tentu kita sama-sama tahu bahwa pada suatu saat, semua manusia akan menepi dan berakhir.

            Beberapa orang mempercayai konsep surga dan neraka, beberapa yang lainnya tidak. Sebagian orang mempercayai konsep reinkarnasi, sebagian yang lainnya tidak. Ada juga yang mempercayai bahwa tidak ada apa-apa setelah kematian, pun demikian dengan hal-hal rumit yang lain. Entah akan seperti apa kematian nantinya, satu-satunya persoalan yang sangat menggangguku adalah mengenai bagaimana kita akan dibalas oleh semesta di kemudian hari. Untuk segala dosa, kesalahan dan kejahatan yang telah kita perbuat baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

            Pada suatu titik aku berpikir, jika nantinya benar-benar tidak apa-apa setelah kematian, akan sangat tidak adil bagiku ketika semua dosa, kesalahan dan kejahatan yang telah ku perbuat di dunia ini tidak dibalas. Aku berharap, lebih baik semesta membalas semua dosa dan kesalahan tersebut di dunia ini, ketika aku masih mewaktu dan menjadi manusia. Bagiku, orang-orang berdosa tidak membutuhkan pengampunan, dia hanya butuh dibalas dengan hal yang setimpal agar tidak lagi merasa gelisah dan bersalah.

Pengampunan bukanlah hubungan yang satu arah, bahkan sebenarnya kita tidak pernah tahu apakah semesta benar-benar mengampuni. Selama hidup di dunia ini, bisa saja kita hanya menghidupi pengampunan yang imajiner, sebuah pengampunan yang sebenarnya tidak pernah ada dan hanya hidup di dalam pikiran dan keyakinan kita. Bagiku pribadi, pengampunan akan lunas ketika kita sudah dibalas atas segala kesalahan dan perbuatan dosa di masa lampau. Bisa jadi pengampunan seperti itu dapat diterima oleh beberapa orang yang tidak dapat menerima pengampunan secara cuma-cuma seperti diriku saat ini.

Sampai sejauh ini, aku berharap, semoga semesta mau membalas semua kesalahan dan dosa yang telah ku perbuat. Tidak pada kematian, tetapi pada kehidupan.