Minggu, 07 Oktober 2018

UNTUK KALIAN, YANG MENANYAKAN MAKNA-ARTI-TUJUAN KEHIDUPAN

Bagi sebagian orang, mereka berpikir bahwa hidup adalah sesuatu yang luar biasa. Padahal, menurutku, hidup ini biasa saja. Kalau kata seorang bijak, yang hebat hanya tafsirnya. Tapi, terlepas dari hidup itu luar biasa atau biasa saja, setiap orang memiliki pilihan untuk menafsirkan kehidupannya berdasarkan apapun yang telah mereka hidupi. Singkatnya, yang absolut adalah betapa kompleksnya kehidupan itu sendiri karena masing-masing dari kita mencoba menafsirkannya.

Berbicara soal kehidupan, biasanya orang-orang akan berbicara diseputaran makna-arti-tujuan dan terus menerus diulang sampai mereka mati. Padahal hidup tidak melulu soal makna-arti-tujuan saja, karena di dalam kehidupan itu sesungguhnya banyak sekali yang dapat kita jelajahi, jika kita mau keluar dari sangkar bernama das sollen atau biasa kita tafsirakan sebagai sesuatu yang seharusnya maupun sesuatu yang telah disepakati oleh masyarakat pada umumnya.

Kematian telah disepakati sebagai sesuatu yang mengerikan, tragis dan semacamnya oleh masyarakat sehingga berimplikasi terhadap sebuah pemaknaan bahwa makna-arti-tujuan hidup adalah untuk tetap hidup dan tidak mati.
Kesedihan telah disepakati sebagai sesuatu yang murung, negatif dan semacamnya oleh masyarakat sehingga berimplikasi terhadap sebuah pemaknaan bahwa makna-arti-tujuan hidup adalah untuk berbahagia dan tidak bersedih.
Kesendirian telah disepakati sebagai sesuatu yang menyedihkan, mengenaskan dan semacamnya oleh masyarakat sehingga berimplikasi terhadap sebuah pemaknaan bahwa makna-arti-tujuan hidup adalah untuk menjadi homo homini socius, bukan menjadi seekor serigala penyendiri.

Makna-Arti-Tujuan kehidupan yang telah disepakai oleh masyarakat menjadikan manusia hidup di dalam sangkar bernama das sollen. Apakah ini baik? Apakah ini buruk? Jika kalian masih berpikir dengan cara seperti itu, saya berharap silahkan segera tinggalkan tulisan ini, karena hidup tidak sebercanda baik dan buruk. Manusia selalu berbicara persoalan seharusnya, seharusnya dan seharusnya. Seharusnya manusia itu berbahagia, seharusnya manusia itu tidak bunuh diri, seharusnya manusia itu bergaul bukan menyendiri dan berbagai macam "seharusnya" yang menjadikan tafsir atas kehidupan ini begitu hebat. Jadi apakah benar hidup kalian yang luar biasa itu adalah sesuatu yang otentik, original dan berasal dari diri kalian sendiri? Atau kalian hanya menghidupi fantasi orang-orang superior yang berhasil menciptakan sangkar das sollen bagi kita, manusia. Begitu pula sebaliknya untukku, ini adalah sebuah otokritik (semoga).

Jadi, bagiku hidup bukan soal bagaimana kita menjadi kaya, sukses dan berbahagia.
Bukan juga soal menjadi yang paling hebat, maha dan berkuasa.

Jika hidup hanya persoalan lahir, bertahan hidup dan mati.. Maka semua makhluk hidup juga sama halnya demikian.
Jika hidup hanya persoalan berpendidikan, bekerja, berkeluarga dan  membayar cicilan apapun itu, lalu mati.. Maka hampir seluruh manusia melakukan hal yang sama.
Jika hidup hanya persoalan menikah, memiliki keturunan dan mati.. Maka binatang pun juga melakukan hal yang serupa.
Jika hidup hanya persoalan bertarung mempertahankan kebenaran-kebenaran semu.. Maka peperangan akan terus menerus eksis.
Jika hidup hanya persoalan-persoalan yang statis, maka sampai sejauh apa kita bisa belajar dari persoalan-persoalan dinamis yang seringkali kita hindari.


Lalu, apa konklusinya? Tidak ada.. Silahkan tafsirkan sendiri.





*catatan: semoga kalian dapat merefleksikan kembali kenapa kalian memilih untuk tetap hidup.





Selasa, 29 Mei 2018

Pabrik Probabilitas

"Pada dasarnya, keterlemparan kita atas kompleksitas kehidupan ini hanya sebatas produksi makna terhadap pertempuran probabilitas yang penuh dengan ketidakpastian. Maka, selamat merayakan apapun itu!"

Sebatas memo singkat.
Ditulis, sembari berpikir probabilitas-probabilitas absurd.

Selasa, 06 Maret 2018

Identitas Manusia Hanya Sebatas Kebenaran


            Aku berdiri diantara dua lautan yang akan saling bertabrakan, laut disebelah kiri ku bernafaskan kebenaran, sedangkan laut disebelah kanan ku juga bernafaskan kebenaran. Apakah ada yang salah? Apakah kalian berharap bahwa laut yang satunya adalah yang bernafaskan kesalahan? Kenapa ujung-ujungnya membosankan seperti itu? Apakah kita tidak akan mencoba berpikir lebih jauh lagi? Mengambil sudut pandang yang lebih tinggi, melihat kebawah, bahwa keduanya adalah laut yang sama. Hanya dipisahkan oleh sekat, bernama kompleksitas relativitas.

            Berbicara soal benar dan salah, menyebalkan! Itu hanya soal relativitas, menyebalkannya lagi sangat kompleks untuk dipahami. Mengapa bisa begitu? Karena manusia terjebak di dalam dirinya sendiri, dia membangun kebenarannya, dia membangun senjatanya, dia membangun harga dirinya, dia membangun identitasnya. Mudahnya, identitas yang dimiliki oleh seorang manusia adalah kebenaran. Hal tersebut merupakan simplifikasi dari suku, agama, ras, golongan, ideologi dan sebagainya.

            Jika identitas manusia adalah kebenaran, maka mereka akan selalu berperang satu sama lain, meskipun sama identitasnya, tapi kebenaran itu adalah sesuatu yang berbeda-beda. Apakah itu menjadi masalah? Sepertinya begitu. Karena kebenaran diproduksi oleh mesin kompleks bernama manusia, didalamnya banyak sekali faktor pembeda seperti sejarah, kelas sosial dan keadaan sosialnya. Menyebalkan, jika melihat orang-orang saling berkontestasi untuk menjadi yang paling benar. Karena kebenaran itu relatif, selalu berubah mengikuti konteks, dasar logika bahkan egoisme manusia.

            Daripada meributkan identitas kebenaran kita, kenapa tidak saling mengingatkan bahwa identitas dasar kita adalah sama, manusia. Apakah itu terlalu sulit?

Minggu, 18 Februari 2018

Mendaki Gunung Lewati Lembah Sungai Mengalir Indah

Untuk kalian yang sedang menuruni bukit, lalu memutuskan untuk kembali mendaki gunung yang lebih tinggi,

            Sudah lama aku tidak menulis sepagi ini, ternyata sudah cukup lama pula aku tidak menyapa pagi. Apa kabar? Kalian yang saat ini mungkin sedang merasakan keresahan, kekhawatiran atau ketakutan akan hidup yang semakin hari semakin tidak menyediakan kepastian. Semoga tetap dalam keadaan yang memang seharunya, entah apapun itu keadaannya. Menjadi manusia memang merepotkan, jika aku bisa memilih, menjadi sebuah koin sepertinya jauh lebih baik. Hanya memiliki dua sisi, yang pasti dan tidak terlalu kompleks, pun paling menyedihkannya adalah berdiri diantara kedua sisi tersebut, gambar atau angka.
            Untuk kalian yang sedang menuruni bukit, lalu memutuskan untuk kembali mendaki gunung yang lebih tinggi, Jika boleh, ku ucapkan selamat atas pilihan yang menurutku gila, tapi jujur saja kalian yang memilih untuk kembali mendaki gunung adalah orang-orang yang berani dan perlu diapresiasi, apalagi memilih untuk mendaki gunung yang lebih tinggi, semoga berhasil mendobrak batasan yang ada! Jika kalian memutuskan sesuatu hal dengan kesadaran yang utuh, aku ucapkan selamat. Jika kalian memutuskan sesuatu hal dengan kesadaran yang tidak utuh, aku ucapkan semoga beruntung. Jika kalian memutuskan sesuatu hal tanpa kesadaran sama sekali, aku ucapkan “semoga kematian menemukan mu hidup.”
            Entah untuk memilih pulang ke rumah, kembali mendaki atau sekedar beristirahat sejenak, adalah masing-masing pilihan yang bebas dipilih. Begitu pula dengan resikonya, bebas datang, menetap dan pergi begitu saja. Bukan berpikir tentang konsekuensi atau capaian apa yang akan kita dapatkan, lebih sederhana dari hal tersebut, mari kembali mempertanyakan kepada diri sendiri. Apakah memang sudah siap? Siap untuk apapun yang akan terjadi, siap untuk kehidupan yang terkadang absurd atau bahkan sekedar bertanya, sudah siap kah kita untuk berkata siap?
            Begitu lah hidup, masih soal kemewaktuan. Tentang manusia yang temporer, mewaktu di dalam kemewaktuan yang sebenarnya tidak pernah menjadi waktu seutuhnya. Untuk sekedar hidup menjadi seorang fatalis, absurdis ataupun nihilis. Baik secara sadar maupun tidak sadar, baik secara siap maupun tidak siap, baik secara utuh maupun tidak utuh. Dari keterkaitan parsial tersebut aku menemukan sesuatu hal. Pada akhirnya, aku belajar bahwa hidup tidak melulu soal memperbaiki sesuatu yang terkadang kita anggap salah. Ada sebuah fase dimana kita diberikan pilihan untuk membiarkan, atau terjebak di dalam kompleksitas yang terkadang menuntut kita untuk mengkreasikan realitas sesuai dengan hasil produksi idealisme kita yang seharusnya dipertanyakan. Sudah siap kah kita membenturkan realitas dengan idealisme yang dapat menyebabkan diri kita rapuh?
Adakah yang perlu ditangguhkan, ketika membiarkan sesuatu terjadi begitu saja? Atau setidaknya, membiarkan sesuatu hal untuk tetap menjadi dirinya. Kenapa kita selalu memiliki hasrat untuk mengubah sesuatu hal yang padahal kita tidak pernah tahu apakah memang seharusnya dirubah?

Jumat, 09 Februari 2018

Menjadi Abu


Ya, perapian terakhir untuk malam ini. Kemudian aku memutuskan untuk menulis, tentang sesuatu yang seperti biasa tidak aku ketahui. Malam ini, selesai bekerja, aku sedang mendengarkan sebuah lagu yang dilantunkan oleh Julian Casablanca berjudul Ludlow St. Lagu yang sebenarnya memantikku untuk segera menulis, karena sudah beberapa hari belakangan ini aku mendapatkan banyak ide untuk menulis, hanya saja ide tersebut harus kalah dengan rutinitas dan kemalasan yang secara bersamaan bersinergi.

Mari kita mulai, tentang sesuatu yang terkadang hanya datang, untuk sekedar mampir. Tidak untuk menetap, atau bahkan singgah. Ya begitu lah, aku masih sepakat dengan pernyataan bahwa manusia adalah makhluk yang mewaktu dan temporer, jadi tidak perlu dipermasalahkan dengan konsistensi mereka terhadap suatu hal. Waktu adalah musuh sekaligus kawan bagi manusia, sadar sekaligus tidak sadar, waktu adalah seperangkat kompleksitas yang menempa manusia, melalui pengalaman dan prahara nya masing-masing.

Tidak semua hal perlu dijelaskan, didefinisikan atau dipahami secara rasional. Ada beberapa hal yang memang perlu dibiarkan begitu saja, untuk sekedar diterima sebagai sesuatu yang tak masuk akal. Atau sesuatu hal lain yang memang tidak menyimpan apa-apa dibalik kemewaktuannya. Seperti hal nya hukum sebab akibat yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Hidup bukan sekedar soal sebuah alasan dan kejadian. Paling mudahnya hidup tidak melulu soal benar dan salah.

Tentang hitam dan putih, sesuatu hal yang menjadi sebuah analogi pertempuran dialektika manusia. Mereka terjebak di dalamnya, tidak banyak yang memilih untuk menjadi abu-abu di dalamnya. Pun, memilih menjadi abu-abu tetap memiliki dua sisi, karena itu disebut sebagai abu-abu. Ada yang memilih karena bijaksana, ada yang memilih karena sesungguhnya memang mereka tidak memilih. Mereka tetap menjadi abu-abu, namun dalam spektrum yang berbeda. Bukan kah itu rumit? Mungkin…

Sebagian memilih untuk terburu-buru, sebagian lagi memilih untuk tidak. Tapi, ada juga yang memilih untuk melakukan keduanya secara bersamaan, dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi tidak ada yang benar juga dengan hal tersebut.




Selasa, 02 Januari 2018

Pertempuran Resoulusi Bernama Kesemogaan


            Tahun baru, apakah semuanya harus baru? Ah terkadang manusia suka bercanda. Terkadang yang baru tidak selamanya lebih baik. Ada beberapa hal, tentang perubahan dan pembaharuan yang kadang tidak disukai manusia. Apa saja? Pikir sendiri, silahkan kontemplasi kan, berhubung masih awal tahun. Semoga, semoga dan semoga, adalah mantra yang cukup membosankan. Sebuah pemahaman tentang ekstasi ekspetasi, tapi begitu lah manusia dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi, apa kalian tidak Lelah dengan kata semoga, dan seakan-akan kata tersebut adalah mimpi buruk yang akan menghantui kalian selama tahun ini berjalan, mau tidak mau, semoga adalah selayaknya kekasih yang harus diperlakukan dengan luar biasa. Cukup melelahkan bukan? Hidup di dalam ke-semoga-an.

            Tentang kesemogaan atau ke-semoga-an, adalah hal yang cukup melelahkan, tapi kata manusia-manusia di peradaban ini, itu adalah hal yang baik dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Lagi-lagi aku sepakat, tapi untuk apa hidup jika hanya menjadi budak kesemogaan tersebut? Hidup untuk mengejar sebuah sumpah serapah, atas kesmeogaan yang harus direalisasikan dalam pertempuran resolusi. Yah, itu adalah pilihan. Tapi aku yakin, sebagian ada yang sadar dan sebagian ada yang tidak, dan aku sepakat. Lalu apa sesungguhnya poin terpenting dari kesemogaan? Mungkin tidak ada, atau bersembunyi, atau sebenarnya tidak ada lalu seakan-akan dibuat ada, siapa yang tahu..

            Sebuah siklus, yang terus menerus diulang. Tapi hebatnya manusia ada disitu, mereka tidak lelah, kapok pun tidak. Betapa hebatnya manusia, mereka terjun ke dalam pertempuran resolusi, mereka bertarung mati-matian, ada yang selamat, ada yang tidak. Lalu setelah itu mereka kembali lagi, melakukan hal yang sama, melakukan perjuangan yang sama. Untuk kesmeogaan yang kadang tidak pernah mereka sadari untuk apa, mungkin untuk dua kata yang terkesan sangat pragmatis bernama “lebih baik.”. Hmmmm, tidak ada apa-apa di puncak sana, setelah lebih baik lalu apa? Tentu menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya, dan akan terus seperti itu, lalu mati. Sungguh, sebuah roman yang sangat “epic”, diceritakan oleh para manusia.



Oleh peradabannya sendiri, oleh naskahnya sendiri dan oleh repetasinya sendiri.