Selasa, 29 Desember 2020

Jika Tidak Ada Hari Esok Untukku

Jika tidak ada hari esok untukku

Memilih untuk tetap hidup hingga hari ini adalah keputusan yang tepat

Pernah pada suatu ketika aku memutuskan untuk menyudahinya

Tetapi entah apa yang menghentikanku pada sore hari itu.


Jika tidak ada hari esok untukku

Hujan di sore hari adalah momen terbaik untuk berkontemplasi

Matahari pagi adalah momen terindah untuk bermimpi

Dan malam yang sunyi adalah momen terbaik untuk menyendiri.


Jika tidak ada hari esok untukku

Salah satu hal yang paling ku inginkan adalah berkeluarga

Kelak menjadi seorang Ayah dan Suami yang keren tentunya

Tidak terlalu kaya, tetapi tidak terlalu miskin juga. Secukupnya dan berbahagia.


Jika tidak ada hari esok untukku

Ketahuilah bahwa aku benar-benar bersyukur

Untuk kehidupan yang begitu luar biasa hebatnya

Dan aku menjalaninya secara utuh dengan penuh kesadaran.


Jika tidak ada hari esok untukku

Aku pernah bermimpi akan menjadi seseorang di kemudian hari

Seseorang yang akan merubah dunia menjadi tempat yang lebih baik

Bisa melalui jalur politik, musik, tulisan atau menjadi Romo sekalipun.

 

Jika tidak ada hari esok untukku

Sepertinya aku masih mengharapkan seseorang dari masa lalu

Sungguh, wanita itu sering kali hadir di dalam kepalaku

Setidaknya sebulan sekali selama sepuluh tahun kebelakang.

 

Jika tidak ada hari esok untukku

Banyak sekali imajinasi dan pemikiran gila di kepalaku

Mengenai hal-hal yang penting dan tidak penting

Seperti nyata atau tidaknya kehidupan kita hari ini.

 

Jika tidak ada hari esok untukku

Menurutku, hamburger adalah makanan paling lezat di dunia

Sedangkan kopi adalah minuman paling enak di muka bumi

Dan rokok serta alkohol adalah sesuatu yang rasanya biasa-biasa saja.

 

Jika tidak ada hari esok untukku

Keluargaku memang tidak sempurna, tetapi aku menyayangi mereka

Terkadang mereka menyebalkan, tetapi selalu hadir di barisan terdepan

Mereka adalah salah satu hal yang paling ku syukuri di kehidupan ini.

 

Jika tidak ada hari esok untukku

Sampai detik ini aku masih sering memikirkan masa lalu

Tentang segala hal yang sudah terjadi dan lewat begitu saja

Jikalau sempat, akan ku buat mesin waktu untuk kembali berkunjung.

 

Jika tidak ada hari esok untukku

Green Day adalah band yang benar-benar luar biasa

Lagu Jesus of Suburbia sangat berperan besar dalam kehidupanku.

Dan American Idiot adalah album paling gila.

 

Jika tidak ada hari esok untukku

Semoga lunas sudah hutang yang harus dibayar

Tidak sepantasnya manusia sepertiku hidup lebih lama

Atas segala kesalahan tragis dan menyedihkan di masa lalu.

 

Jika tidak ada hari esok untukku

Semoga kita bisa bertemu kelak

Aku ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya

Sebagai seseorang yang seharusnya bertanggung jawab.

 

Jika tidak ada hari esok untukku

Mungkin memang sepantasnya seperti itu

Karena aku adalah sepersekian yang tidak signifikan

Dan memang begitu adanya, di dalam kemewaktuan yang temporer.

 

Jika tidak ada hari esok untukku

Sesungguhnya, banyak sekali hal yang ingin ku lakukan di dunia ini

Entah apakah masih ada cukup waktu dan kesempatan bagiku

Di dalam keterlemparan yang tidak bertuan.


Di antara hidup dan mati, pada sebuah perayaan yang tragis.

Yogyakarta, 30 Desember 2020.


Jumat, 11 September 2020

Tentang Pikiran dan Perasaan

 

        Apakah kalian pernah merasakan kebahagiaan dan kesedihan di waktu yang bersamaan? Terdengar cukup aneh, tapi pagi ini aku merasakan kedua hal tersebut secara bersamaan. Bahagia karena aku masih diberikan hidup, keluarga yang baik dan dapat menikmati pagi ini dengan segelas teh serta pemandangan burung-burung yang berterbangan di sekitar rumahku. Sedih karena menyadari bahwa dalam beberapa jam, hal-hal tersebut akan menghilang dan aku harus melanjutkan kehidupanku di usia dua puluh tiga yang menyebalkan. Aku benar-benar yakin bahwa kalian pernah merasakan hal-hal semacam ini.

            Manusia adalah makhluk yang menurut ku begitu kompleks dan rumit. Kita terdiri dari berbagai macam perasaan dan pikiran yang terus-menerus berubah dan saling mengisi satu sama lain, perpaduan komposisi itu pun bergantung juga pada suasana dan kondisi di sekitar kita. Bisa jadi kita merasakan kesedihan karena beberapa jam yang lalu kita baru saja dikhianati oleh orang yang kita cintai, tetapi di saat yang bersamaan bisa jadi kita harus berbahagia karena dikelilingi oleh orang yang benar-benar mencintai kita dan masih peduli dengan keberadaan kita.

Setelah melalui pergumulan dalam diri karena mempertimbakang perasaan dan pikiran, kita akan berakhir pada satu titik dimana keputusan harus segera diambil, apakah kita akan bersedih atau berbahagia. Tentu saja, secara tidak sadar kita akan berbicara dengan diri kita sendiri seperti orang gila, untuk menentukan respon seperti apa yang harus kita berikan terhadap sekumpulan kejadian yang sedang kita alami, atau hal yang paling mendasar adalah menentukan apa yang harus kita rasakan dan kita pikirkan untuk menjadi satu fondasi tertentu di dalam memenuhi diri kita sebagai manusia yang mewaktu dalam keadaan yang selalu berubah.

Beberapa orang akan mengikuti perasaan mereka, beberapa yang lain akan mengikuti pikiran mereka dan tidak ada yang salah dengan kedua hal tersebut karena pada akhirnya ini cuman persoalan preferensi. Beberapa teman-temanku menyadari biasanya mereka terlebih dahulu digerakan oleh perasaan, lalu kemudian dikendalikan oleh pikiran. Bisa jadi perasaan kita yang mendominasi, bisa pula pikiran kita yang jauh lebih bijak untuk mengendalikan keadaan. Perasaan tidak pernah salah, begitu pula dengan pikiran kita, hanya saja kesesuaian menjadi sesuatu yang biasanya mutlak bagi sebagian manusia di dalam menentukan respon yang paling tepat dalam suatu kondisi tertentu.

Bagi ku pribadi, perasaan dan pikiran seperti saudara kembar yang sering berkelahi karena memperebutkan hal-hal remeh, tetapi di saat yang bersamaan mereka berdua adalah saudara kembar yang saling melengkapi satu sama lain. Meskipun keduanya dapat hidup terpisah, tetapi kemungkinan akan lebih baik jika mereka hidup berdampingan dan saling menopang satu sama lain sebagai saudara yang memiliki keterikatan batin. Sesekali saudara kembar bernama perasaan dan pikiran tersebut berkelahi, untuk memperebutkan kendali atas diri kita. Sesekali pula saudara kembar tersebut saling bersinergi agar diri kita tidak kehilangan arah. Mereka berdua terkesan seperti “love hate relationship” tetapi dalam bentuk yang abstrak.

Sabtu, 05 September 2020

Pengampunan Imajiner

            Aku masih menantikan, hari-hari di mana aku tidak menghidupinya, menjadi yang satu dengan alam semesta dan menjadi yang tidak mewaktu dalam kehidupan. Tetapi hari-hari itu masih menjadi pertanyaan, entah kapan datangnya atau seperti apa rupanya, tidak ada satu pun manusia yang dapat menjelaskan dan membuktikannya secara penuh, bahkan pembahasan mengenai hal-hal tersebut hanya berputar disekitaran intepretasi dan nilai-nilai kebenaran yang relatif. Melalui segala perdebatan tentang seperti apa kematian nantinya, tentu kita sama-sama tahu bahwa pada suatu saat, semua manusia akan menepi dan berakhir.

            Beberapa orang mempercayai konsep surga dan neraka, beberapa yang lainnya tidak. Sebagian orang mempercayai konsep reinkarnasi, sebagian yang lainnya tidak. Ada juga yang mempercayai bahwa tidak ada apa-apa setelah kematian, pun demikian dengan hal-hal rumit yang lain. Entah akan seperti apa kematian nantinya, satu-satunya persoalan yang sangat menggangguku adalah mengenai bagaimana kita akan dibalas oleh semesta di kemudian hari. Untuk segala dosa, kesalahan dan kejahatan yang telah kita perbuat baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

            Pada suatu titik aku berpikir, jika nantinya benar-benar tidak apa-apa setelah kematian, akan sangat tidak adil bagiku ketika semua dosa, kesalahan dan kejahatan yang telah ku perbuat di dunia ini tidak dibalas. Aku berharap, lebih baik semesta membalas semua dosa dan kesalahan tersebut di dunia ini, ketika aku masih mewaktu dan menjadi manusia. Bagiku, orang-orang berdosa tidak membutuhkan pengampunan, dia hanya butuh dibalas dengan hal yang setimpal agar tidak lagi merasa gelisah dan bersalah.

Pengampunan bukanlah hubungan yang satu arah, bahkan sebenarnya kita tidak pernah tahu apakah semesta benar-benar mengampuni. Selama hidup di dunia ini, bisa saja kita hanya menghidupi pengampunan yang imajiner, sebuah pengampunan yang sebenarnya tidak pernah ada dan hanya hidup di dalam pikiran dan keyakinan kita. Bagiku pribadi, pengampunan akan lunas ketika kita sudah dibalas atas segala kesalahan dan perbuatan dosa di masa lampau. Bisa jadi pengampunan seperti itu dapat diterima oleh beberapa orang yang tidak dapat menerima pengampunan secara cuma-cuma seperti diriku saat ini.

Sampai sejauh ini, aku berharap, semoga semesta mau membalas semua kesalahan dan dosa yang telah ku perbuat. Tidak pada kematian, tetapi pada kehidupan.

Minggu, 09 Agustus 2020

Ketidakpercayaan dan Keheningan

Ditulis sesingkat-singkatnya.

Pada akhirnya, kita akan berakhir di pemakaman seorang diri. Bahkan perayaan-perayaan orang terkasih hanya menjadi pelepasan euforia semata, setelah itu sisanya hanyalah serangkaian rutinitas dan formalitas. Benar-benar tidak ada yang lebih mengerikan selain menghadapi kenyataan bahwa kita akan menepi, berhenti lalu mati. Tetapi memang begitulah adanya, serangkaian kehidupan beserta kematian, sekumpulan yang kompleks dan membuatku ingin meledak. Menjadi berkeping-keping dan bergeming. Bukan kah itu yang sebenarnya selama ini engkau cari? Atau justru alasan itu hanya dalih di balik akumulasi ketakutan terhadap ketidakjelasan dan ketidakpastian? Bisa jadi keduanya.

            Di dalam kesendirian, aku belajar mengenai ketidakpercayaan dan sampai detik ini aku menghidupinya. Tentang ketidakpercayaan terhadap apapun, bahkan terhadap yang absolut sekalipun. Karena kepercayaan melahirkan pengkhianatan dan dari situ roda berjalan bernama dendam tertanam abadi, di setiap nadi. Mengalir dalam darah yang menghidupi manusia, yang sebagian berhasil mengenal belas kasih, tetapi tidak dengan yang sebagian. Lalu berakhir dengan betapa biadabnya kita, manusia, yang saling mengkhianati satu sama lain. Bersama ego, yang saling berlomba satu sama lain, menjadi yang paling.

            Pemakaman di dunia ini berbagai macam bentuknya, bisa sebidang tanah, sebuah wadah atau seluas berkah. Tetapi satu yang pasti, mereka sudah tidak lagi dikhianati karena yang menjadi teman abadi adalah kesendirian. Seorang teman bernama kesendirian memberikan sebuah garansi, bahwa dia tidak akan pernah mengkhianatimu atau setidaknya mempermainkanmu. Kesendirian justru mengjarkanku banyak hal mengenai hidup dan mati. Bahkan beberapa pelajaran yang tidak akan aku pernah dapatkan di tempat lain. Dari situ, aku mengetahui bahwa kehidupan ini hanyalah sekumpulan pertaruhan pilihan dan konsekuensinya.

            Aku belajar bahwa baik untuk tidak terlalu cepat memberikan kepercayaan kepada orang lain, tetapi aku kemudian belajar bahwa akan semakin lebih baik lagi ketika tidak memberikan kepercayaan kepada orang lain, bahkan kepada diri sendiri. Terdengar membingungkan, aku pun demikian. Tetapi dari ketidakpercayaan tersebut, setidaknya aku tidak lagi hidup dalam ketakutan karena aku tahu pada akhirnya tidak ada sesuatu hal yang akan ku dapatkan di kemudian hari, selain kesendirian dan keheningan. Tetapi itu lebih baik, dibandingkan dengan  pengkhianatan dan dipermainkan, oleh sekelompok mamalia bernama manusia.


Rabu, 27 Mei 2020

Tentang Sesuatu Di Luar Kendali Kita.


Memperingati 1 tahun pembicaraan tentang hidup, bersama Astri..

“Sore itu, tepatnya tanggal 27 Mei 2019 di Yogyakarta, adalah hari yang menurutku cukup bersejarah dalam hidupku, karena kebetulan dan ketidaksengajaan percakapan yang kami alami di sebuah gereja tua.”

(Maaf cuman ada foto ini waktu di Gereja HAHAHA)

          Aku masih ingat betul, sore itu kami bercengkerama membicarakan kehidupan dari berbagai macam sudut pandang. Lalu yang menjadikannya lebih spesial adalah spontanitas yang terjadi di hari itu, tidak ada dalam rencana kami berdua untuk bertemu dan membicarakan hal yang cukup berat, terlebih muda-mudi seperti kami tentu akan memilih cafe atau tempat nongkrong yang lain untuk sekedar bersua dan berbincang. Tetapi hari itu, kami memilih gereja dan lagi-lagi hasil dari spontanitas, mungkin lebih tepatnya adalah sesuatu yang sebenarnya dibiarkan terjadi begitu saja. Seakan sesuai dengan kehendak semesta, entahlah.
         Astri memulai pembicaraan dengan menceritakan kondisi kehidupannya, tentu saja karena sudah lama kami tidak bertemu dan berbincang seperti ini, biasanya hanya sekedar berbalas sapa di Instagram. Dia menceritakan dengan penuh antusiasme, sudah lama aku tidak melihat orang bercerita seperti ini. Tetapi ada sesuatu yang membuat ku penasaran, tentang apa yang sebenarnya dia rasakan dan sedang dialami oleh dirinya. Entahlah, mata seorang manusia sulit untuk menyembunyikan sesuatu hal yang sedang dia rasakan, dan aku tau bahwa ada hal berat yang sedang dipikulnya pada saat itu.
       Tanpa perlu hitungan jam, kemudian Astri menceritakan tentang prahara dalam hidupnya. Sesuatu yang menjadi pertanyaan terbesarku pada hari itu, karena sangat random sekali kami berdua berbincang seperti ini dan baru direncanakan beberapa jam sebelum akhirnya kami bertemu, terlebih kami berbincang di sebuah gereja tua, cukup menjadikan momen tersebeut sebagai sesuatu yang terkesan sangat drama sekali dan layak untuk diangkat ke layar lebar (sepertinya, hahaha). Akhirnya terjawab sudah, tentang apa yang diceritakan oleh Astri melalui kedua bola matanya beberapa menit yang lalu. Sebuah pergumulan hebat, antara dirinya dengan situasi yang tidak bisa ia kendalikan atau bahkan dimenangkan. Suatu kondisi dimana manusia dipaksa untuk bertarung melawan kehendak semesta yang terkadang sulit untuk dipahami.
Terlepas dari cerita detail tentang apa yang sebenarnya sedang dia alami, masing-masing manusia memiliki batasan dan indikator yang berbeda di dalam melihat kehidupan ini. Tetapi, penderitaan dan rasa sakit adalah sesuatu hal yang hampir sama di mata semua manusia, tinggal kategorisasi dan kadarnya saja yang berbeda. Dan Astri, pada hari itu telah melewati batas dari rasa sakit dan penderitaan yang sedang dia alami. Dia selamat dari penderitaan tersebut, baik secara fisik, mental, batiniah dan sebagainya dengan sehormat-hormatnya seperti seorang prajurit perang yang dihujani oleh ribuan peluru kehidupan. Setidaknya, ini yang ku ketahui melalui perbincangan kami.
Tentu saja rasa sakit yang tidak berkesudahan menjadi salah satu bagian dari penderitaan yang akan dialami oleh manusia, pada suatu momen, pada suatu hari nanti, seperti kata Nietzche bahwa ”to live is to suffer” dan aku sepakat bahwa hidup ini adalah rangkaian dari penderitaan yang sesungguhnya juga mengajarkan kita banyak hal. Melalui penderitaan, kita dipaksa untuk mengidupi kehidupan di titik terendah, dimana pembelajaran hidup banyak kita dapatkan di jurang tersebut. Tetapi sore itu, aku belum melihat adanya pembelajaran yang Astri dapat kan dan tentu menjadi hal yang wajar karena belajar adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu dan sifatnya tidak instan seperti indomie.

-----------

Hampir setahun berlalu, tepatnya pada tanggal 16 Mei, seminggu yang lalu, kali ini giliranku yang menginisiasi sebuah pembicaraan hidup. Tentu saja karena ketersesatanku di persimpangan hidup yang begitu membingungkan dan kali ini tidak bisa ku jawab seorang diri. Aku tidak tahu pasti kenapa aku memilih Astri sebagai teman berbincang pada hari itu, tetapi keputusan yang tidak berdasar tersebut pada akhirnya berbuah baik, karena jalan gelap di persimpangan hidupku telah kembali terang, meskipun masih membingungkan, tapi setidaknya jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Ternyata, semua pertanyaan dan ketersesatanku dalam hidup ini sudah terlebih dahulu dilewati oleh Astri, tepat setahun yang lalu. Sebuah pergumulan yang ternyata memberikan Astri banyak pelajaran hidup, kini menjadi suatu contoh pembelajaran yang akhirnya membantuku di dalam ketersesatan dan persimpangan hidup ini, terlebih dengan rekomendasi buku yang dia berikan berjudul “Man’s Search For Meaning” karya Victor E. Frankl seorang psikiater yang pernah menjadi tahanan Nazi dan selamat dari tragedi holocaust tersebut.
Frankl banyak menceritakan kisah hidupnya selama masa-masa suram dan mengerikan yang menjadikanku cukup menganggukan kepala, karena dia belajar dari sebuah pengalaman yang luar biasa, sebuah pengalaman yang harganya adalah kematian dan penderitaan, sebuah pengalaman yang belum tentu semua orang mampu mengambil peran tersebut Ada 1 bagian dari buku tersebut yang menurutku cukup menarik dan sangat teknis sekali mengenai makna kehidupan. Frankl mengatakan bahwa ada 3 cara untuk menemukan makna kehidupan,
     (1) dengan menciptakan karya atau melakukan perbuatan;
     (2) dengan mengalami sesuatu hal atau bertemu seseorang;
     (3) dengan sikap yang kita ambil terhadap penderitaan yang tak terhindarkan.

(Oiya bakalan jadi konten di Youtube juga heuheu)

Selama bercengkerama 3 jam melalui video call, Astri selalu mengulang beberapa hal soal respon dan stimulus. Sebelum membaca buku tersebut, aku agak kesulitan memahami konteks pembicaraan yang dimaksudkan oleh Astri. Tetapi semuanya menjadi berbeda setelah aku selesai membaca buku tersebut. Kini aku menjadi semakin paham dengan apa yang Astri bicarakan pada hari itu soal penderitaan, makna hidup dan mengelola respon diri terhadap suatu kejadian yang sekiranya tidak kita kehendaki. Aku benar-benar salut dengan Astri yang mampu melewati pergumulan hidupnya dan menang, terlebih dia juga berhasil membantuku untuk tidak tersesat di persimpangan hidup ini. Well, I respect you so much As3!
Ada sebuah persamaan diantara Astri dan Frankl, mereka berdua adalah seseorang yang selamat dari pertempuran hidup yang kecil probabilitasnya untuk dimenangkan. Tetapi harus dipahami bahwa setiap manusia memiliki batasan dan indikator yang berbeda, tetapi sejauh yang ku ketahui, mereka berdua sama-sama bertarung diujung tebing kehidupan yang bisa saja menyebabkan mereka jatuh ke dalam jurang kematian, kapan pun ketika mereka lengah atau memutuskan untuk menyerah. Astri dengan pergumulan dan rasa sakitnya, Frankl dengan holocaust dan harapan hidupnya, adalah sebuah lentera yang menerangi persimpangan dan teka-teki kehidupaku saat ini.
Ketika membaca buku tersebut, aku membayangkan bagaimana bisa seorang tahanan nazi yang dimasukan ke dalam penjara dan menjalani kehiduan yang sangat berat, bisa selamat dan menuliskan buku yang menurutku terlampau hebatnya. Mari bayangkan kehidupannya yang begitu terpuruk, bahkan untuk sekedar selamat dari segi psikis adalah sebuah keniscayaan, tetapi Frankl mampu melewatinya dan menjabarkan kisah hidupnya ke dalam buku tersebut. Lalu bagaimana dengan Astri? Sama halnya dengan Frankl, Astri juga mengalami penderitaan yang menurutku cukup memberikanku alasan untuk mengakhiri hidup, tetapi dia memilih untuk tetap bertahan dan memenangkan pergumulan tersebut.  Percaya atau tidak, rasa sakit yang dialami Astri begitu mengganggu dan menyebalkan.
Melalui kisah hidup Astri, aku banyak belajar mengenai makna kehidupan yang sebenarnya dapat kita temukan di mana saja dan kapan saja, bahkan pada situasi-situasi tersulit yang pernah kita alami. Melalui buku yang ditulis oleh Victor E. Frankl, aku banyak belajar bahwa ada satu kebebasan mutlak yang tidak bersyarat yang selama ini ku cari keberadaannya, yaitu kebebasan kita dalam memilih respon terhadap tragedi atau komedi yang terjadi dalam hidup kita sebagai seorang manusia yang terlempar dalam kemewaktuan temporer ini. Baik Astri maupun Frankl, aku belajar dari mereka bahwa kontrol diri kita adalah apa yang akan menyelamatkan kita dari tantangan kehidupan yang tidak pernah kita ketahui seberapa beratnya di kemudian hari.
Sesungguhnya, cukup gatal sekali tangan ini untuk menuliskan apa yang sebenarnya sedang Astri alami, tetapi aku tetap memilih untuk tidak menuliskannya dan menjadikan hal tersebut tetap di ranah privat, tentu saja karena aku menghargai Astri yang sudah mau dan mempercayakan cerita tersebut kepadaku. Terima kasih! Aku juga belajar banyak dari cerita tersebut. Terutama soal apa itu keteguhan hati dan semangat seorang petarung kehidupan dalam perjuangannya melawan keinginan semesta yang terkadang berbanding terbalik dengan keinginan manusia yang harus serba ideal.
Berbicara soal semesta, adalah sesuatu yang berada di luar diri kita dan bahkan kita sama sekali tidak memiliki kendali atasnya. Semesta adalah sesuatu yang maha dan melebihi, sedangkan kita ada di dalamnya dan hanya menjadi sepersekiannya. Semesta berkehendak atas apapun yang akan terjadi dalam hidup kita, ambil contoh dengan keberuntungan atau kesialan yang terjadi dalam kehidupan kita, dan ambil contoh yang paling ekstrim ketika kemungkinan terjadinya hal tersebut begitu kecil. Terkadang kita akan tersadar tentang sesuatu dalam hidup ini yang tidak memiliki kendali atas apapun, sesuatu yang benar-benar absurd dan dikehendaki oleh semsta.
Melalui pemahaman tersebut, ada satu hal yang ku pelajari dari Astri, bahwa kita tidak selalu dan sepenuhnya memiliki kendali atas sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, terlebih sesuatu yang berasal dari luar diri kita. Dan pada hari itu aku masih berpikir bahwa bisa mengontrol dan menaklukan hal-hal di luar kendaliku, sehingga kesialan bisa menjauh dan lebih di dekatkan dengan keberuntungan. Tetapi kenyataannya tidak, seberapun besar usaha kita di dalam mengontrol kehidupan ini, selalu ada satu dua hal yang benar-benar tidak dapat dikontrol dan berada di luar kendali kita. Percayalah, terkadang kita harus membiarkan hal tersebut terjadi, entah untuk alasan apapun.

“Sebagai Ucapan Terima Kasih”
Krunk.
Yogyakarta, 27 Mei 2020.

Rabu, 22 April 2020

Apakah Masih Ada Hari Esok.


Pada suatu sore yang cerah..

Aku sedang melamun, menikmati segelas teh hangat bersama angin yang berhembus begitu ramah, diiringi oleh alunan musik dari Julia Jackson yang mengcover lagu Someday milik The Strokes dengan begitu syahdunya. Ah begitu tenang dan sempurna sekali sore hari ini, burung-burung juga berterbangan kesana kemari. Sinar matahari di sore hari ini cukup ideal, untuk memberikan sedikit warna pada langit dan pepohonan milik tetanggaku yang menjulang tinggi ke atas sebagai pelengkap pemandangan dari dalam kamarku. Tentu saja banyak sekali yang terlintas di kepalaku, aku tidak tahu apakah itu termasuk bagian dari melamun, tapi bagiku melamun adalah saat dimana kita memiliki waktu dan bisa sepenuhnya membersamai diri kita dalam kemewaktuan yang temporer dan absurd ini.
Hari esok, menjadi sesuatu yang sering sekali ku pertanyakan, akan seperti apa hari tersebut. Tentang apa saja yang akan terjadi, tentang siapa saja yang akan ku temui, tentang situasi-situasi yang akan menemaniku di sepanjang hari. Selalu ku pertanyakan ketika aku memiliki waktu dengan diriku sendiri, bahkan terkadang apabila terlalu kompleks, akan ku jabarkan dalam tulisan-tulisan seperti yang saat ini sedang aku lakukan. Tentu saja mempertanyakan hari esok memiliki dasar yang jelas, apalagi dalam situasi pandemi seperti ini, di mana aku tidak akan pernah tahu akan seperti apa dunia ini di kemudian hari. Semakin lama, aku merasa hidup dalam kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian, kecuali ketidakpastian itu sendiri.
Hal paling sederhana yang paling bisa ku ceritakan di sini adalah mengenai masa depan seorang manusia pada umumnya, yang akan menikah, berkeluarga dan memiliki kehidupan rumah tangga yang sepertinya menyebalkan tetapi sekaligus menyenangkan. Sore ini, aku benar-benar memikirkan hal tersebut, setidaknya aku berpkir apakah masih ada hari esok untuk ku, dimana ada sebuah kesempatan bagi istri dan anak-anakku kelak untuk bertemu dengan diriku di masa mendatang yang penuh dengan ketidakpastian. Atau jangan-jangan, aku akan mati di usia muda? Atau menjadi seorang Romo lalu tidak menikah? Atau menikah dengan seseorang tetapi kami bersepakat untuk tidak memiliki anak? Atau menjadi seorang yang biasa-biasa saja dalam kesendirian dan kedamaian batin? Entahlah.

Sampai detik ini, aku tidak tahu sudah mengulang lagu ini berapa puluh kali, karena benar-benar terdengar begitu tenang dan ramai di saat yang bersamaan. Seperti apa yang sedang kita alami saat ini.
Oh iya, sudah hampir gelap, saatnya mencari keringat.


Selasa, 25 Februari 2020

Diantara Kecepatan dan Ketepatan


Hidup yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan,
Adalah hidup yang bisa saja menyedihkan..

            Pukul enam tepat aku berangkat dari rumahku menuju sebuah cafe langgananku, cukup jauh dan memakan waktu kurang lebih 30 menit. Waktu yang cukup ku nikmati untuk berkontemplasi diatas kuda besi yang ku tunggangi. Meratapi hidup yang mulai menyebalkan di usia dewasa awal, kata beberapa orang dan ceramahnya.
            Pada sebuah belokan, terlintas sejenak sebuah kata tentang kemungkinan. Sebuah kata yang benar-benar menggangguku beberapa waktu belakangan. Tentu saja sebagai konsekuensi sebagai seseorang “yang masih mahasiswa” dan baru saja menyelesaikan masa studinya, meskipun belum sepenuhnya tuntas. Konsekuensi tersebut hadir bersama dengan kesempatan yang datang dalam perjudian hidup, diantara kecepatan dan ketepatan.
            Tentu saja kehidupan terasa semakin luas, tetapi entah tidak menjadi lebih kompleks seperti yang ku bayangkan. Luas karena banyak sekali variasi kehidupan yang bisa dipilih, sebagai siapa dan menjadi apa. Tidak menjadi lebih kompleks karena kehidupan hanya memberikan beberapa opsi, salah satunya untuk hidup dengan kepastian dan memutus rantai “kemungkinan”.
            Di usia ku yang disebut sebagai dewasa awal, tentu saja beberapa orang akan menanyakan beberapa pertanyaan umum seperti “Mau Kerja Dimana?” “Mau Nikah Kapan?” “Mau Lanjut S2?”  dan beberapa variasi pertanyaan yang aku yakin, selalu berhubungan dengan kepastian hidup di hari nanti.
            Kata teman-temanku yang merasa sudah menjadi dewasa, atau setidaknya sadar bahwa mereka bukan lagi anak kecil lagi, hidup ini persoalan bagaimana kita bertahan hidup dengan berbagai cara melalui maksimalisasi kepastian dan minimalisasi kemungkinan. Karena kepastian mendatangkan perasaan aman, sedangkan kemungkinan memunculkan keresahan.

Hidup yang hanya dikendalikan oleh kepastian dan kemungkinan,
Adalah hidup yang bisa saja membosankan.