Jumat, 29 Desember 2017

Manuskrip Manusia Maha-Ahay


            Terkadang, banyak sekali hal-hal yang tidak masuk akan di dunia ini. Salah satunya mengenai seni dalam melepaskan. Apa itu seni dalam melepaskan? Secara praktis, hal trsebut dapat dipahami sebagai seni dalam melepaskan seseuatu hal. Namun penekanannya ada di dalam negasi yang dia sembunyikan dalam tanda-tanda. Ah sudahlah, hal tersebut terlalu sulit untuk dijelaskan. Baik, kita mulai saja ceritanya.

            Malam itu, seperti biasa aku pergi seorang diri untuk menikmati sebuah gelas dan perapian di tengah kota. Sudah lama aku tidak melakukan hal tersebut, sepekan penuh dengan rutinitas dan ku putuskan hari itu aku harus melarikan diri. Ya, aku sedang menjadi seorang pecundang malam itu. Aku lebih memilih lari ketimbang menghadapi takdirku, tapi sesekali kurasa bukan lah masalah.

            Seperti biasa, aku mengamati keadaan disekitar cafe yang sedang ku tumpangi untuk sejenak menenangkan diri. Segelas kopi, sebatang perapian dan sehembusan nafas berjalan beriringan bersama waktu yang sedikit demi sedikit menyikskaku. Terhadap takdir yang semakin hari tidak sanggup ku hadapi, terhadap tantangan yang semakin hari tidak lebih dari sekedar permainan.

            Ah, persetan dengan semua penjelasan mengenai cafe dan suasana malam itu. AKu melarikan diri dari rutinitas yang sudah membunuhku sedari lama, aku melarikan diri dari kenyataan yang tidak dapat aku terima, aku melarikan diri dari pesakitan atas sebuah kekosongan dalam hidup ini. AKu hanya lari dan terus menerus berlari, persetan benar aku ini. Tidak seperti biasanya aku memutuskan untuk mengalah, lebih tepatnya melepaskan.

            Melepaskan bagiku adalah sebuah seni baru yang sedang aku kenal. Aku membiarkan diriku menerima semua hal yang memang seharusnya aku terima. Aku tidak pernah menegasikan hal tersebut

            Satu pertandingan telah aku lewati, aku mengaku kalah dan memang kalah. Tapi setidaknya hal terebut membuatku menjadi manusia yang lebih baik sepertinya. Entahlah, kapasitasku sebagai seonggok daging ini mulai meningkat. Sepertinya aku dapat lebih menekan dan menang di pertandingan-pertandingan lain.

            Sebuah modal penting, sebuah pembelajaran yang menarik. Kalah tidak selamanya buruk, mengakui kekalahan tersebut apalagi. Yah, satu langkah lebih maju.. Aku sepertinya memang membutuhkan hal seperti ini. Selama ini ku kira aku sudah cukup kuat, ternyata belum. Mengontrol seekor monster di dalam diriku benama amarah itu ternyata sangat sulit, dalam pertandingan tersebut aku mengakui kekalahan tersebut.

            Menerima adalah sebuah kunci yang aku lupakan untuk mengurung monster tersebut. Entah faktor apa yang membuatku lupa, tapi sudahlah hal tersebut tidak perlu diingat, lagipula aku sudah mendapatkan sesuatu yng berguna bagiku di masa depan. Begitulah semesta memberikan sebuah hantaman tepat di dadaku.

            Untungnya aku selamat, tidak mati mengenaskan seperti para pecundang yang lain, walaupun malam ini aku juga jadi pecundang. Ya tapi setidaknya kekalahan tersebut membuatku harus menulis sebuah cerita. Mengenai pertarungan seorang Ubermensch, pertarungan yang tidak akan pernah dia menangkan. Mengenai kutukan seorang Sisifus, kutukan yang tidak akan pernah dia menangkan. Mengenai perlombaan seorang Jenny, perlombaan yang tidak akan pernah dia menangkan.

            Mereka bertiga telah menerim tragedi tersebut sebagai sebuah takdir yang memang tidak dapat mereka rubah, tapi setidaknya dia tidak pernah menyerah. Persetan sekali, ketiga tokoh tersebut benar-benar membuatku ingin mengeluarkan air mata. Jujur saja, aku kagum dengan tekad kuat mereka, berdiri dan terus melawan di ronde terakhir, walau pada akhirnya harus terjatuh dan kalah.

            Sejujurnya, tulisan ini separuhnya adalah manifestasi atas sebuah amarah. Dia adalah sebuah narasi mengenai keterpurukan seorang manusia dan kekalahan di dalam keterlemaprannya. Tapi narasinya juga tidak menceritakan banyak hal, setidaknya sampai aku benar-benar menjadi manusia yang satu langkah lebih maju daripada malam ini.

            Begitu abstrak bukan? Bahkan aku sendiri tidak tahu dengan apa yang sedang aku tulis, tapi setidaknya ini dapat merepresentasikan sebuah perjalanan dan pertarungan singkat di sebuah malam. Tepatnya di akhir Mei yang menjadi tragedi. Hah, berlebihan sekali, tapi aku mengakui bahwa pertarungan ini tidak dapat aku menangkan.

            Seperti analogi mengenai percaturan dan kontestasiya. Seorang bijak mengatakan, “lebih baik menyerah daripada memperlama kesengsaraan.” ah siapa yang tahu kalau pertarungan tersebut akan menjadi sebuah kesengsaraan? Bisa jadi akan menjadi sebuah kemenangan? Tapi siapa yang tahu? Sebelum bel dibunyikan, sebelum peluit ditiup, semua keniscayaan adalah sebuah kemungkinan.

            Berjibaku di dalam kemungkinan-kemungkinan dan ekstasi ekspetasi memang tidak mudah, tapi setidaknya satu langkah lebih berani ketimbang harus menyerah diawal pertandingan. Pun demikian seperti halnya Daud dan Goliat, kalian tahu kan cerita tentang pertarungan kedua orang tersebut? Siapa yang akan menyangka bahwa Daud dapat menjatuhkan Goliat. Sang bijak yang tadi bermain catur salah besar! Tapi aku mengapresiasi sekali rasionalitas yang tak terbatas yang menjadi kapital utamanya

            Banyak yang seharusnya aku lakukan, kerjakan dan tuntaskan. Tapi masa bodoh, aku sedang ingin menikmati kekalahan atas diri ini, begitu menyebalkan tapi menyenangkan. Ada suatu masa dimana aku mengakui bahwak kebahagiaan itu sedih, pun demikian sebaliknya bahwa kesedihan itu bahagia. Ah apa yang sedang aku bicarakan di tengah kekalahanku?

            Menulis adalah sebuah energi, atas kebangkitan dan keterpurukan. Menikmati di sisa kemewaktuan yang ada. Matilah kau mati! Tidak ada yang akan membuatmu menjadi manusia yang lebih baik sebelum kamu berkenalan dengan kematian dan keputusasaan. Mereka mengajariku banyak hal sebelum aku menyelesaikan masa puberku. Terima kasih, paman!

            Tapi kembali lagi mengenai kekalahanku malam itu, tidak ada yang dapat dirubah, hanyalah permenungan atas kekalahan tersebut. Lalu aku bisa apa? Mengisahkannya? Untuk apa? Tidak penting dengan bagaimana kamu terjatuh, tetapi yang harus kamu garis bawahi adalah cerita tentang bagaimana kamu akan bangkit dari kekalahan tersebut.

            Setiap manusia adalah teman bagi sesamanya dan setiap manusia adalah musuh bagi sesamanya. Homo Homini Lupus, Homo Homini Socius. Salah seorang yang katanya lagi-lagi bijak di sebuah candu akan dunia ide. Yap, aku belajar juga dari hal tersebut. Tidak ada yang perlu kamu percayai selain dirimu sendiri. Mereka semua pada akhirnya juga akan sama-sama mati dan tak akan bisa menolongmu di suatu momentum. Hanyalah dirimu, yang akan bertarung dengan ketidaksiapan serta kekalahan-kekalahan telak yang sudah menanti di depan mata.

            Seperti cerita Jimmy, yang dikisahkan secara epic oleh paman Billie Joe. Sebuah cerita sekaligus narasi besar tentang keterasingan seorang manusia di dalam lingkungannya. Tidak ada yang membantunya keluar dari lubang gelap bernama keputusasaan. Dia secara dramatis selamat seorang diri, bukan kah itu keren? Ya, sangat keren! Cerita tentang Jimmy tersebut pertama kali aku dengarkan ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Kemudian aku baru memahami cerita keseluruhannya setelah menyelesaikan masa pubertasku.

            Oh, sampai detik ini aku masih duduk termenung seorang diri di sebuah cafe , masih mengamati keadaan sekitarku, masih menikmati kekalahanku, masih menikmati secangkir kopi, masih menyiasati sebatang perapian, masih mendengarkan orang-orang bercerita tentang bagaimana mereka melewati hari-harinya. Yah, kopinya mulai dingin. Tapi eperti biasa, aku tidak terlalu peduli dengan hal tersebut.

            Hmmmmmmm... Cerita apalagi yang akan coba aku tulis? Mungkin bercerita soal cinta! Bagaimana? Baiklah kita mulai dengan sepasang kekasih yang sedang menikmati kopinya di dekat pintu masuk. Mereka berdua saling menatap mesra, saling lempar cerita dan menghangatkan satu sama lain. Untuk sesaat, aku baru saja menyadari bahwa di cafe tersebut hanya aku seorang yang duduk tanpa seorang partner.

            Ya, tapi ini adalah bagian yang paling aku sukai.




            Seni dalam melepaskan adalah salah satu kegilaan yang pernah aku temui semasa aku muda. Kau tahu, manusia memang benar-benar hebat apabila dipersenjatai dengan negasi. Dengan liar dia akan menegasikan semua hal yang ada di dunia dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar akan eksistensinya. Lalu mereka akan membawa semuanya ke ujung perarakan, menanti api terakhir sebelum melumat kegilaan yang telah menjadi-jadi sebelum aku dilahirkan.

            Aku adalah amarah, yang datang bersama dengan kebahagiaan sepasang merpati kematian, di tengah cakrawala ekstasi akan keputusasaan. Mereka bernyanyi, bersorak-sorai mengharapkan sebuah keajaiban atas hidup mereka yang sia-sia. Dan aku datang, sebagai pembawa pesan kematian terhadap sebuah peradaban manusia.

Minggu, 10 Desember 2017

Berjudi Dengan Kehidupan

            Kata lelaki tersebut, pilihan adalah sebuah kegilaan. Sebuah siang yang cukup terik, aku memutuskan untuk rehat sejenak di taman itu. Sebuah kebetulan, aku duduk di samping seorang lelaki yang sedang menikmati kesendirian di siang hari tersebut. Lemparan pertama aku mulai dengan “Apa itu pilihan?”, dengan cepat dia menjawab “Kegilaan.”. Sampai detik tersebut aku masih belum bisa memahami arti perkataan tersebut.
            Pohon-pohon di taman tersebut seakan-akan membisikan sesuatu dalam sepersekian detik imajinasiku, katanya sembari menari dengan angin “Apa yang sedang kau cari? Apa yang sedang kau pertanyakan? Apa yang sedang kau resahkan? Apa yang sedang mengganggumu? Apa yang sedang kau khawatirkan? Sehingga perjalananmu sudah teramat sejauh ini, bahkan kau lupa darimana dirimu berangkat? Apakah hal tersebut tidak membuatmu gila?”.
            “Apakah maksudmu adalah, pilihan merupakan sebuah kegilaan?” Tanyaku kepadanya.
            “Benar sekali!”
            “Jadi setiap kita bertemu dengan pilihan merupakan sebuah kegilaan?”
            “Tidak semua, tapi hampir semua pilihan merupakan kegilaan.”
            “Bagaimana kau bisa menyimpulkan hal tersebut?”
            “Entahlah, lebih kepada permenungan pribadiku.” Jawabnya sembari menghisap rokok.
            Pilihan merupakan sebuah kontestasi probabilitas konsekuensi yang sebenarnya selalu dihindari oleh manusia, pergumulan antara pilihan-pilihan yang ada di dalam ketidakpastian hidup manusia menyebabkan mereka mengira-ngira tentang kemungkinan yang akan terjadi di dalam masa depan mereka. Mungkin itu sebabnya, lelaki tersebut dapat menyimpulkan bahwa pilihan adalah sebuah kegilaan.
            Perjudian paling mahal yang pernah ku temukan adalah hidup itu sendiri. Setiap harinya, kita selalu berjudi dengan kehidupan. Dimanapun dan kapanpun, kita tidak akan pernah tau tentang sesuatu yang akan benar-benar terjadi dalam hidup kita. Yang akan selalu ktia ketahui hanyalah probabilitas-probabilitas yang ada di dalam perjudian itu sendiri. Mungkin juga, hal tersebut yang membuat Paman Nietzsche geram dengan manusia.
            Entahlah, tidak pernah ada yang pasti dengan caraku mendefinisikan sesuatu hal. Tapi setidaknya, pencarian dan pertanyaanku selalu membawaku ke dalam sebuah ruang  yang menghadirkan lebih banyak pintu untuk dijelajahi. Kata mereka, itu akan menyesatkanku ke dalam sebuah kegilaan, tapi bagiku hal tersebut lah yang menjadikan hidupku lebih berharga. Aku pun mengamini, bahwa aku juga sedang berjudi dengan kehidupanku.

Seharusnya untuk November, tapi tidak masalah dengan Desember

Selasa, 31 Oktober 2017

Sedangkan Perubahan Tidak Berubah

Satu-satunya hal yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri, karena perubahan itu selalu berubah. Ketika dia tidak berubah, maka dia sesungguhnya sedang berubah, tetapi karena dia berubah maka dapat dikatakan bahwa dia tidak berubah.

Tentang penyadaran dan ketersesatan makna akan perubahan dan kehidupan yang sering kali kita antagoniskan. Tidak ada yang perlu di salakan atau berkontestasi untuk menjadi yang maha. Cukup menggali lebih dalam tentang makna dari perubahan itu sendiri. Tapi kalau memilih untuk tetap terlelap di dalam kesadaran semu juga bukan menjadi permasalahan.

Minggu, 03 September 2017

Komunikasi Komposisi

            Seperti biasa, di sebuah cafĂ©, aku duduk menanti dan sendiri. Menantikan sebuah cerita yang akan dikisahkan oleh secangkir kopi, kemudian sendiri melanjutkan kehidupan. Disekitarku, sepertinya hanya aku seorang yang duduk sendirian. Mereka bercengkerama, lewat tulisan yang entah dikirim kemana, atau mungkin dengan menggunakan telepati, entahlah aku tidak tahu bagaimana cara mereka berkomunikasi. Cara mereka berkelompok pun bermacam-macam, ada yang melingkar, duduk bersebelahan, saling berhadapan atau dipisahkan oleh jarak dan waktu. Ya, masing-masing dari mereka memiliki caranya sendiri untuk berkomunikasi, baik dengan sebuah benda kotak persegi kecil, seekor mamalia yang dapat berpikir, ataupun dengan apa saja yang mereka ingin ajak untuk berkomunikasi.

            Disini, aku mencoba untuk berkomunikasi dengan secangkir kopi. Sebut saja namanya Elisa, dia adalah secangkir Caffe Latte yang dibuat dengan sepenuh hati. Jika aku tidak salah, susu dan kopi adalah partikel utama yang melahirkan Elisa, lebih tepatnya sepertiga espresso dan dua pertiga susu panas. Komposisi yang cukup menarik, lantas bagaimana dengan seekor mamalia yang dapat berpikir? Apa saja komposisinya? Entahlah, aku bukan lah seorang barista atau sebuah perangkat yang dapat mereproduksi mamalia tersebut. Tapi dari yang aku ketahui selama ini, mereka terbentuk dari setengah perjalanan, seperempat harapan, dan seperempatnya lagi penyesalan,

            Manusia hanya terdiri dari setengah perjalanan, setengahnya lagi adalah harapan dan penyesalan. Perjalanan tersebut adalah sesuatu yang harus dilengkapi, oleh karena itu hadir lah sebuah harapan dan penyesalan untuk melengkapi sebuah perjalanan yang tidak akan pernah bisa mereka selesaikan tanpa kedua komposisi bernama harapan dan penyesalan. Komposisi pertama adalah perjalanan, di dalam perjalanan tersebut ada jutaan partikel yang harus bertemu dengan sebuah partikel yang akan melahirkan seekor mamalia yang dapat berpikir. Di dalam prosesnya, ada harapan dan penyesalan yang muncul secara bersamaan, tapi sepertinya penyesalan ada terlebih dahulu, kemudian di susul oleh harapan setelah beberapa saat hadir sebuah kesadaran atas suatu hal.

            Di dalam perjalanan takdirnya, seekor mamalia tersebut biasanya paling sering bertemu dengan harapan dan penyesalan, dua komposisi yang pada awalnya melahirkan mereka. Kemudian kedua hal tersebut saling berkontestasi di dalam kompleksitas kehidupan dan menjadikan mamalia tersebut lambat laun habis, seperti kopi yang perlahan diminum, sedikit demi sedikit. Ketika pertama kali dilahirkan, mamalia tersebut sangat panas seperti kopi, lalu setelah sekian lama menjalani takdirnya untuk dinikmati oleh kehidupan, mamalia tersebut menjadi dingin, lagi-lagi sama seperti kopi. Kemudian setelah sekian lama kehidupan menikmatinya, ada saat dimana mamalia itu harus segera dihabiskan seperti hal nya kopi, entah karena alasan sudah terlalu lama atau memang karena sedang terburu-buru. Tapi bagaimana jika si penikmat kopi sedang tidak ingin menghabiskan kopinya? Tentu saja akan dibuang, atau mungkin diminum oleh penikmat yang lain. Kita tidak akan pernah tahu jika tidak bertanya, karena kopi dan penikmatnya adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Lalu baristanya? Ya, anggap saja peran tambahan yang sesungguhnya penting, tetapi seringkali dilupakan.

            Apa yang membedakan kopi dan mamalia diatas? Mereka sama-sama diciptakan, memiliki komposisi dan punya cara yang hampir sama untuk menjalani takdirnya. Pada akhirnya, yang membedakan hanyalah sebuah ketidakjelasan akan tulisan ini, karena kehabisan ide.



Sekian~

Jumat, 01 September 2017

Sebuah Permainan, Kehidupan dan Kekalahan

Seorang lelaki, yang memiliki banyak hal untuk dilakukan.

Baginya, hidup itu adalah sebuah kesia-siaan, tetapi hal tersebut bukan berarti menjadikan dirinya seorang nihilis, absurdis ataupus fatalis. Kehidupan, baginya hanyalah sebuah wahana permainan, dimana ada awal dan akhir. Di dalam permainan tersebut, tersedia banyak sekali pilihan dan cara untuk mengakhirinya, tetapi untuk memulainya hanya dapat dilakukan dengan cara merangkak keluar dari Rahim seorang manusia, permainan tersebut bernama “Kehidupan”. Benar sekali, namanya kehidupan, sebuah permainan yang hanya dapat dilakukan satu kali saja, apabila kehilangan kesadaran untuk selamanya, maka dianggap kalah. Permasalahannya adalah, di dalam permainan tersebut tidak ada kesadaran yang abadi, jadi mau tidak mau permainan tersebut hanya akan berakhir pada sebuah kekalahan. Lalu bagaimana cara memenangkan permainan tersebut? Tidak ada, siapa pun yang bermainan permainan tersebut memang ditakdirkan untuk kalah. Sesungguhnya, permainan tersebut hanyalah sebuah wahana bagi para manusia untuk menunda atau sekedar menunggu kematiannya.
Jadi, kalau begitu mati saja! Lebih cepat, lebih baik. Apakah seperti itu, cara seorang lelaki tersebut harus menyelesaikan permainannya dengan kekalahan? Baiklah, memang pada akhirnya kalah, tetapi lelaki tersebut justru sama sekali tidak menggubris soal menang dan kalah. Bagi dia, permainan tersebut hanyalah soal memilih dan memaksimalkan. Memilih sebuah perjalanan dan memaksimalkannya, pun dengan memilih sebuah cara untuk kalah dan memaksimalkannya, menarik bukan? Kapan lagi, kekalahan menjadi sesuatu yang dianggap keren bagi manusia. Kekalahan selalu memiliki sebuah makna yang buruk, dan sebisa mungkin harus dihindari. Sedangkan, kehidupan hanyalah sebuah kamuflase dari kekalahan manusia. Jadi, apakah manusia pada dasarnya hidup di dalam sebuah permainan yang sesungguhnya sedang membohongi dirinya sendiri? Ya, itu tergantung bagaimana mereka memilih dan memaksimalkan wahana kehidupan yang ada di depan mata mereka.
Apakah kita akan membicarakan siapa yang menciptakan permainan tersebut? Tidak, itu pembahasan yang sangat konservatif dan menjurus pada sebuah pilihan yang membantu para manusia untuk saling membunuh satu sama lain, memilih sebuah cara untuk mengakhiri permainannya dengan kekalahan yang cukup tragis. Jadi apa hal menarik yang akan dibahas di dalam permainan tersebut? Entahlah, kalian piker saja sendiri, sembari melihat kedua telapak tangan kalian, sembari memikirkan “Apakah saya benar-benar hidup?”. Ya, bisa jadi kita lupa, bahwa sebenarnya kita ini hidup atau sekedar berpura-pura hidup.
Nah, di dalam wahana, permainan dan pilihan hidupnya, seorang lelaki tersebut memiliki banyak hal untuk dilakukan. Kenapa dia memiliki banyak hal untuk dilakukan? Agar kesempatan untuk bermain di dalam permainan yang bisa dilakukan hanya sekali saja, dapat dia maksimalkan. Karena baginya, kehidupan bukan soal bagaimana kita mengakhirnya, tetapi soal bagaiman kita dapat berproses di dalamnya. Bertemu dengan jalan pintas, rintangan, sesuatu yang absurd, sesuatu yang konkrit, bonus, kesialan dan apapun itu yang terlalu kompleks untuk dijelaskan.

Terima kasih~

*Sebuah tulisan, yang saya dedikasikan untuk kesadaran dan keberanian saya di dalam memilih, untuk tetap hidup.

Selasa, 04 Juli 2017

Half-Life Project #2


Hari kedua di bulan Juli, 2017

Tentang Pilihan

            Dimulai lagi dari sebuah pagi, kali ini aku kekurangan waktu tidur dan bangun terlalu pagi. Aku tidak terlalu ingat dengan hari ini, tapi yang jelas aku banyak memikirkan tentang pilihan. Tentang sebuah seni yang sering aku bicarakan, tentang seni dalam hidup yang terkadang bisa membuatmu tertawa atau menangis dalam waktu yang bersamaan. Seni di dalam memilih, seni tentang pilihan, seni yang hebat dan bisa menjadikanmu manusia yang lebih mengerti akan kehidupan.

            Memilih adalah sesuatu yang menyebalkan, dia adalah sebuah pertarungan atas perjudian dan resiko dengan probabilitas yang sangat tinggi. Ya, hidup hanyalah persoalan kemungkinan-kemungkinan yang berkumpul dalam sebuah kompleksitas perjalanan manusia. Di dalam berjuta kemungkinan tersebut, hidup mengajarkan kita untuk tidak serakah dengan cara memilih. Di dalam memilih, akan banyak sekali pertimbangan yang membuat kita berhenti sejenak dan memikirkan tentang apa yang sebenarnya sedang kita lakukan.

            Hari itu aku sedang memutuskan untuk melanjutkan pemikiran absurdku mengenai hidup, aku memikirkan kembali tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi selama bulan ini. Aku memilih untuk berpikir, memikirkan sesuatu hal yang dapat aku lakukan di bulan ini, agar aku dapat belajar mengenai kehiduan dan memenuhi gelas-gelas kosong yang menuntunku kepada sebuah pencarian atas hidup ini.

            Siang itu, aku memikirkan hal gila untuk meninggalkan rumah, dalam artian benar-benar meninggalkan rumah dan tidak tahu akan kembali kapan. Rencana yang sangat mendadak, penuh dengan pergolakan batin dan pertanyaan. Aku berencana untuk meninggalkan rumah dan membawa semua barang-barang yang aku beli dengan menggunakan uangku sendiri, pergi membawa uang yang tidak cukup banyak untuk bertahan hidup. Tapi yang jelas, perjalanan ini adalah mengenai bagaimana aku dapat bertahan hidup di dalam keterbatasanku. Tentu tidak sekedar itu, ada beberapa hal yang memang akan aku selesaikan di dalam perjalananku ini.

            Aku berharap, pilihan ini akan menjadi perjalanan yang begitu berarti sebelum aku bertemu dengan angka dua puluh di hari ketujuh bulan juli. Benar-benar tidak ada persiapan yang matang. Aku hanya membawa baju secukupnya dan barang-barang penting yang dapat menunjang perjalanan ku ini. Ya, aku menulis tulisan ini pad ahari ke 4 dimana aku sudah cukup banyak belajar selama 4 hari. Tapi aku tetap harus menyelesaikan tulisan ini, tentang pilihan.

            Pembelajaran pada hari kedua adalah soal pilihan dan pertimbangan. Didalam memilih aku telah belajar banyak hal, pun di narasi sebelumnya aku telah bercerita tentang pilihan. Kelanjutan dari sebuah pilihan adalah pertimbangan, karena sebuah pilihan yang tidak didasari oleh pertimbangan yang matang hanya berujung pada penyesalan apabila ekstasi ekspetasi yang menguasai seseorang manusia. Oleh sebab itu, di dalam memilih, harus lah didasarkan pada sebuah pertimbangan tentang banyak hal yang dapat kita tentukan sendiri. Sebuah seni di dalam memilih, harus lah dilengkapi dengan kuas pertimbangan, tentang prioritas apa yang akan kita lukis di dalam kanvas pilihan kita.

Minggu, 02 Juli 2017

Half-Life Project! #1


Hari pertama di bulan Juli, 2017

Tentang Keterlemparan

Pagi itu aku terbangun, lebih jelasnya kesiangan. Tapi aku masih menganggap bahwa itu pagi, ah masa bodoh siapa yang akan peduli itu pagi, siang, sore ataupun malam. Intinya adalah, hari itu adalah hari pertama di bulan julia dan aku melakukan hal-hal yang sangat tidak jelas. Seharusnya Juli menjadi bulan yang paling hebat, karena aku akan mendapatkan banyak hal dari bulan tersebut. Mulai dari pengalaman, cerita dan masih banyak lagi yang dapt ku jadikan pembelajaran di dalam keterlemparanku atas hidup ini.

Seharusnya pagi itu aku menghadiri sebuah acara, tapi apa daya, kelelahan fisik ternyata memang tidak bisa lagi ditolerir. Tidak seperti batin, yang dapat kita tolerir hingga tak terbatas. Selama kita hidup di dunia ini, seringkali terjadi pergolakan batin, entah apapun narasinya, tetapi selalu saja masalah batin selalu dapat mudah dikendalikan daripada hal-hal yang menyangkut fisik. Manusia memang cukup aneh, mereka dapat menahan kesedihan, kekecewaan dan keputusasaan. Tapi mereka tidak bisa menahan suatu habitus bernama “ngantuk”. Lalu tertidur lah mereka secara pulas.

Pada siang hari, aku tidak melakukan apa-apa, benar-benar tidak melakukan apa-apa. Biasanya aku akan memikirkan banyak hal tentang hidup ini, mulai dari perkara sosial, gaya hidup dan apapun yang layak untuk dipikirkan termasuk cinta. Tapi untuk cinta mungkin tidak akan dibahas dalam tulisan kali ini. Tidak melakukan apa-apa itu benar-benar seru sekali! Benar-benar tidak melakukan apa-apa kecuali bernafas.

Pada sore harinya, ada sebuah pesan dari seorang teman yang melakukan kebodohan, dia pulang ke Yogyakarta membawa oleh-oleh yang cukup banyak, tapi koper dan tasnya ketinggalan di bandara. Benar-benar bodoh.. Kebodohan tersebut menyebabkan akhir pekanku harus berakhir disebuah rumah yang dapat dikatakan markas dalam rangka menyambut mahasiswa baru. Ya, dia hanya membawa handphone dan dompet, kunci tempat tinggalnya ada di dalam koper yang tertinggal di bandara dan harus menunggu 1x24 jam pengiriman dari bandara tersebut ke Yogyakarta. Jadi aku menemaninya di akhir pekan yang seharusnya ku habiskan untuk mengitari Yogyakarta, sebuah rencana yang gagal untuk kesekian kalinya.

Malamnya, aku hanya menghabiskan perapian dan duduk manis di ruang tamu. Melihat perlahan perapian menuju kematian, melihat sebuah ruang yang sepi, melihat hidup yang penuh dengan intepretasi.  Akhirnya aku memikirkan sesuatu hal yang begitu absurd, lebih absurd dari biasanya dan sepertinya memang tidak layak untuk dikisahkan, seperti halnya penantian. Hahahaha

 

Jadi apa inti dari tulisan ini? Tidak ada..

Minggu, 11 Juni 2017

Ketidaksanggupan

Manusia selalu menginginkan kondisi ideal untuk dijalani, tidak lebih dan tidak kurang. Mereka selalu mencari, detik demi detik dan halaman demi halaman. Tapi sayang sekali, tidak pernah ada kondisi ideal untuk dihidupi. Kita selalu berkompromi dengan kehidupan, padahal sesungguhnya kita sedang berjudi dengan kehidupan tersebut. Lalu kita selalu terjebak di dalam keniscaayaan dan berharap semuanya akan menjadi baik-baik saja. Seperti itu dan akan selalu berputar seperti siklus hujan turun di permukaan bumi.

Aku hanya belajar menerima, tanpa pernah mau berkompromi dengan kehidupan itu. Mereka selalu berjuang bersama kondisi ideal yang mereka miliki, sedangkan aku hanyalah mencoba tetap berdiri di tengah badai keputusasaan. Ah seni dalam menerima,  merupakan seni terakhir yang akan aku sempurnakan di pemakamanku kelak. Menerima kematian, sama dengan menerima kehidupan. Entahlah, dunia begitu kompleks untuk dijelaskan.

Prahara dan kehidupan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Penghinatan, rasa sakit, kekecewaan adalah guru terbaik bagi manusia. Tapi mereka selalu menganologikan hal tersebut sebagai guru yang galak. Mereka tidak pernah mau menerima segala ceramah yang diberikan guru tersebut.

Kelelahan dan keletihan, merupakan sebuah perjalanan menuju kematian. Aku tidak pernah berharap dalam kondisi seperti ini. Tapi keadaan lah yang memaksaku, aku tidak pernah berharap sama sekali. Aku hanya memikirkan bagaimana aku tetap bertahan hidup dalam kondisi terpuruk seperti ini. Dulu aku bisa menahan, sekarang sudah tidak lagi. Sepertinya, ada saatnya aku harus mengakui kekalahanku dan ketidaksanggupanku melawan kehidupan.

Entahlah, masih berapa lama lagi aku harus berjalan. Aku tidak melihat ada harapan disekitarku. Hanyalah tumpukan ekstasi ekspetasi yang siap untuk dikonsumsi. Apakah hal tersebut perlu untuk di nikmati? Entah akan sampai kapan aku akan menolak tahu bahwa sebenarnya, aku sedang menjerit tersiksa di dalam diriku sendiri.

Hanyalah kemewaktuan yang akan membantuku, pun dia akan berlomba dengan kematian. Lupakan saja, ini sudah saatnya terlelap.


Senin, 05 Juni 2017

Manusia Manusia Manusia

Disaat saya sedang lembur mengejar tugas akhir semester yang berserakan, justru sepersekian detik muncul pemikiran untuk menulis perihal narasi kehidupan orang-orang yang pernah saya temui...

Sudah hampir 20 tahun saya menginjakkan kaki di bumi ini, lebih tepatnya alam semesta yang selalu saya identifiaksikan sebagai hal yang paling kompleks. Saya menemui banyak sekali manusia-manusia hebat, khususnya mereka yang bercerita dengan begitu asiknya, membagikan setiap momen-momen berharga yang mengajarkan saya banyak hal.

Ya, belajar tidak selalu harus dari dalam kelas, membaca ataupun hal-hal lain semacamnya. Belajar tentang kehidupan bias kita mulai dari orang-orang disekitar kita, atau realita yang ada dan menghampiri kehidupan kita.

Saya selalu percaya, bahwa hidup hanyalah persoalan menunda kematian. Tetapi di dalam menunda kematian tersebut, Ibu saya pernah berkata bahwa kesempatan tersebut harus dimanfaatkan untuk belajar lebih banyak dari kompleksitas kehidupan ini. Mulai dari permenungan, perjalanan dan sebuah obrolan.

Entah kenapa malam ini saya tiba-tiba ingin menulis hal yang menurut saya begitu random, karena tugas akhir semester ini harus dikumpulkan 6 jam lagi. Tapi ya sudahlah, belajar tidak harus melulu soal mengerjakan tugas bukan? Di dalam menunda pekerjaan ini, saya belajar bahwa di luar sana banyak sekali manusia-manusia yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan kesempatan yang sama seperti saya.

Banyak sekali narasi kehidupan yang telah saya temui, meskipun tidak sebanyak Paman Morrie ataupun Coelho, tapi saya sudah merasa itu cukup banyak, sebagai bekal untuk menjadi orang yang katanya harus bisa lebih dewasa ketika menginjakkan kaki di umur 20.

Terima kasih kalian, wahai para manusia-manusia yang sudah pernah mampir di dalam kehidupan saya! Semoga terbekati dan jangan lupa bahagia...

Salam, dari seseorang yang masih menunda kematiannya untuk terus belajar dari narasi kehidupan.

Rabu, 24 Mei 2017

Cerita Absurd Tentang Garpu dan Roti Bakar

Garpu dan Roti Bakar
            Pada suatu malam, sebuah Garpu tergeletak di meja makan seorang diri. Tidak ada piring, sendok dan kawan-kawannya. Tetapi malam itu, ada sepotong roti bakar yang ternyata mengalami hal yang sama, dia tergelatk seorang diri di ruang tamu. Malam itu cukup dingin, terlebih hujan turun dengan derasnya diluar, sang garpu dan roti bakar tersebut hanya bisa terdiam terpaku di tempatnya masing-masing. Sang pemiliki rumah sedang tertidur pulas, sedangkan lampu-lampu dirumah tersebut masih menyala.
            Sang garpu berpikir untuk mendatangi sang roti bakar tersebut, tapi hal tersebut merupakan sebuah ketidakmungkinan. Sedangkan sang roti bakar menunggu sebuah keniscayaan. Hingga pagi datang, mereka berdua hanya berdiam diri di tempatnya masing-masing dan sembari berpikir tentang fantasi apabila malam itu mereka berdua saling dipertemukan di dalam sebuah momentum yang absurd. Sekian, terima kasih sudah membaca cerita singkat yang begitu absurd ini.. Seperti halnya pencarianku atas nama kehidupan yang begitu banal ini.

*Ditulis atas dasar ide random teman saya.

Kamis, 04 Mei 2017

Tentang Cinta

"Tentang cinta, sesuatu yang jarang sekali aku bicarakan."

Pernah suatu ketika, seorang manusia bertanya-tanya tentang arti cinta. Dia bertanya, kepada laut, langit dan segala hal yang ada dan terlihat di muka bumi ini. Pertama-tama laut menyatakan bahwa cinta itu seperti dirinya, luas tak terbatas dan hampir memenuhi seluruh permukaan bumi. Tapi terkadang dirinya tidak selalu tenang, ketika ada suatu fase yang memang harus dia hadapi. Kedua, langit menyatakan bahwa cinta itu seperti dirinya, membentang megah dan termanifestasikan oleh cakrawala indah. Tapi terkadang dirinya tidak selalu hadir, ketik ada suatu fase yang memang harus dia hadapi.
            Lalu apa yang ketiga? Seorang manusia itu bertanya kepada manusia yang lain. Manusia pertama yang dia jumpai adalah seorang anak kecil yang sedang bermain bola seorang diri. Ketika ditanya tentang arti cinta, anak kecil itu menjawab kebahagiaan. Anak kecil tersebut menyatakan bahwa cinta itu seperti kebahagiaan, adalah sesuatu yang dicari oleh setiap manusia di dunia ini. Tapi terkadang dirinya dapat berbalik menyerang, apabila tidak bijaksana di dalam menghidupi kebahagiaan tersebut.
            Lalu siapa manusia kedua? Manusia kedua yang dia jumpai adalah seorang pemuda yang sedang duduk termenung seorang diri di taman. Ketika ditanya tentang arti cinta, pemuda itu menjawab penderitaan. Pemuda tersebut menyatakan bahwa cinta itu seperti penderitaan, adalah sesuatu yang membuat manusia semakin terpuruk di dalam keterlemparannya. Tapi terkadang dirinya dapat menjadi titik balik suatu perjalanan, apabila bijaksana di dalam mempelajari penderitaan tersebut.
            Lalu siapa manusia ketiga? Manusia ketiga yang dia jumpai adalah seorang kakek tua yang sedang bekerja menyapu taman tersebut. Ketika ditanya tentang arti cinta, kakek tua itu menjawab tanggung jawab. Kakek tua tersebut menyatakan bahwa cinta itu seperti tanggung jawab, adalah sesuatu yang membuat manusia memiliki alasan lain kenapa mereka harus tetap bertahan hidup. Tapi terkadang dirinya dapat menjadi ketersesatan, apabila bijaksana sekaligus tidak bijaksana di dalam mengemban tanggung jawab tersebut.
            Sudah hampir tujuh tahun lamanya dia masih tetap saja bertanya-tanya tentang arti cinta. Sudah hampir semua hal yang ada dan terlihat di muka bumi ini menjadi teman penceritanya, menceritakan semua penjelasan mengenai cinta. Namun hingga tahun ketujuh ini, dia tetap saja masih belum mengerti tentang arti cinta, hingga pada suatu pagi dia lupa menanyakan tentang arti cinta tersebut kepada dirinya sendiri.
            Katanya kepada semesta “Cinta itu adalah relativitas kosmos yang kompleksitasnya mengalahkan rasionalitas manusia dan membentang diantara sedimentasi perasaan. Kamu tidak akan pernah menemukan definisi yang pasti mengenai cinta, tapi setidaknya kamu masih dapat merasakannya dan membagikannya kepada manusia-manusia yang lain. Lakukanlah, sebelum kematian merenggut kesempatan tersebut.”

Sabtu, 29 April 2017

Pulang Bersama Petang


Pulang, bersama petang.
 
Bintang gemintang dan bulan malam itu begitu indah. Aku menikmati perjalanan pulangku sembari menyalakan perapian, setiap hembusan dan kemewaktuan adalah anugerah yang benar-benar aku syukuri. Sudah cukup lama aku tidak menulis, masalahnya adalah waktu dan rasa lelah. Banyak sekali yang tidak sempat ku utarakan, hanya menjadi angin yang berlalu begitu saja. Jadi seperti biasa, aku hanya ingin menulis. Tidak terlalu peduli dengan pemilihan kata atau segala yang begini dan begitu. Oke mari kita mulai pestanya.
            Tepat pukul 12 lebih sedikit aku melaju bersama kejamnya waktu, menembus Yogyakarta dan segala romantismenya di tengah malam yang semakin kusadari, tak bisa ku tinggalkan. Kota ini terlalu nyaman, sayang sekali apabila suatu hari nanti aku harus pergi dan tidak kembali. Tapi itu berlebihan, tentu ketika dewasa nanti aku harus kembali ke kota ini, untuk memenuhi seluruh janji-janji yang telah ku sepakati dengan teman-temanku. Bukan hanya itu, aku juga harus menjenguk keluargaku dan yang paling favorit adalah kamarku. Tempat dimana tulisan ini tercipta, bersama kelelahan dan kekhawatiran untuk menjadi dewasa.
            Lampu merah, seratus dua belas! Untuk senyap malam dan perapian yang semakin lama menemui ajalnya, tak ada satu kendaraan pun yang lewat, bahkan semua toko sudah tutup. Hanya ada angin malam yang menari-nari di angkasa, bersinergi dengan asap yang juga ikut merayakan momentum tanpa manusia. Mereka bahagia dan aku juga, begitu tenang… Tapi sayangnya aku harus terlelap, sekian.

Jumat, 03 Maret 2017

Sebuah Tulisan Berjudul "Jenny Menari"

 
 
Tahun demi tahun, bahkan minggu demi minggu lagu ini tidak pernah absen mengisi resistensi playlistku. Jenny ku yang ku rindukan, sesosok gadis kecil yang menjadi saksi perkembanganku menuju pubertas. Dia selalu menyanyikan Look With Whom I’m Talking To sembari menari dan mengisyaratkan “Hey, bangunlah! Mari menari, diatas tirani.. Untuk apa kau hidup jika tidak untuk dirayakan. Apalagi di akhir pekan” bisiknya sembari terus-menerus menari di sepersekian tiga menit enam detik.
Berbagai prahara hidup ini hanyalah satu banding sekian juta partikel bebas yang ada di dunia tak berujung ini. Sedangkan satu lagu yang sering dinyanyikan Jenny sedari ku tumbuh dewasa hingga sekarang adalah sebuah nafas kehidupan, untuk sebuah ketersesatan. Untuk kesekian kalinya, Look With Whom I’m Talking To lebih dari sekedar nyanyian gadis kecil bernama Jenny. Setiap kata, nada dan hentakan di dalamnya memberikanku nafas kehidupan. Apalagi jika berbicara soal romansa dan kekecewaan atas hidup ini, Jenny akan datang kemudian berteriak dengan sangat kencang. Lalu sembari memelototiku dia akan bersabda “Sudah kesekian kalinya dan aku bosan. Mari menari?” dan kami akan menari sampai menit ketiga lebih enam detik. Lalu dia pergi entah kemana dibawa laju angin yang tak terhingga kuatnya.
Jujur saja, kata demi kata tidak pernah menjadi makna. Hanya saja, ada sebuah nyawa yang dihembuskan di dalam lagu ini. Sebut saja nabi itu bernama Farid Stevy Asta, ikon teman-teman yang berfestival diakhir pekan sembari menangisi hari terakhir peradaban. Tentu saja dia cuman ngetweet sabtu minggu. Bahkan ada suara-suara lain yang muncul dan berkata lain dengan apa yang dinyanyikan oleh Jenny. Ada suara tersendiri yang ku dengarkan ketika bertahun-tahun lagu ini selalu mengisi playlist mingguanku.
Dan bersama akhir pekan serta kekhawatiran, Jenny tidak pernah pergi meninggalkanku. Selalu ada bisikan kecil yang keluar dari bibir manisnya, untuk sekedar menari bersama kegelisahan hati yang seharusnya dirayakan. Tangisan awal pekan juga selalu beserta Jenny dan tarian  gilanya yang terkadang juga semakin menjadi-jadi. Jika sudah hampir mati kelelahan, dia selalu menawarkan sekumpulan perapian, untuk sekedar menghangatkan suasana malam.
 
Yak, begitulah Jenny entah bertransformasi atau tidak, menjadi sebuah sekumpulan yang disebut FSTVLST. Memang sudah bukan masaku lagi, kini saatnya mereka yang sedang menjalani masa pubertas nya untuk merayakan akhir pekan bersama mereka. Cheerssss~

Jumat, 17 Februari 2017

Menguras Lautan

Sebuah ketidakjelasan di pinggir pantai, sore itu bersama senja. Kisah mengenai Erik dan Helena...


H: Apa yang sedang kamu lakukan Erik?
E: Aku sedang menguras Lautan?
H: Apa maksudmu?
E: Iya menguras lautan.
H: Untuk apa?
E: Tidak tahu, aku hanya mengikuti kata hatiku saja.
H: Apa kau tau hal tersebut sia-sia?
E: Memang, seperti hidup. Pada akhirnya kita juga akan mati bukan? Kita kalah, tapi yasudah.
H: Baiklah, sampai jumpa.
E: Hati-hati dijalan!


Kita hidup hanya sekali bukan? Persetan! Aku sedang tidak tahu harus menulis apa, lebih tepatnya aku seorang pecundang yang tidak mau mengakui perasaanya.
Enthalah....

Jumat, 27 Januari 2017

Hujan, Cerita Gravitasi dan Kompleksitas Bumi.

            “Ada sesuatu yang hanya dipertemukan, bukan untuk dipersatukan. Itu kata para pujangga, tapi tidak bagiku.” – KrunK
 
            Yak, sore dan hujan. Kalian sudah tau bukan apa yang aka nada di mejaku? Benar sekali! Kopi, buku dan playlist random yang menunjuk Adhitia Sofiyan untuk menemani sore ku. Semua berawal dari After the Rain, Adelaide Sky, Loneliest Day, Deadly Storm Lighting Thunder dan seterusnya hingga hujan berhenti dan aku akan segera pergi dari kamarku. Ya setidaknya cepat atau lambat aku juga akan pergi meninggalkan kamarku. Baiklah, kita mulai..
           
            Sebenarnya aku sedang tidak ingin menulis apa-apa pada sore hari ini, hanya ingin duduk termenung sembari menghadap hujan dan sejenak bernafas untuk menikmati hidup. Akhir pekan yang harus ku nikmati tentunya, karena minggu depan akan menjadi awal dari rutinitas yang semakin menggila. Ya begitulah, manusia modern.
            Aku sudah menghabiskan dua gelas, sekarang jam enam lewat sebelas dan aku masih berpikir apa yang akan aku tulis. Sepertinya memang tulisan kali ini tidak tahu ceritanya akan seperti apa. Kutipan di awal tulisan pun sebenarnya juga secara acak muncul di kepalaku. Ah! Mungkin itu bisa membantu.
            Mereka yang dipisahkan, sebenarnya telah dipersatukan melalui jalan cerita dan kisah-kisah di setiap detik pertemuan mereka. Entah apapun yang terjadi di dalam kisah tersebut, tapi sebenarnya mereka sudah dipersatukan. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa manusia terkadang memilih untuk menjadi makhluk eksistensialis, ya sudahlah.
            Semua tentang pilihan, bagaimana untuk melihat sebuah perpisahan dari sudut pandang alternatif. Seperti halnya hujan, dipisahkan oleh awan gelap melalui cerita gravitasi dan kompleksitas bumi. Lalu jatuh menghujam, menuju tanah dan pergi ke suatu batas bernama laut, kemudian hanya akan kembali lagi, untuk mengalami sebuah perpisahan yang sama. Begitu kah?
            Mereka yang dipisahkan, suatu saat akan dipertemukan kembali. Entah dalam dimensi, waktu dan keadaan yang seperti apa…Dan hari pun sudah gelap, kopi ku masih belum habis, playlistnya masih setia menemaniku dan aku masih tetap belajar dari kehidupan ini. Terima kasih!
           

Senin, 23 Januari 2017

Aku Tidak Tahu Harus Menulis Judul Apa Karena Ini Sudah Larut Malam Dan Esok Kita Akan Menyambut Mentari Pagi


“Terkadang sesuatu yang bagimu sederhana, adalah sesuatu yang sangat mewah bagi orang lain.” – KrunK

 

            Dan lanjutan dari surat tersebut adalah.. Wanita sepertimu tidak pantas berada di posisi yang seperti ini. Ya, seharusnya seperti itu, tapi sayangnya kertasnya tidak cukup. Nah, ada satu kata kunci, yaitu ikuti saja tulisannya dan jangan berintepretasi yang aneh-aneh ya. Sebelum melanjutkan tulisan ini, ada baiknya jika kamu memilih lagu Elephant Kind – With Grace untuk menemanimu menghabiskan entah malam, pagi, siang, sore atau bahkan ternyata tulisan ini tidak pernh kamu baca sama sekali. Ya untung atau buntung siapa yang tau bukan? Oh iya aku lupa, tulisan ini hanya akan ada di dunia ini selama 1x24 jam.

            Baiklah kita mulai, kau adalah wanita hebat dan aku sangat berterima kasih sekali mendapatkan kesempatan untuk berada di dalam kemewaktuan bersamamu. Menghabiskan detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, dan pengalaman demi pengalaman. Aku begitu belajar banyak sekali dari sosok wanita hebat sepertimu, meskipun kita jarang sekali berkomunikasi mengenai hal-hal yang kadang ingin aku bicarakan. Tapi sayangnya, dalam tulisan kali ini tidak banyak yang ingin ku bicarakan.

            Aku juga tidak pernah tau bagaimana kau akan memandang diriku, entahlah aku tidak terlalu memikirkannya. Mungkin kau akan merasa terganggu dengan tulisan ini atau sebaliknya, entahlah siapa yang tau? Yang bisa ku lakukan hanyalah mencoba, untuk menggunakan perasaanku dan jujur saja aku menangis. Hey jangan berpikir yang aneh-aneh, sudah ku bilang kan. Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Dalam sebuah proses sepekan, aku belajar mengenai apa itu memaafkan diri sendiri. Hal paling sulit yang pernah aku lewati, dan rasanya begitu luar biasa.

            Ketika di jalan tadi, banyak sekali yang ingin aku tuangkan dalam tulisan ini, tapi sesampainya di kamar, hanya ada sekian. Ah maaf jika mengecewakan, tapi aku sudah memaafkan diriku sendiri.. Hehehehe. Kau tau, aku tidak pernah tertawa di dalam tulisanku, selamat menjadi orang pertama yang mampu membuatku tertawa, tersenyum dan menjadi berharga atas hidup yang sangat absurd ini.

            Wanita sepertimu tidak pantas berada di posisi yang seperti ini…

 

*Mungkin cukup sekian, aku rasa semesta tidak ingin diriku menulis lebih banyak. Jika ada yang ingin kau tanyakan silahkan, tak terhingganya waktu akan selalu menantimu.

Semoga hangatnya mentari pagi mempertemukan kita, esok.

Minggu, 22 Januari 2017

Empat Puluh Dua



“Kau bisa lahir untuk kesekian kalinya, tapi tidak mati untuk kedua kalinya.” – KrunK 



            Jadi itu hanya kiasan, tapi kiasan yang seperti apa? Kiasan mengenai pembelajaran dan hidup yang sekali lagi absurd. Tentang hidup dan ketersesatan; Tentang hidup dan pergumulan; Tentang hidup dan keterlemparan; Tentang hidup dan pembaharuan; Tentang hidup dan masih banyak lagi.
            Hidup bertahun-tahun dibawah rasionalitas membuatku merasa kering, kerontang di jalan yang terbentang. Begitu kata salah seorang temanku, Parkis. Pada suatu masa dimana kami dipertemukan, diskusi pun dimulai. Tentang hidup dan pembaharuan. Suatu perjalan di dalam kemewaktuan, selama sepekan bersama pengasingan. Aku mendapatkan banyak hal!
            Ini tentang empat puluh dua manusia yang memberikanku empat puluh dua pembelajaran sekaligus. Setiap manusia yang ku temui selalu memberikan sebuah pembelajaran yang tidak pernah ku dapatkan jika hanya menggunakan rasionalitasku saja. Empat puluh dua manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda. Empat puluh dua manusia dengan dinamika yang berbeda-beda. Empat puluh dua manusia yang pada akhirnya akan menjalani takdirnya masing-masing.
 Keseimbangan bukan lah hal yang buruk, perasaan juga tidak selemah yang ku kira. Dengan hati kita akan mengerti, dengan hati kita akan menanti dan dengan hati pada akhirnya kita akan mati. Aku tidak mau mati meninggalkan dunia ini hanya dengan rasionalitasku saja, aku ingin membawa sesuatu yang mampu mengalahkan rasionalitas itu sendiri.
Aku percaya, bahwa semesta selalu mau mengampuni, jikalau kau merendahkan hati serendah-rendahnya dan membesarkan hati sebesar-besarnya. Niscaya, semesta akan melahirkanmu kembali. Bersama dengan harapan dan keyakinan yang akan menemanimu hingga puncak gunung tertinggi di masing-masing mimpi kalian!





Terima kasih, Semangat Baik!







*Untuk pertama kalinya aku menulis menggunakan hati, untuk pertama kalinya juga tulisanku tidak seperti biasanya, untuk pertama kalinya aku akhirnya dilahirkan kembali.

Rabu, 11 Januari 2017

Singkat,



Semoga menjadi hidup yang lebih baik, seperti yang diinginkan oleh setiap manusia dalam rangka memanfaatkan momentum-momentum tertentu.... Entah kenapa aku tidak pernah bisa terlepas dari jerat paksa pikir siksa., selalu membahas yang begini dan begitu, pun berputar dan hanya menjadi hal yang sia-sia. Setidaknya, pemberhentian tersebut adalah sebuah peristirahatan sejenak dari kejamnya hidup yang harus terus menerus berlanjut.


 


Singkat, sebuah awal tahun, sebuah awal hari dan sebuah awal yang hanya akan menjadi awal, begitulah manusia terjebak di dalam kehidupan.