Sabtu, 31 Desember 2016

Menyambut Perayaan

Ya, mereka semua berjalan beriringan. Menyambut pergantian tahun, sebuah perayaan yang diulang dan terus menerus diulang. Padahal hari ini adalah sabtu dan esoknya minggu, lalu kenapa? Manusia memang suka merayakan banyak hal, entah apapun bagi mereka yang dirasa perlu untuk dirayakan. Bentuk perayaan mereka pun sangat bervariasi, dan aku berani bertaruh bahwa manusia adalah makhluk yang paling kreatif, ya setidaknya jika dibandingkan dengan binatang. Hehehe..
Jadi malam ini beberapa temanku ada yang berencana untuk merayakan pergantian tahun di tengah hingar bingar, adapula yang memilih untuk terasingkan jauh dari peradaban. Semua hanya soal selera, seperti halnya pilihan.. Perjalan yang cukup panjang dan melelahkan, aku banyak belajar mengenai arti kata pilihan. Secara singkat, begitulah enambelas mengemasku, terima kasih!

Jadi bagaimana kabarmu di Taman Olio, Helena?

Kamis, 29 Desember 2016

Erik & Helena : Skenario Akhir Desember

"Ah hujannya sudah berhenti." Begitu kata Erik sembari menyalakan rokoknya dan melihat keluar jendela. "Aku baru ingat bahwa pagi ini adalah akhir dari sebuah desember, bukan kah begitu Helena?" Helena masih tertidur pulas di kasurnya sembari mengenakan selimut dan topi natal. Malam hari sebelumnya, sepasang manusia yang terjebak di dalam kemewaktuan tersebut merayakan sebuah perayaan atas ketiadaan. Ketiadaan kemanusiaan, lebih tepatnya sekumpulan manusia yang menuhankan modernisme.
"Lihat lah betapa bodohnya mereka Helena, terjebak di dalam rutinitas dan terus-menerus melakukan sesuatu yang selalu diulang-ulang. Memulai pagi, melaksanakan siang dan mengakhiri malam. Apa mereka tidak bosan?" Sesekali Erik hisap rokoknya, sembari melihat orang-orang di kerumunan melalui kaca jendelanya yang berembun.
Dari kaca jendela tersebut dia melihat banyak sekali manusia dengan berbagai kegiatan dan jati diri. Ada seorang parlente mengenakan busana super mewah dan berjalan layaknya manusia maha oke, menyisir rambutnya yang klimis dan sesekali ia curi-curi pandang terhadap gadis-gadis muda disekitarnya. Kemudian ada beberapa anak kecil yang saling berkejaran, entah apa yang sedang mereka mainkan, tapi itu terlihat sangat membahagiakan, hal yang sudah lama tidak dirasakan oleh Erik. Ada pula kakek tua renta yang berjalan lemah di pergumulan para manusia dan rutinitasnya, ia berjalan tertatih-tatih berjuang agar dapat segera keluar dari kerumunan yang semakin menggila tersebut.
"Ah, manusia, kehidupan dan lagi-lagi permenungan. Menyebalkan!" Ucap Erik sambil sedikit berteriak. Teriakan tersebutlah yang membangunkan Helena dari tidur panjangnya. "Ada apa Erik? Kenapa kau berteriak? Ah sudah pagi lagi ternyata.." Erik menengok ke arah Helena yang sedang mengenakan kacamata. "Oh kau sudah bangun, selamat pagi! Aku hanya sedang memikirkan sesuatu Helena, ketika melihat banyak hal dari balik jendela pagi ini."
"Apa yang sedang kau pikirkan? Sepertinya akan menjadi sebuah obrolan menarik." Tanya Helena.
"Apa yang sebenarnya mereka cari?" 
"Siapa maksudmu, Erik?" Helena yang baru saja terbangun menguap.
"Manusia, lantas apa yang sebenarnya mereka cari?" Tanya Erik kepada Helena.
"Oh, lagi-lagi manusia ya."
"Cukup mengganggu bukan?"
"Ya begitulah."
"Apakah akan selalu begini Helena? Akhir dari sebuah Desember." Erik mematikan rokoknya, kemudian meletakannya di asbak.
"Banyak hal-hal yang sesungguhnya tersirat Erik, mereka bersembunyi seperti perdebatan Eksistensi dan Esensi, kau tidak akan bisa mengetahui semua hal. Terkadang, sesekali lakukan hal-hal yang berkebalikan. Cobalah untuk berpikir menggunakan hati, lalu sebaliknya." Helena masih terbaring di kasurnya, menggunakan selimut dan topi natal.
"Seperti halnya obrolan ketika, bukan kah hidup hanyalah sebuah skenario? Jikalau begitu maka si penulis juga turut serta menyembunyikan sesuatu? Apakah seperti itu Helena?"
"Ya begitulah, penulis yang menceritakan kisah kita berdua pun sedang berpikir keras Erik, bagaimana dia dapat menyembunyikan sesuatu yang selayaknya disembunyikan."
"Apakah dia akan tetap berusaha untuk melanjutkan ceritanya? Sembari memikirkan hal-hal tersirat yang harus disembunyikan kembali?" Erik kembali melihat ke arah jendela, melihat kerumunan yang semakin penuh sesak.
Helena mencoba bangun dari kasurnya, sembari digulung oleh selimut, topi natal di kepalanya pun belum terlepas. "Pertanyaanmu itu, seperti hal nya kapan kita akan mati? Manusia mana yang mampu menjawabnya? Sepertinya tidak ada Erik." Setelah sepersekian detik Helena bangkit, terdengar suara tembakan pistol sebanyak enam kali. Kemudian suasana di kamar itu seketika menjadi hening, hanya lagu-lagu milik George Ezra yang masih bersenandung pagi itu dan Budapest menjadi saksi keheningan di sepersekian detik terakhir... Apakah ada yang kurang?
 

Kamis, 10 November 2016

Payung-Payung Keniscayaan




Ah kenapa musiknya berhenti? Menyebalkan!
Aku sangat membenci hujan yang tidak bersenggama,
Dengan alunan melodi keputusasaan.
Rintihan butir kerinduan hanya akan menjadi kesia-siaan belaka,
Bilamana pada akhirnya memang dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.


Untuk sekedar jatuh,
Menghujam ke tanah,
Lalu berdarah,
Di hadapan payung-payung kematian,
Aku bersaksi,
Bahwa langit adalah sepersekian dari rasa rinduku padamu,
Wahai kau partikel yang menjadi manifestasi atas ketiadaan.


Lalu seperti biasa mengenai sepersekian detik,
Hujan pun berhenti,
Kemudian payung-payung keniscayaan mulai menghilang,
Dan aku kembali lagi terjebak di dalam hingar bingar samar.
Melihat setetes demi setetes ketakutan,
Jatuh dari langit-langit rumah tua itu,
Perlahan seperti pemakaman yang tak kunjung juga ku dapatkan.
Maka berlarilah aku menuju taman Olio,


Mengambil sekuntum harapan,
Atas kehidupan yang sebenarnya tidak pernah ada.

Rabu, 05 Oktober 2016

Untuk Sesuatu Yang Pada Akhirnya Hanya Menjadi Ketiadaan, Lalu Dilupakan.

            Apa yang sebenarnya aku cari? Bahkan aku tidak tahu kenapa aku masih hidup sampai saat ini. Aku juga tidak mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan dari kehidupan yang terlalu fana ini. Sampai saat ini, aku masih tersesat dan tetap menolak untuk menggunakan kompas. Pernah kalian berpikir tentang sebuah teori mengenai titik jenuh dalam suatu hal? Kejenuhan adalah hal yang sangat wajar dialami oleh setiap manusia. Jujur saja, mungkin aku sudah terlalu lelah dengan perjalanan ini. Terlebih dengan ketersesatanku dan dengan angkuhnya menolak untuk menggunakan kompas. Oh dimana aku?


            Sebuah peradaban kah? Apa untuk kesekian kalinya kita harus membicarakan peradaban? Sepertinya tidak. Aku hanya tersesat, dan lupa bagaimana cara menikmatinya. Mungkin saja aku sudah mulai jenuh, maka hal baru apa yang harus aku lakukan? Cara hidup yang seperti apa? Hidup yang bagaimana? Padahal aku tidak perlu pusing-pusing untuk memikirkannya. Aku sangat menunggu, hari dimana aku akan jenuh dengan pikiranku sendiri, kemudian aku tinggal menjalani kehidupan ini seperti manusia pada umumnya. Menjadi yang seragam, menjadi yang terikat oleh nilai, menjadi yang fana, menjadi yang sebenarnya tidak pernah menjadi, menjadi seperti apa yang tidak pernah aku inginkan.


            Entah sampai kapan aku akan berbicara tentang waktu, angin kehidupan, kritik terhadap kopi peradaban dan sebagainya. Sebenarnya, aku hanya tidak tahu bagaimana cara menjalani hidup, bukan untuk menjadi yang baik atau jahat, bukan menjadi yang terdepan atau terbelakang, bukan menjadi yang terlihat atau terbenam, hanya menjadi yang hidup dan seperti yang dikehendaki oleh semesta. Sedangkan sampai saat ini semesta tak kunjung memberikan kabar, padahal sudah kulewatkan lima pekan dengan ketidaktenangan dan kegelisahan tak bertuan ini. Aku merindukan tenang, Aku merindukan pergulatanku dengan sisi lain dari kehidupanku,Aku rindu terjebak di dalam rasionalitas tak berbatas, Aku merindukan rindu.


            Aku juga tidak pernah mengerti kenapa aku mulai menulis, untuk sesuatu yang sebenarnya tidak akan pernah ada harganya, untuk sesuatu yang bahkan tidak akan pernah bisa dimengerti, untuk sesuatu yang mengalir seperti hal nya darah, untuk sesuatu yang pada akhirnya hanya menjadi ketiadaan, lalu dilupakan.


            Ah sampai dimana aku tadi? Maaf, tadi ada sedikit ketertarikan eksistensialis. Apakah akan kita lanjutkan? Sepertinya tidak, mari cukupkan sampai disini. Sayang sekali, kalian harus membaca tulisan ini. Tulisan sia-sia yang sama seperti halnya kehidupan kita kelak, diakhir penantian bernama kematian.

Sabtu, 03 September 2016

Pertanyaan dan Pernyataan

         Terkadang aku diam termenung memikirkan suatu hal, tentang sebuah pertanyaan yang lebih sering muncul ketimbang hal-hal mengenai keterlemparan hidup atau manusia beserta peradabannya. Pertanyaan yang sangat sering muncul dan ku acuhkan, karena ini tidak semudah merenungkan kehidupan beserta kompleksitasnya. Kenapa aku selalu berpikir mengenai hal-hal kecil disekitarku? Mengapa aku selalu menulisnya di dalam sebuah catatan harian yang tidak tahu akan sampai kapan aku akan melakukannya? Bagaimana bisa aku selalu berpikir mengenai hal-hal yang hirarki dan sebenarnya tidak perlu di pertanyakan, namun aku justru menantangnya dan ingin membuat sebuah anti-tesis?
           Tiga pertanyaan yang akan selalu muncul setelah aku selesai menulis catatan harianku mengenai permenunganku atas hidup ini. Pertanyaan yang sampai saat ini tidak pernah bisa aku jawab, atau mungkin memang sedang tidak ingin aku jawab. Entahlah, aku merasa menjadi manusia yang berbeda dengan orang-orang disekitarku. Berbicara soal normal hingga bosan, kebebasan yang tidak pernah bisa keluar dari batasnya dan peperangan berdarah mengenai kebenaran. Tiga hal yang selalu berputar di kepalaku, memaksaku untuk berpikir dan menghasilkan sebuah tulisan yang sebenarnya aku tidak tau, untuk apa aku menulis? Semakin hari, aku merasa tidak sanggup menerima segala realita kehidupan ini. Kompleksitasnya semakin menghimpitku ke ruang tak terbatas, semakin terhimpit semakin menjadi sempit. Hingga batas yang aku cari sedari dulu hampir ke temukan, namun kembali semesta selalu member sebuah permainan yang menyenangkan. Permainan tersebutlah yang mencegah kompleksitas tersebut membantuku untuk menyentuh batas kehidupan ini, benar-benar menarik.
           Entahlah sampai kapan samudera kehidupan ini akan ku arungi. Tidak seperti pelaut yang lain, aku selalu diterpa badai kebingungan. Sepertinya aku terlalu sombong untuk tidak memakai kompas dalam perjalanan panjang ini. Tapi aku percaya, di ujung laut sana juga ada pelaut yang sepertiku, jadi itu tidak terlalu membuatku khawatir berpergian di tengah luasnya samudera tanpa sebuah kompas sebagai penunjuk arah. Biarkan saja mata angin membawaku, sesuka dia menghantarkanku kepada semesta. Cukup sekian, aku tidak terlalu suka menulis panjang-panjang seperti para maestro disana. Aku ini hanya seonggok daging yang bergentayangan dalam kemewaktuan, jadi tidak ada yang perlu diharapkan dari manusia sepertiku.

Sabtu, 27 Agustus 2016

Dari Sekian Banyak Nanodetik

"Kembalilah aku kedalam rutinitas hidup sebagai homo homini lupus homo homini socius. Melakukan berbagai hal yang harus diselesaikan, lalu berhenti sejenak  mendengarkan alunan piano dari Chopin. Waltz A Flat major, op 69 No 1 seakan-akan membawaku pergi ke rumah Napoleon Bonaparte, bukan membahas tentang seni dalam berperang, hanya sekedar untuk ngopi saja. Bahkan jikalau dia akan menjelaskan tentang ajaran Machiavelli, lebih baik aku bergegas menuju destinasi selanjutnya. Ya karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan aku tidak memiliki cukup waktu untuk mendengarkan hal tersebut. Sekilas imajinasiku, termenung disudut perpustakaan dan menikmati keheningan waktu yang telah diajarkan oleh Paman Heidegger.
               Setidaknya sampai saat ini aku masih memiliki hasrat untuk hidup, ya walaupun sama saja seperti yang lalu ketika dalam sebuah pencarian, namun awal bulan yang akan datang tentu akan berbeda… Semoga saja. Tapi siapa yang akan tahu dengan masa depan yang mampu membuat hampir seluruh umat di bumi ini mengalami geworfenheit, seperti yang sudah dijelaskan oleh Paman Heidegger tadi malam. Oke, sekian cerita singkat tentang imajinasiku atau apapun yang sedang ada didalam otakku. Jadi bisakah kita mulai setelah aku menceritakan seperempat lebih sedikit dari keadaan yang sedang menghantuiku? Baiklah…
               Tentang harapan yang sudah aku hapus perlahan-lahan dari otak dan nuraniku, setidaknya aku lebih merasa tenang ketika sudah tidak lagi berkenalan dengan hal tersebut. Apakah hidupku menuju temaram? Semakin gelapkah? Atau semakin menjadi-jadi terangnya? Benar sekali! Aku belum memiliki jawaban pasti untuk pertanyaan itu. Tapi yang jelas, aku merasakan ketenangan dan keheningan yang begitu berharga, yang tidak pernah orang-orang modern rasakan karena mereka dihajar habis-habisan oleh pemenuhan atas keinginan dan kebutuhan. Bukan bermaksud apapun, hanya saja aku menemukan satu masa dari sekian banyak nanodetik yang ada untuk sekedar diam dan menyadari keberadaanku di dunia ini.
               Mungkin aku adalah satu dari puluhan orang yang sedang tersudut di perpustakaan ini, namun tentu berbeda karena aku sedang tidak diburu-buru oleh hal-hal yang seakan-akan mematikan keberadaan diriku. Walaupun banyak hal yang harus diselesaikan, aku lebih memilih untuk berdiam diri sejenak menemukan keheningan dan kedamaian hati. Lantas ku tulis sedikit demi sedikit yang mulai kabur dari sekitaran kepalaku.
               Apakah dirasa tulisan ini cukup panjang? Jika ya mungkin akan segera ku sudahi karena tidak baik memang melakukan sesuatu secara berlebihan, walalupun aku menemukan keheningan, ketenangan, kedamaian dan teman-teman yang lain. Tapi jangan sampai hanyut didalam arus mematikan bernama pencarian makna atas hidup ini. Singkatnya, aku harus kembali melanjutkan rutinitasku sebagai manusia yang tidak bisa menolak untuk terjebak didalam hingar binger laju waktu yang seakan-akan menjadikan diri kita tidak pernah ada. Tanpa makna…."

Sekitar beberapa bulan yang lalu, bersama kesunyian yang semakin aku rindukan. Oh gelap, dimana kah kau berada? Kopi buatanku tidak pernah sepahit milikmu, aku ingin kembali menjadi sesosok dan seonggok. Ditengah yang sekali lagi bernama hingar bingar, meretas yang paling keras dalam sebuah kertas bermajas.

Jumat, 12 Agustus 2016

Melihat Peradaban

Ah sudah pukul sebelas, mataharinya masih terlelap. Pemalas!
Ku ambil surat kabar hari ini, tidak ada yang berbeda.
Hanya pemberitaan, mengenai hal-hal itu saja.
Bosan kah aku? Terlampau.
Sudah dua gelas semenjak pagi dan kesabaranku menunggu datangnya angin kehidupan.
Kasus-kasus yang dikasuskan menjadi pembuka pagi ini.
Disusul seni atas pembunuhan, yang katanya menjadi kebutuhan.
Selalu pemerkosaan menjadi teman, sembari menyantap sarapan.
Tentang cara mengada di dalam peradaban gila, selalu dicari para tuan dan puan.
Ketertarikan manusia, haram bila tidak disematkan.
Kabar yang bahkan tidak penting, juga ditaruh di pojok sebelah kiri halaman depan. 
Penawaran menarik, tentang prostitusi konservatif.
Kemudian kabar perselingkuhan individu yang mengada, sebuah konstruksi pasif.
Lalu ada kasus korupsi, yang entah seperti halnya sebuah ilusi
Eksistensi kebodohan manusia pun tak kalah menjadi sajian menarik surat kabar pagi ini.
Masih saja mereka berputar di lingkaran kebenaran seputar identitas.
Sebuah pencapaian tidak terlalu menarik, karena hanya bertahan satu dua hari saja.
Lalu tentang pesan singkat berupa beli, beli dan beli.
Bangunan mewah, hanya dengan sepersekian keberanian juga tidak mau kalah.
Ada busa tidak stabil, milik segelintir orang yang bukan proletar.
Lalu apalagi? Silahkan cari sendiri di berandamu.
~
Ah sampah sekali, tapi bukan kah begitu cara modernitas?
Segalanya menjadi cepat, katanya agar kita tahu.
Kompleks, sehingga banyak yang luput .
Tapi kenapa yang tidak berbentuk kini menjadi sebuah keseragaman?
Seakan-akan kami hanyalah sebuah komoditas.
Dijebak dalam ruang benar dan salah.
Untuk sekedar diperjualbelikan dalam tanda kutip, tanya dan perintah.
Dimana pesan perdamaian berada?
Hanya ada ini dan itu, semuanya berperang mencari kuasa.
Berputar kesana kemari, dengan sebuah inovasi.
Banjir, tolong aku tenggelam!
Di dalam percepatan laju informasi yang begini dan begitu.
………..
Begitulah cara melihat peradaban kita, bukan kah begitu?

Senin, 08 Agustus 2016

Ekstasi Ekspetasi



            Ah, akhirnya aku kembali. Setelah mengasingkan diri dari kesunyian, tidak ada yang aku dapatkan. Hanya hingar bingar dan masih tetap sama seperti pertama kalinya aku datang. Tidak ada yang berubah, kecuali waktu yang dengan angkuhnya terus menerus berjalan maju. Tidak, tidak bisa! Tidak akan pernah bisa kita mengembalikan waktu, kita tidak sehebat dia yang memiliki kuasa setara dengan semesta. Padahal, bermain dengan waktu akan sangat mengasyikan. Andai kata, ku ciptakan mesin waktu, aku akan menjadi yang abadi. Bahkan lebih abadi dari kemewaktuan itu sendiri, dan aku tidak pernah hanyut di dalamnya. Berjalan beriringan dan tepat satu ketukan sebelum mati, cahaya itu melesat sepersekian detik.
            Cahaya apa itu? Cahaya kehidupan kah? Atau hanya cahaya ekstasi ekspetasi kita? Salah satu candu paling mematikan yang pernah aku temui, ekspetasi namanya. Lahir di setiap penjuru muka bumi, ada di setiap urat nadi manusia, bersinergi di setiap hembus nafas kehidupan. Ekstasi yang tidak akan pernah dilarang oleh siapapun, karena ekstasi itu gratis! Kau hanya perlu memiliki keberanian, untuk berkenalan dengan ekstasi tersebut. Tidak ada satu pun penguasa yang akan melarang, bahkan menghanguskan ekstasi tersebut. Karena para penguasa di penjuru dunia pun sudah hanyut di dalam ekstasi yang memberikan kepastian semua akan kekhawatiran manusia mengenai eksistensinya.
            Mungkin hanya ada segelintir manusia, bisa jadi tidak lebih dari sepuluh, yang sadar dan tahu tentang bahaya dari ekstasi ekspetasi. Ah tapi sudahlah, semua manusia juga sepertinya terlihat baik-baik saja menikmati ekstasi gratis tersebut. Biarkan mereka melayang, jauh terbang di udara. Sampai pada akhirnya mereka sadar bahwa gravitasi akan sesegera mungkin menjatuhkan mereka, kembali ke bumi. Dan pastilah, pasti. Mereka akan tetap mengulang hal yang sama, sampai pada akhirnya diyakini bahwa akan ada sesosok siapapun itu yang datang untuk menyelamatkan umat manusia dari candu bernama ekspetasi.
            Banyak sekali dari mereka, yang menyarankanku agar segera menikmati ekstasi tersebut. Tapi tidak, tidak bahkan sekalipun tidak. Mesikpun mereka beralasan bahwa ekstasi tersebut adalah sebuah paket yang dikirimkan bersama dengan keterlemparan kita. Lalu begitu kah kita sebagai manusia? Hanya menerima segala hal yang ada, sampai kita lupa bahwa meninjau kembali sebuah nilai bukanlah suatu kesalahan atau dosa yang lebih kejam daripada dosa asal kita sebagai manusia! Dosa yang diyakini sebagai asal muasal keterlemparan kita ke dalam dunia ini, lalu singkat cerita dikirimlah sebuah ekstasi bernama ekspetasi untuk membuat kita agar tetap bertahan hidup.
            Ah sayang sekali, sepertinya aku masih berada di dalam ruang candu. Tentu bukan ekspetasi, hanya candu yang menyebabkan ketersesatan. Candu tanpa merk dagang.. Tapi sayangnya aku sudah semakin tinggi, tidak lagi terkejar dan hanya menunggu kapan waktu yang tepat untuk terjun bebas menuju palung terdalam kehidupan… Untuk yang kesekian kalinya

Senin, 04 Juli 2016

Transisi Bulan Juli

"Menuju bulan Juli, dimana setahun kedepan aku akan genap berkepala dua…"

Malam itu hujan, aku sendirian seperti biasanya menikmati kopi dan perapian di sebuah café. Tidak ada yang spesial dengan hujan malam ini, semua terasa biasa saja seperti malam dan hujan yang tidak berkesudahan. Aku hanya mengingat sebagian dari memoar usang yang terekam di dalam setiap hembusan perapian serta pahitnya kopi malam itu. Terasa begitu nikmat, sama seperti biasanya. Tapi aku benar-benar berharap hujan pada malam itu berbeda, aku sedikit bosan. Suatu kejutan ku harap datang menemui ku malam itu, mungkin akan ku ajak dia bercengkerama bersama kopi dan perapian hingga larut malam.
            Tapi tetap saja, tidak ada yang berubah. Hanya aku disini dengan segala keadaan yang akan sampai kapanpun tetap sama apabila aku tidak melakukan perubahan apapun. Aku sadar dengan hal tersebut, tapi sayangnya aku masih belum ingin meninggalkan kenikmatan remeh seperti ini. Walaupun memang sangat membosankan, berbicara melalui sebuah tulisan yang tidak aku ketahui untuk siapa ditujukan. Tapi aku seperti tidak memiliki pilihan lain, yang bisa ku lakukan hanya menjalani ini semua.
            Hanya ada sepasang kekasih yang sedang memadu kasih dan seorang pria tua yang menikmati kopinya sembari membaca buku dan mengenakan topi tua miliknya. Kemudian seperti biasanya, sang barista akan terlihat sok sibuk mempersiapkan ini dan itu di singgah-sanahnya. Ya begitulah deskripsi singkat suatu malam di sebuah cafe. Benar-benar tidak ada yang special bukan? Hanya kesepian dan keresahan yang menemaniku hingga gelas demi gelas dan batang demi batang menjadi satuan hitung keberadaanku di dalam kehidupan ini. Benar-benar terasa sepi hidup ini, tanpa adanya sebuah kejutan-kejutan yang datangnya dari nurani.
            Apakah pria tua di ujung sana juga merasakan hal yang sama denganku? Menghabiskan hari demi hari tanpa sebuah inisiatif, terjebak di dalam rutinitas dan merasakan kebosanan atas hidup ini. Tapi sepertinya tidak, dia terlalu asik membaca bukunya, mungkin buku itu adalah hidupnya. Sama halnya seperti sepasang kekasih itu, saling menjadi kehidupan satu sama lain. Lalu sang barista dengan seni di dalam kopi-kopinya, juga memiliki penghargaan atas hidupnya. Sedangkan sampai saat ini, di dalam perjalan yang sudah ku tempuh ribuan mil jauhnya, aku bahkan tidak menemukan kehidupan itu. Tidak dengan buku, kekasih atau kopi.
            Aku telah merasakan itu semua dulu, sekarang hal-hal seperti itu sudah tidak lagi bernilai. Mungkin kesepian dan kesendirian ini adalah pengharagaanku atas hidup? Ah aku masih malu-malu berkenalan dengan nurani, sesungguhnya ketika aku sudah mengenal nurani tersebut, mungkin semua keresahan ini akan segera berakhir. Tapi ada sebuah tekanan yang memaksaku untuk tidak mengenal nuraniku, “Sebaiknya tetap berjalan saja, hal remeh seperti itu hanya akan menghambatmu!” tapi bagaimana mungkin hal tersebut menghambatku? Justru pertanyaan-pertanyaan yang sering bermunculan karena aku tak mengenal nurani lah yang semakin menghambatku. Tapi aku sedang terhambat oleh apa? Dan kemana aku akan pergi? Sudah ribuan mil aku lewati, dari mana sebenarnya aku berangkat?
            Kemudian aku tidak mau mengingat hal tersebut, mari kembali ke sebuah virtualiasi café tersebut. Malam semakin mencekam, hujan turun semakin deras dan gelegar langit menjadi teman semesta bersenandung bersama menunggu datangnya pagi. Pria tua dan bukunya itu sudah tidak ada di tempat terakhir dia duduk, sepasang kekasih tersebut memutuskan untuk kembali ke apartemennya, sang barista masih tetap saja sibuk dengan segala ini dan itunya di singgah sanah kekuasaannya. Aku menoleh kearah jendela di sebelahku, banyak sekali orang-orang berjalan dibawah tangisan semesta. Pulang dari rutinitas pekerjaan, menuju ke suatu perayaan atau hanya tersesat di jalan bernama kehidupan? Itulah yang sesungguhnya sedang mereka lakukan di dalam keterlemparan hidup ini.
            Mengamati manusia-manusia di dalam rutinitasnya memang menyenangkan, apalagi hujan turun yang semakin membuat suasana menjadi syahdu. Aku begitu menikmati detik demi detik yang ada dan setiap kecepatan langkah kaki orang-orang yang semakin mendekati tujuan mereka. Aku terlalu menikmati suasana pada malam itu, sampai-sampai aku lupa kopiku sudah dingin, seperti halnya diri ini. Lalu apa yang tersisa kini? Perapian sudah habis terbakar menghangatkan suasan malam ini, kopi yang sudah dingin tidak akan bersinergi dengan baik apabila tetap dinikmati. Jadi apa yang tersisa kini? Sebuah nafas yang menciptakan irama kehidupan, itulah hal terakhir yang akan kita miliki di dunia ini. Sebuah tempat pemberangkatan, tujuan dan kenikmatan hidup yang tidak akan pernah kita sadari, karena kita telah hanyut ditelan keterlemparan kita di dalam hidup ini.