Senin, 20 Juni 2016

Ditempa Waktu dan Semesta, Semasa Muda Menggila



            Satu hal yang paling ku rindukan dari masa mudaku adalah semangat muda yang berkobar-kobar laksana api di dalam neraka yang sudah siap sedia menyambut kedatangan para pendosa, seperti halnya masa mudaku yang dipenuhi dengan berbagai dosa namun tidak pernah sedikitpun aku berbagi hal tersebut. Semangat menjadi muda, begitu menyenangkan sekali! Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang hanya satu kali itu. Di usiaku yang hampir berkepala dua ini aku sudah tidak menganggap diriku ini muda, banyak sekali hal yang harus aku persiapkan untuk menyambut masa depanku. Sedangkan aku hanya memiliki masa muda sekitar enam tahun dan waktu yang singkat itu benar-benar aku manfaatkan sebaik mungkin, tidak sekedar menjadi penggila pesta dan hal-hal lain yang menyenangkan, tetapi juga menyelesaikan semua tanggung jawab yang ada di masa itu.
            Mari kita mulai ketika hentakan dan alunan melodi yang menghantarkan kami menuju perayaan akhir pekan. Disitu berkumpul berbagai macam manusia. Entah tua, muda, kaya, miskin, kiri, kanan, normal, gila, atau apapun kalian menyebutnya, mereka tidak pernah peduli dengan perbedaan tersebut. Mereka hanya menginginkan satu hal yang sangat sederhana pada masa itu, kebahagiaan. Sebatas mendengarkan para pengamen panggung bersinergi, membentuk suatu ruang kebahagiaan yang temporer namun tak berbatas dan mereka semua yang hadir bersorak-sorai merayakan perarakan akhir pekan tersebut. Tanpa peduli dari mana mereka berasal, atau siapa mereka sesungguhnya, identitas tidak pernah ada di dalam kerumunan tersebut. Hanya ada sebuah status berlabelkan “Sekumpulan Manusia,Pencari Kebahagiaan dan Penari Lupa Diri”. Begitulah perarakan dimulai ketika hentakan pertama keluar entah dari mana asalnya.
            Menolak kesedihan dan memilih untuk bercengkerama dengan siapapun. Itulah yang akan aku lakukan ketika nurani sedang tidak bisa berkompromi. Aku menolak segala perasaan negatif dan memilih untuk melakukan sesuatu yang bagiku membahagiakan. Bertemu dengan manusia-manusia lain, terutama yang baru ku kenal adalah sesuatu yang menyenangkan. Mendengarkan mereka bercerita tentang keluh kesah atau sekedar cerita remeh mengenai hidupnya merupakan bagian favoritku ketika berinteraksi dengan mereka, tentu sembari minum kopi atau sekedar berjalan ke entah berantah. Kemudian waktu jatuh terlalu cepat dan entah sudah berapa jam yang kami habiskan untuk berbicara kesana-kemari mengenai hal-hal yang remeh, namun terkesan begitu membahagiakan. Tapi pada akhirnya aku justru lupa menceritakan hal-hal yang seharusnya ku ceritakan, karena sibuk mendengarkan dongeng mereka bisa membuatku lupa dengan perasaan negatif yang muncul.
            Selalu ada bisikan kecil entah keluar dari bagian tubuh mana, memberikan sebuah ceramah singkat mengenai apa yang harus aku lakukan dalam sehari, seminggu bahkan sebulan. Aku memiliki begitu banyak rencana yang harus sesegera mungkin ku selesaikan, tanpa ada sebuah beban sama sekali karena rencana itu berasal dari sebuah ceramah singkat sang nurani. Bahkan pada masa itu, aku tidak pernah merasakan kelelahan yang begitu menyakitkan. Justru bagiku kelelahan adalah ketika aku tidak bisa melakukan apapun untuk satu jam saja, itu sangat melelahkan, berpikir mengenai hal-hal seru apalagi yang harus aku lakukan sebelum masa mudaku habis. Benar-benar pemuda yang penuh semangat!
            Masa awal remaja yang begitu indah, tidak pernah bisa ku lupakan. Terkadang aku ingin kembali ke masa itu, dimana hidupku adalah untuk menggila dan bersenang-senang. Persetan dengan orang lain yang tak sepaham dengan kami! Bagiku, kebahagiaan di masa itu begitu sederhana, tidak serumit di masa sekarang. Tapi begitulah hidup, selalu berubah dan kita dituntut untuk bisa menyesuaikan. Apa jadinya jika tidak? Kau akan mempersulit dirimu sendiri untuk berkembang, kita mungkin tahu yang terbaik untuk diri kita, tapi sayangnya sang waktu lah yang lebih paham mengenai cara untuk menempa kita menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Percayalah, cukup siapkan senyum terbaikmu untuk menerima segala hal yang sudah disiapkan oleh sang waktu dan semesta.

Rabu, 15 Juni 2016

Sang Penakluk Kehidupan



            Dan kini aku tidak perlu repot-repot lagi untuk berjuang. Aku telah mati ditelan peradaban yang mengatasnamakan manusia. Tubuh ini hanyalah sebuah daging yang mampu berjalan kesana-kemari dan sangat disayangkan, tidak bisa lagi merasakan birahi. Nafsu sudah mengudara bersama roket kebencian umat manusia yang menuju jagad raya luas tak terbatas. Kini tinggal seonggok daging, bahka tanpa sebuah nurani untuk memilih dan berinisiatif. Sedangkan logika sudah terpenjarakan didalam keseragaman umat manusia, universal adalah sebuah keharusan. Kau akan mati apabila menjadi beda! Semua yang bergerak dibawah matahari sudah diatur sedmikian rupa. Celakalah kita!
            Kita terus-menerus mengada, padahal keberadaan kita seharusnya dipertanyakan. Apakah benar-benar diri kita ini memang berada di dalam ruang bernama kehidupan beserta kompleksitasnya? Lantas kau sedang memulai perjalananmu menuju dimensi tak berhingga dan kau akan mati kelelahan karena tidak mampu menjawab segala pertanyaan hidup ini. Sekarang yang bisa kau lakukan hanyalah diam, menunggu kematian dan menyambutnya dengan bahagia. Percayalah bahwa manusia tidak selamanya benar dan manusia tidak selamanya salah, apa maksudnya? Gunakan rasionalitas kalian untuk menjawabnya!
            Hanya terkadang, ingat untuk kesekian kalinya bahwa ini hanya terkadang. Aku membenci kehidupan ini, khusunya manusia dan peradaban. Kalian adalah ciptaan yang mencipta budak namun diperperbudak dan  pembunuh yang pada akhirnya terbunuh. Tragis sekali tragedi yang di sebut dengan kehidupan ini. Sampai-sampai aku tidak tahu lagi dengan apa yang akan aku tulis. Pergilah menuju langit tak bertuan, disana akan banyak burung-burung menyambut kekejaman kita sebagai sang penakluk kehidupan.

Jumat, 03 Juni 2016

Dari Tak Berujungnya Waktu



Bunga dan Air Mata

Dan yang untuk kesekian kalinya
Untuk malam yang semakin mencekam
Bersama hadirnya bulan dan bintang-gemintag
Sebagai tanda sebuah perpisahan
Bukanlah sebuah puisi manis ku persembahkan
Bahkan kata-kata yang dirangkai layaknya kado kelahiran.
Tidak untuk sebuah keindahan, mati sudah kerepotan
Dengan segala hingar binger mamalia banal
Bernama manusia.

Mengada di dalam kemewaktuan
Menjadikan perubahan semakin menjadi-jadi
Apalagi yang akan berubah?
Bukan kah kita tidak siap untuk selalu berputar?
Di dalam roda bernama kehidupan
Di ujung tertinggi mereka berlomba-lomba
Menyaksikan pemandangan terbaik sepanjang masa
Tentang manusia-manusia lain yang saling berjibaku
Hanya untuk sekedar melihat diri mereka
Dari ujung teratas kehidupan
Kemudian komedi kemanusiaan layak untuk ditertawakan
Tidak terbatas episodenya, sesuka hati
Tapi sayangnya hati sudah menjadi antipati
Jadi jangan pernah menunggu epilognya.

Lalu dimana Bunga yang aku janjikan?
Serta dengan air mata yang aku persembahkan?
Tidak untuk manusia-manusia seperti kita.
Aku menyimpannya di dalam sebuah kotak
Kemudian ku terbangkan bersama nafas kehidupan
Pergi, semakin menjauh, jauh dan jauhnya tidak terhingga
Tapi sejauh rasionalitas kita terjaga
Kotak itu jatuh, ke tangan para tirani
Bukan sebatas kekuasaan saja
Lebih dari itu, hal-hal yang tidak pernah kita sadari
Namun kita selalu menolaknya
Hanya dapat kita temukan, setelah kotak itu meledak
Sebentar lagi, mungkin sepersekian detik cukup
Untuk melihat umat manusia menghitung mundur
Sebuah dekonstruksi massal.

Dirayakanlah sebuah perayaan tanpa makna
Untuk memenuhi nilai lebih, ini dan itu
Tidak ada bunga dan air mata
Semua sudah berganti, dan akan terus berganti
Mereka bersorak-sorai, diujung kecepatan peradaban
Semakin menjadi-jadi, cepatnya tanpa kuasa
Lalu mereka berteriak kegirangan
Semacam sirkus yang mempertontonkan adrenalin
Dan semuanya menyaksikan pertunjukan itu
Gratis, tanpa dipungut biaya apapun
Tapi dengan syarat, yaitu ketidaktetapan
Dan apalagi yang mereka tunggu, sesegera mungkin
Mereka masuk di dalam karnaval tanpa sirkus
Tapi mereka tetap bersorak-sorai dengan kebaruan itu
Relativitas semakin menari-nari bersama manusia.

Untuk apalagi keberadaan kita dipertanyakan?
Jangan! Tidak usah!
Cukup sudah, berhenti saja.
Terdengar suara tangisan dari kotak tersebut
Sebentar lagi akan meledak
Sebaiknya berdoa saja, kepada hal-hal yang kamu percayai
Agar tidak ada satu bunga pun yang menyentuh jantungmu
Atau setetes air mata yang bersapaan dengan kepalamu
Untuk hati yang sudah tidak seharum bunga di taman
Untuk otak yang sudah tidak sejernih oase di gurun
Kita masih dan tetap akan menjadi satu per nol.