Sabtu, 03 September 2016

Pertanyaan dan Pernyataan

         Terkadang aku diam termenung memikirkan suatu hal, tentang sebuah pertanyaan yang lebih sering muncul ketimbang hal-hal mengenai keterlemparan hidup atau manusia beserta peradabannya. Pertanyaan yang sangat sering muncul dan ku acuhkan, karena ini tidak semudah merenungkan kehidupan beserta kompleksitasnya. Kenapa aku selalu berpikir mengenai hal-hal kecil disekitarku? Mengapa aku selalu menulisnya di dalam sebuah catatan harian yang tidak tahu akan sampai kapan aku akan melakukannya? Bagaimana bisa aku selalu berpikir mengenai hal-hal yang hirarki dan sebenarnya tidak perlu di pertanyakan, namun aku justru menantangnya dan ingin membuat sebuah anti-tesis?
           Tiga pertanyaan yang akan selalu muncul setelah aku selesai menulis catatan harianku mengenai permenunganku atas hidup ini. Pertanyaan yang sampai saat ini tidak pernah bisa aku jawab, atau mungkin memang sedang tidak ingin aku jawab. Entahlah, aku merasa menjadi manusia yang berbeda dengan orang-orang disekitarku. Berbicara soal normal hingga bosan, kebebasan yang tidak pernah bisa keluar dari batasnya dan peperangan berdarah mengenai kebenaran. Tiga hal yang selalu berputar di kepalaku, memaksaku untuk berpikir dan menghasilkan sebuah tulisan yang sebenarnya aku tidak tau, untuk apa aku menulis? Semakin hari, aku merasa tidak sanggup menerima segala realita kehidupan ini. Kompleksitasnya semakin menghimpitku ke ruang tak terbatas, semakin terhimpit semakin menjadi sempit. Hingga batas yang aku cari sedari dulu hampir ke temukan, namun kembali semesta selalu member sebuah permainan yang menyenangkan. Permainan tersebutlah yang mencegah kompleksitas tersebut membantuku untuk menyentuh batas kehidupan ini, benar-benar menarik.
           Entahlah sampai kapan samudera kehidupan ini akan ku arungi. Tidak seperti pelaut yang lain, aku selalu diterpa badai kebingungan. Sepertinya aku terlalu sombong untuk tidak memakai kompas dalam perjalanan panjang ini. Tapi aku percaya, di ujung laut sana juga ada pelaut yang sepertiku, jadi itu tidak terlalu membuatku khawatir berpergian di tengah luasnya samudera tanpa sebuah kompas sebagai penunjuk arah. Biarkan saja mata angin membawaku, sesuka dia menghantarkanku kepada semesta. Cukup sekian, aku tidak terlalu suka menulis panjang-panjang seperti para maestro disana. Aku ini hanya seonggok daging yang bergentayangan dalam kemewaktuan, jadi tidak ada yang perlu diharapkan dari manusia sepertiku.