Sabtu, 23 November 2019

Sebatas Cerita Hujan di Sore Hari


23 November 2019
           
Pukul empat sore tepat, seharusnya Lana sudah datang di tempat teh langganan kami. Tetapi sore ini dia belum menampakkan kacamata dan rambut hitamnya yang selalu dia ikat dengan bolpoin ataupun pensil. Mungkin karena hujan hari ini tidak sesuai dengan ramalan cuaca yang ada, dan sepertinya ponsel miliknya sedang mati. Jika melihat ramalan cuaca di Internet, seharusnya sore ini cerah, tetapi siapa yang tahu dengan keinginan semesta untuk menangis. Meskipun Lana belum juga sampai, setidaknya aku masih bisa menikmati hujan sore itu sendirian. Tempat teh langganan kami memiliki dua lantai, dan dilantai dua terdapat sebuah spot favorit kami, dimana kami berdua biasanya sering menghabiskan waktu bersama untuk sekedar membicarakan kehidupan yang kompleks, menikmati secangkir teh dan menikmati senja tai anjing yang menjadi bahan ejekan netizen, tidak apa-apa, silahkan.
        Aku memutuskan untuk tidak memabakar sebuah perapian dan tidak mendengarkan lagu apapun, hanya ada aku dan hujan di sore itu, dan juga perasaan menunggu seseorang yang sedang benar-benar ingin kita temui. Oh iya, sebenarnya sudah lama sekali aku tidak menikmati hujan seperti ini, karena biasanya di bulan November seperti ini, aku lebih sering mengutuk hujan, tentu saja karena kehujanan dan tidak membawa jas hujan. Tetapi hari ini, entah kenapa semesta mau berbaik hati kepadaku untuk menangis ketika diriku sedang tidak menempuh suatu perjalanan. Keinginan semesta, siapa yang tau.
      Hujan sore itu tidak terlalu lebat, sehingga masih ada beberapa orang yang menerobos tangisannya. Ada beberapa orang yang berjalan dengan payung, ada beberapa orang yang menggunakan motor dan jas hujan, ada pula beberapa orang yang menggunakan mobil untuk melewati hujan sore itu. Masing-masing dari mereka memiliki tujuan, perjuangan dan ceritanya masing-masing. Selalu membuatku penasaran, tentang apa yang sedang mereka kerjakan, tentang apa yang sedang akan mereka tuju dan sebagainya. Pikiran-pikiran yang sebenernya tidak perlu, tetapi cukup menganggu. Tetapi sore itu, ada seorang Ibu yang berjalan dengan anaknya, yang membuat perhatianku tertuju padanya. Tentu saja, karena mereka berdua tertawa dibawah hujan sore itu, sang Ibu memaksa anaknya untuk tetap ada dibawah payung, sedangkan sang anak berlari menghindari Ibunya. Suatu sore yang benar-benar indah.
            Ah, aku hampir lupa. Sudah 30 menit, Lana juga tidak kunjung memberikan kabar. Sepertinya ponselnya benar-benar mati, dan sepertinya dia sedang berteduh disuatu tempat, seorang diri, tentu saja karena dia bodoh, lupa membawa jas hujannya hari ini. Karena semesta tidak bisa disalahkan, atas hujan yang datang sore ini. Seharusnya dia lebih siap, terlebih ini musim hujan, tetapi menyalahkan dirinya dan keadaannya tidak akan cukup membantu. Akupun menyadari, bahwa tidak semua orang berada diposisiku seperti saat ini. Beberapa orang mungkin sedang mengumpat karena kehujanan, beberapa orang mungkin sedang tertidur menikmati sore hari dan hujan, mungkin juga ada beberapa orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sore itu.

Sebuah hujan disore hari dan beberapa cerita tentang kehidupan yang begitu absurd, mungkin..
Dan beberapa cerita bohong, bahwa sebenernya aku sedang tidak menunggu siapa-siapa.

Sabtu, 02 November 2019

Kompleksitas dan Relativitas Kehidupan


(Sebuah Awal Pijakan Manusia, Fundamental Kehidupan)
Pada suatu masa, aku dilahirkan, terlempar dalam kehidupan yang benar-benar begitu kompleksnya, sehingga aku menjadi dari bagian relativitas dunia yang selalu berubah dan dinamis. Pada suatu titik, aku berpikir bahwa tidak dilahirkan didunia ini adalah sebuah kesempatan yang harusnya ku ambil jika bisa, tapi sayangnya kehidupan ini tidak pernah memberikan pilihan kepada kita untuk memilih, setidaknya untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan sama sekali. Bagiku, dilahirkan ke dalam kehidupan ini adalah sebuah kutukan. Seperti mitos sisifus, yang mengangkat batu hingga anak tangga terakhir, tetapi selalu gagal dan mengulangnya lagi dari awal. Seperti itu, dan akan tetap seperti itu, hingga dia mengamini hidupnya sebagai sebuah kutukan yang tidak akan pernah selesai. Pada suatu hari, aku berpikir untuk tetap hidup dan mengalah terhadap kompleksitasnya, tetapi pada suatu hari yang lain, aku berpikir untuk mati dan melawan relativitasnya.
Maka aku bernyayi, merayakan kehidupan dan kematian, beserta kompleksitas dan relativitasnya. Didalamnya, terdapat pujian, tetapi terdapat pula hujatan, karena aku ingin menjadi yang ideal, yang berada dititk tengah dan disebut sebagai manusia yang adil. Tetapi sayangnya tidak seperti itu, tidak ada titik tengah, yang ada hanyalah kecenderungan dan preferensi. Benar dan salah hanyalah konstruksi, baik dan buruk hanyalah argumentasi. Kita tidak sedang benar-benar membela sesuatu hal yang mutlak. Kita hanya membela sesuatu yang kita anggap perlu kita bela. Maka dari situ, dimulailah peperangan manusia terhadap alam dan sesamanya. Peperangan yang mencetak manusia-manusia yang kehilangan rasa kemanusiaannya. Peperangan yang perlahan membumihanguskan kehidupan ini, beserta kompleksitasnya dan relativitasnya.

(Tetap Berperang diakhir Pekan, Untuk Iblis dan Badut Perayaan)
            Dari peperangan itu, manusia diciptakan. Membunuh atau dibunuh adalah pilihan, tidak ada yang benar-benar menjadi temanmu. Satu-satunya teman yang abadi adalah dirimu sendiri, atau dari bahasa yang lebih politis, kepentingan adalah teman abadi. Lalu, peperangan menciptakan keletihan, sehingga memunculkan akhir pekan, untuk sejenak beristirahat dan memulai peperangan selanjutnya. Dan dari akhir pekan ini, sesungguhnya muncul peperangan baru, antara manusia dengan dirinya sendiri. Sebuah peperangan untuk memenangkan kebahagiaan, dengan berbagai cara dan pilihan yang setiap harinya akan semakin beragam. Ada yang memilih untuk bercinta diakhir pekan. Ada yang memilih untuk konsumtif diakhir pekan. Ada yang memilih untuk produktif diakhir pekan. Dan ada juga yang memilih untuk termenung diakhir pekan. Semuanya adalah pilihan, didalam peperangannya masing-masing.
            Akhir pekan yang dikonsepsikan seperti peperangan tersebut melahirkan iblis dan badut dalam suatu momen yang bersamaan. Iblis berarti sisi manusia yang dipenuhi dengan ego dan sifat kedirian, sedangkan badut berarti sisi manusia yang dipenuhi dengan kebodohan dan sifat keikut-ikutan. Sekali lagi, tidak ada yang benar-benar salah, sungguh.. Relativitas kehidupan ini benar-benar menipu kita, tetapi itupun juga tidak mutlak. Yang aku tahu pasti, iblis dan badut itu berjalan dalam sebuah perayaan, dimana mereka merasa menjadi diri mereka yang utuh, tetapi sebenernya mereka adalah korban perang dan menciptakan perang yang sekali lagi terhadap dirinya sendiri. Iblis dan badut yang secara bersamaan menjadi manifestasi manusia diakhir pekan, dengan segala yang dikonsumsinya, dengan segala yang diintepretasikannya.

(Sosial Media dan Sejarah Baru Manusia)
            Manusia menciptakan sejarahnya dengan berbagai cara, tidak perlu aku jelaskan karena sejarah itu sendiri yang akan bercerita. Tetapi, modernitas membawa suatu wacana yang begitu luar biasanya, dimana sejarah untuk pertama kalinya tidak dicetak oleh para pemenang peperangan, tetapi dicetak secara komunal bersama-sama, dalam satu kata amin, dalam satu rumah ibadah bernama media sosial, atau internet juga boleh. Manusia, bersama-sama menuliskan sejarahnya masing-masing, dalam satu narasi yang dikumpulkan oleh rumah ibadah itu. Kemudian manusia-manusia menganggap satu sejarah itu sebagai bentuk populisme, dimana didalamnya tetap terdapat kompleksitas dan relativitas kehidupan.
            Ada yang berbicara soal kesehatan mental, ada yang berbicara soal peperangan, ada yang berbicara soal lingkungan, ada yang berbicara soal keluarga yang tidak harmonis, ada yang berbicara soal korupsi dan konstelasi politik, ada yang berbicara soal hal remeh bernama cinta, ada yang berbicara soal budaya populer, ada yang berbicara soal intoleransi, ada yang berbicara  soal eksistensi Tuhan, dan ada yang berbicara dalam diam. Betapa banyaknya sejarah yang sedang dituliskan oleh manusia-manusia tersebut dalam satu rumah ibadah yang terekam abadi. Populisme menjadi suatu alternatif agama, yang minim intoleransi, yang minim differensiasi, meskipun pada akhirnya tidak pernah pasti. Media sosial adalah sekumpulan doa yang sedang diamini bersama secara komunal, menjadi sebuah sejarah yang tidak akan pernah terlupakan. Peradaban kita, pada masa ini, adalah apa yang sedang dituliskan dan dinarasikan oleh media sosial dalam bentuk doa-doa dan amin yang bervariasi. Selamat membaca, selamat mengamini.

(The Art of Receiving, Seni dalam Menerima)
            Pada akhirnya, begitulah kehidupan, beserta kompleksitasnya, beserta relativitasnya. Tidak perlu mengkhawatirkan kegilaan yang ada disekitarmu, tidak perlu mengamini kematian yang katanya mengerikan. Kematian adalah suatu final dan garis finishnya, dimana perjalanan kita telah selesai, dimana kita akan sadar bahwa yang abadi adalah keabadian itu sendiri, dimana kita akan belajar bahwa yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Semua terangkum dalam perjalanan kita selama hidup, entah berapapun lamanya, itu menjadi suatu bagian proses bagaiman kita terlempar dalam kehidupan ini. Tidak ada yang perlu disesali, tidak ada yang perlu ditangisi, karena kita adalah manusia yang mewaktu dan temporer. Jadi merayakan kematian adalah bagian dari merayakan kehidupan, karena kedua hal tersebut adalah satuan yang sebenernya tidak pernah dipisahkan.
            Menangislah ketika kamu sedang ingin melakukannya, karena terkadang kehidupan ini terlalu menyebalkan. Menjadi manusia berarti menerima semua ketidakidealan dalam diri kita, menangis bukan berarti lemah, menangis berarti kuat, untuk jujur terhadap diri sendiri. Tertawalah ketika kamu sedang ingin melakukannya, karena terkadang kehidupan ini terlalu lucu dan penuh kejutan. Menjadi manusia berarti menerima semua momentum dalam kehidupan kita, tertawa tidak melulu soal bahagia, tertawa bisa juga bentuk syukur terhadap hidup yang sering terdapat satu dua musibah didalamnya. Hiduplah, setidaknya hingga kematian menjemputmu, bukan dirimu yang menjemput kematian itu.  Karena bagi kematian, adalah hina ketika kita manusia yang menjijikan ini datang menemuinya yang selalu menang dari kehidupan.
            Pada akhirnya, kehidupan bukanlah perlombaan, bukan juga perjalan. Kehidupan adalah sekumpulan kompleksitas dan relativitas cerita kita yang berproses bersama dengan diri kita, sehingga tidak ada satupun manusia di bumi ini yang benar-benar sama. Maka dari itu, jadilah manusia yang benar-benar manusia, menurut kepercayaan dan idealismemu.

P.S: Sudah lama tidak menulis, tulisan yang sangat egois.