Senin, 04 Juli 2016

Transisi Bulan Juli

"Menuju bulan Juli, dimana setahun kedepan aku akan genap berkepala dua…"

Malam itu hujan, aku sendirian seperti biasanya menikmati kopi dan perapian di sebuah café. Tidak ada yang spesial dengan hujan malam ini, semua terasa biasa saja seperti malam dan hujan yang tidak berkesudahan. Aku hanya mengingat sebagian dari memoar usang yang terekam di dalam setiap hembusan perapian serta pahitnya kopi malam itu. Terasa begitu nikmat, sama seperti biasanya. Tapi aku benar-benar berharap hujan pada malam itu berbeda, aku sedikit bosan. Suatu kejutan ku harap datang menemui ku malam itu, mungkin akan ku ajak dia bercengkerama bersama kopi dan perapian hingga larut malam.
            Tapi tetap saja, tidak ada yang berubah. Hanya aku disini dengan segala keadaan yang akan sampai kapanpun tetap sama apabila aku tidak melakukan perubahan apapun. Aku sadar dengan hal tersebut, tapi sayangnya aku masih belum ingin meninggalkan kenikmatan remeh seperti ini. Walaupun memang sangat membosankan, berbicara melalui sebuah tulisan yang tidak aku ketahui untuk siapa ditujukan. Tapi aku seperti tidak memiliki pilihan lain, yang bisa ku lakukan hanya menjalani ini semua.
            Hanya ada sepasang kekasih yang sedang memadu kasih dan seorang pria tua yang menikmati kopinya sembari membaca buku dan mengenakan topi tua miliknya. Kemudian seperti biasanya, sang barista akan terlihat sok sibuk mempersiapkan ini dan itu di singgah-sanahnya. Ya begitulah deskripsi singkat suatu malam di sebuah cafe. Benar-benar tidak ada yang special bukan? Hanya kesepian dan keresahan yang menemaniku hingga gelas demi gelas dan batang demi batang menjadi satuan hitung keberadaanku di dalam kehidupan ini. Benar-benar terasa sepi hidup ini, tanpa adanya sebuah kejutan-kejutan yang datangnya dari nurani.
            Apakah pria tua di ujung sana juga merasakan hal yang sama denganku? Menghabiskan hari demi hari tanpa sebuah inisiatif, terjebak di dalam rutinitas dan merasakan kebosanan atas hidup ini. Tapi sepertinya tidak, dia terlalu asik membaca bukunya, mungkin buku itu adalah hidupnya. Sama halnya seperti sepasang kekasih itu, saling menjadi kehidupan satu sama lain. Lalu sang barista dengan seni di dalam kopi-kopinya, juga memiliki penghargaan atas hidupnya. Sedangkan sampai saat ini, di dalam perjalan yang sudah ku tempuh ribuan mil jauhnya, aku bahkan tidak menemukan kehidupan itu. Tidak dengan buku, kekasih atau kopi.
            Aku telah merasakan itu semua dulu, sekarang hal-hal seperti itu sudah tidak lagi bernilai. Mungkin kesepian dan kesendirian ini adalah pengharagaanku atas hidup? Ah aku masih malu-malu berkenalan dengan nurani, sesungguhnya ketika aku sudah mengenal nurani tersebut, mungkin semua keresahan ini akan segera berakhir. Tapi ada sebuah tekanan yang memaksaku untuk tidak mengenal nuraniku, “Sebaiknya tetap berjalan saja, hal remeh seperti itu hanya akan menghambatmu!” tapi bagaimana mungkin hal tersebut menghambatku? Justru pertanyaan-pertanyaan yang sering bermunculan karena aku tak mengenal nurani lah yang semakin menghambatku. Tapi aku sedang terhambat oleh apa? Dan kemana aku akan pergi? Sudah ribuan mil aku lewati, dari mana sebenarnya aku berangkat?
            Kemudian aku tidak mau mengingat hal tersebut, mari kembali ke sebuah virtualiasi café tersebut. Malam semakin mencekam, hujan turun semakin deras dan gelegar langit menjadi teman semesta bersenandung bersama menunggu datangnya pagi. Pria tua dan bukunya itu sudah tidak ada di tempat terakhir dia duduk, sepasang kekasih tersebut memutuskan untuk kembali ke apartemennya, sang barista masih tetap saja sibuk dengan segala ini dan itunya di singgah sanah kekuasaannya. Aku menoleh kearah jendela di sebelahku, banyak sekali orang-orang berjalan dibawah tangisan semesta. Pulang dari rutinitas pekerjaan, menuju ke suatu perayaan atau hanya tersesat di jalan bernama kehidupan? Itulah yang sesungguhnya sedang mereka lakukan di dalam keterlemparan hidup ini.
            Mengamati manusia-manusia di dalam rutinitasnya memang menyenangkan, apalagi hujan turun yang semakin membuat suasana menjadi syahdu. Aku begitu menikmati detik demi detik yang ada dan setiap kecepatan langkah kaki orang-orang yang semakin mendekati tujuan mereka. Aku terlalu menikmati suasana pada malam itu, sampai-sampai aku lupa kopiku sudah dingin, seperti halnya diri ini. Lalu apa yang tersisa kini? Perapian sudah habis terbakar menghangatkan suasan malam ini, kopi yang sudah dingin tidak akan bersinergi dengan baik apabila tetap dinikmati. Jadi apa yang tersisa kini? Sebuah nafas yang menciptakan irama kehidupan, itulah hal terakhir yang akan kita miliki di dunia ini. Sebuah tempat pemberangkatan, tujuan dan kenikmatan hidup yang tidak akan pernah kita sadari, karena kita telah hanyut ditelan keterlemparan kita di dalam hidup ini.