Rabu, 05 Oktober 2016

Untuk Sesuatu Yang Pada Akhirnya Hanya Menjadi Ketiadaan, Lalu Dilupakan.

            Apa yang sebenarnya aku cari? Bahkan aku tidak tahu kenapa aku masih hidup sampai saat ini. Aku juga tidak mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan dari kehidupan yang terlalu fana ini. Sampai saat ini, aku masih tersesat dan tetap menolak untuk menggunakan kompas. Pernah kalian berpikir tentang sebuah teori mengenai titik jenuh dalam suatu hal? Kejenuhan adalah hal yang sangat wajar dialami oleh setiap manusia. Jujur saja, mungkin aku sudah terlalu lelah dengan perjalanan ini. Terlebih dengan ketersesatanku dan dengan angkuhnya menolak untuk menggunakan kompas. Oh dimana aku?


            Sebuah peradaban kah? Apa untuk kesekian kalinya kita harus membicarakan peradaban? Sepertinya tidak. Aku hanya tersesat, dan lupa bagaimana cara menikmatinya. Mungkin saja aku sudah mulai jenuh, maka hal baru apa yang harus aku lakukan? Cara hidup yang seperti apa? Hidup yang bagaimana? Padahal aku tidak perlu pusing-pusing untuk memikirkannya. Aku sangat menunggu, hari dimana aku akan jenuh dengan pikiranku sendiri, kemudian aku tinggal menjalani kehidupan ini seperti manusia pada umumnya. Menjadi yang seragam, menjadi yang terikat oleh nilai, menjadi yang fana, menjadi yang sebenarnya tidak pernah menjadi, menjadi seperti apa yang tidak pernah aku inginkan.


            Entah sampai kapan aku akan berbicara tentang waktu, angin kehidupan, kritik terhadap kopi peradaban dan sebagainya. Sebenarnya, aku hanya tidak tahu bagaimana cara menjalani hidup, bukan untuk menjadi yang baik atau jahat, bukan menjadi yang terdepan atau terbelakang, bukan menjadi yang terlihat atau terbenam, hanya menjadi yang hidup dan seperti yang dikehendaki oleh semesta. Sedangkan sampai saat ini semesta tak kunjung memberikan kabar, padahal sudah kulewatkan lima pekan dengan ketidaktenangan dan kegelisahan tak bertuan ini. Aku merindukan tenang, Aku merindukan pergulatanku dengan sisi lain dari kehidupanku,Aku rindu terjebak di dalam rasionalitas tak berbatas, Aku merindukan rindu.


            Aku juga tidak pernah mengerti kenapa aku mulai menulis, untuk sesuatu yang sebenarnya tidak akan pernah ada harganya, untuk sesuatu yang bahkan tidak akan pernah bisa dimengerti, untuk sesuatu yang mengalir seperti hal nya darah, untuk sesuatu yang pada akhirnya hanya menjadi ketiadaan, lalu dilupakan.


            Ah sampai dimana aku tadi? Maaf, tadi ada sedikit ketertarikan eksistensialis. Apakah akan kita lanjutkan? Sepertinya tidak, mari cukupkan sampai disini. Sayang sekali, kalian harus membaca tulisan ini. Tulisan sia-sia yang sama seperti halnya kehidupan kita kelak, diakhir penantian bernama kematian.