Jumat, 27 Januari 2017

Hujan, Cerita Gravitasi dan Kompleksitas Bumi.

            “Ada sesuatu yang hanya dipertemukan, bukan untuk dipersatukan. Itu kata para pujangga, tapi tidak bagiku.” – KrunK
 
            Yak, sore dan hujan. Kalian sudah tau bukan apa yang aka nada di mejaku? Benar sekali! Kopi, buku dan playlist random yang menunjuk Adhitia Sofiyan untuk menemani sore ku. Semua berawal dari After the Rain, Adelaide Sky, Loneliest Day, Deadly Storm Lighting Thunder dan seterusnya hingga hujan berhenti dan aku akan segera pergi dari kamarku. Ya setidaknya cepat atau lambat aku juga akan pergi meninggalkan kamarku. Baiklah, kita mulai..
           
            Sebenarnya aku sedang tidak ingin menulis apa-apa pada sore hari ini, hanya ingin duduk termenung sembari menghadap hujan dan sejenak bernafas untuk menikmati hidup. Akhir pekan yang harus ku nikmati tentunya, karena minggu depan akan menjadi awal dari rutinitas yang semakin menggila. Ya begitulah, manusia modern.
            Aku sudah menghabiskan dua gelas, sekarang jam enam lewat sebelas dan aku masih berpikir apa yang akan aku tulis. Sepertinya memang tulisan kali ini tidak tahu ceritanya akan seperti apa. Kutipan di awal tulisan pun sebenarnya juga secara acak muncul di kepalaku. Ah! Mungkin itu bisa membantu.
            Mereka yang dipisahkan, sebenarnya telah dipersatukan melalui jalan cerita dan kisah-kisah di setiap detik pertemuan mereka. Entah apapun yang terjadi di dalam kisah tersebut, tapi sebenarnya mereka sudah dipersatukan. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa manusia terkadang memilih untuk menjadi makhluk eksistensialis, ya sudahlah.
            Semua tentang pilihan, bagaimana untuk melihat sebuah perpisahan dari sudut pandang alternatif. Seperti halnya hujan, dipisahkan oleh awan gelap melalui cerita gravitasi dan kompleksitas bumi. Lalu jatuh menghujam, menuju tanah dan pergi ke suatu batas bernama laut, kemudian hanya akan kembali lagi, untuk mengalami sebuah perpisahan yang sama. Begitu kah?
            Mereka yang dipisahkan, suatu saat akan dipertemukan kembali. Entah dalam dimensi, waktu dan keadaan yang seperti apa…Dan hari pun sudah gelap, kopi ku masih belum habis, playlistnya masih setia menemaniku dan aku masih tetap belajar dari kehidupan ini. Terima kasih!
           

Senin, 23 Januari 2017

Aku Tidak Tahu Harus Menulis Judul Apa Karena Ini Sudah Larut Malam Dan Esok Kita Akan Menyambut Mentari Pagi


“Terkadang sesuatu yang bagimu sederhana, adalah sesuatu yang sangat mewah bagi orang lain.” – KrunK

 

            Dan lanjutan dari surat tersebut adalah.. Wanita sepertimu tidak pantas berada di posisi yang seperti ini. Ya, seharusnya seperti itu, tapi sayangnya kertasnya tidak cukup. Nah, ada satu kata kunci, yaitu ikuti saja tulisannya dan jangan berintepretasi yang aneh-aneh ya. Sebelum melanjutkan tulisan ini, ada baiknya jika kamu memilih lagu Elephant Kind – With Grace untuk menemanimu menghabiskan entah malam, pagi, siang, sore atau bahkan ternyata tulisan ini tidak pernh kamu baca sama sekali. Ya untung atau buntung siapa yang tau bukan? Oh iya aku lupa, tulisan ini hanya akan ada di dunia ini selama 1x24 jam.

            Baiklah kita mulai, kau adalah wanita hebat dan aku sangat berterima kasih sekali mendapatkan kesempatan untuk berada di dalam kemewaktuan bersamamu. Menghabiskan detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, dan pengalaman demi pengalaman. Aku begitu belajar banyak sekali dari sosok wanita hebat sepertimu, meskipun kita jarang sekali berkomunikasi mengenai hal-hal yang kadang ingin aku bicarakan. Tapi sayangnya, dalam tulisan kali ini tidak banyak yang ingin ku bicarakan.

            Aku juga tidak pernah tau bagaimana kau akan memandang diriku, entahlah aku tidak terlalu memikirkannya. Mungkin kau akan merasa terganggu dengan tulisan ini atau sebaliknya, entahlah siapa yang tau? Yang bisa ku lakukan hanyalah mencoba, untuk menggunakan perasaanku dan jujur saja aku menangis. Hey jangan berpikir yang aneh-aneh, sudah ku bilang kan. Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Dalam sebuah proses sepekan, aku belajar mengenai apa itu memaafkan diri sendiri. Hal paling sulit yang pernah aku lewati, dan rasanya begitu luar biasa.

            Ketika di jalan tadi, banyak sekali yang ingin aku tuangkan dalam tulisan ini, tapi sesampainya di kamar, hanya ada sekian. Ah maaf jika mengecewakan, tapi aku sudah memaafkan diriku sendiri.. Hehehehe. Kau tau, aku tidak pernah tertawa di dalam tulisanku, selamat menjadi orang pertama yang mampu membuatku tertawa, tersenyum dan menjadi berharga atas hidup yang sangat absurd ini.

            Wanita sepertimu tidak pantas berada di posisi yang seperti ini…

 

*Mungkin cukup sekian, aku rasa semesta tidak ingin diriku menulis lebih banyak. Jika ada yang ingin kau tanyakan silahkan, tak terhingganya waktu akan selalu menantimu.

Semoga hangatnya mentari pagi mempertemukan kita, esok.

Minggu, 22 Januari 2017

Empat Puluh Dua



“Kau bisa lahir untuk kesekian kalinya, tapi tidak mati untuk kedua kalinya.” – KrunK 



            Jadi itu hanya kiasan, tapi kiasan yang seperti apa? Kiasan mengenai pembelajaran dan hidup yang sekali lagi absurd. Tentang hidup dan ketersesatan; Tentang hidup dan pergumulan; Tentang hidup dan keterlemparan; Tentang hidup dan pembaharuan; Tentang hidup dan masih banyak lagi.
            Hidup bertahun-tahun dibawah rasionalitas membuatku merasa kering, kerontang di jalan yang terbentang. Begitu kata salah seorang temanku, Parkis. Pada suatu masa dimana kami dipertemukan, diskusi pun dimulai. Tentang hidup dan pembaharuan. Suatu perjalan di dalam kemewaktuan, selama sepekan bersama pengasingan. Aku mendapatkan banyak hal!
            Ini tentang empat puluh dua manusia yang memberikanku empat puluh dua pembelajaran sekaligus. Setiap manusia yang ku temui selalu memberikan sebuah pembelajaran yang tidak pernah ku dapatkan jika hanya menggunakan rasionalitasku saja. Empat puluh dua manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda. Empat puluh dua manusia dengan dinamika yang berbeda-beda. Empat puluh dua manusia yang pada akhirnya akan menjalani takdirnya masing-masing.
 Keseimbangan bukan lah hal yang buruk, perasaan juga tidak selemah yang ku kira. Dengan hati kita akan mengerti, dengan hati kita akan menanti dan dengan hati pada akhirnya kita akan mati. Aku tidak mau mati meninggalkan dunia ini hanya dengan rasionalitasku saja, aku ingin membawa sesuatu yang mampu mengalahkan rasionalitas itu sendiri.
Aku percaya, bahwa semesta selalu mau mengampuni, jikalau kau merendahkan hati serendah-rendahnya dan membesarkan hati sebesar-besarnya. Niscaya, semesta akan melahirkanmu kembali. Bersama dengan harapan dan keyakinan yang akan menemanimu hingga puncak gunung tertinggi di masing-masing mimpi kalian!





Terima kasih, Semangat Baik!







*Untuk pertama kalinya aku menulis menggunakan hati, untuk pertama kalinya juga tulisanku tidak seperti biasanya, untuk pertama kalinya aku akhirnya dilahirkan kembali.

Rabu, 11 Januari 2017

Singkat,



Semoga menjadi hidup yang lebih baik, seperti yang diinginkan oleh setiap manusia dalam rangka memanfaatkan momentum-momentum tertentu.... Entah kenapa aku tidak pernah bisa terlepas dari jerat paksa pikir siksa., selalu membahas yang begini dan begitu, pun berputar dan hanya menjadi hal yang sia-sia. Setidaknya, pemberhentian tersebut adalah sebuah peristirahatan sejenak dari kejamnya hidup yang harus terus menerus berlanjut.


 


Singkat, sebuah awal tahun, sebuah awal hari dan sebuah awal yang hanya akan menjadi awal, begitulah manusia terjebak di dalam kehidupan.