Minggu, 18 Februari 2018

Mendaki Gunung Lewati Lembah Sungai Mengalir Indah

Untuk kalian yang sedang menuruni bukit, lalu memutuskan untuk kembali mendaki gunung yang lebih tinggi,

            Sudah lama aku tidak menulis sepagi ini, ternyata sudah cukup lama pula aku tidak menyapa pagi. Apa kabar? Kalian yang saat ini mungkin sedang merasakan keresahan, kekhawatiran atau ketakutan akan hidup yang semakin hari semakin tidak menyediakan kepastian. Semoga tetap dalam keadaan yang memang seharunya, entah apapun itu keadaannya. Menjadi manusia memang merepotkan, jika aku bisa memilih, menjadi sebuah koin sepertinya jauh lebih baik. Hanya memiliki dua sisi, yang pasti dan tidak terlalu kompleks, pun paling menyedihkannya adalah berdiri diantara kedua sisi tersebut, gambar atau angka.
            Untuk kalian yang sedang menuruni bukit, lalu memutuskan untuk kembali mendaki gunung yang lebih tinggi, Jika boleh, ku ucapkan selamat atas pilihan yang menurutku gila, tapi jujur saja kalian yang memilih untuk kembali mendaki gunung adalah orang-orang yang berani dan perlu diapresiasi, apalagi memilih untuk mendaki gunung yang lebih tinggi, semoga berhasil mendobrak batasan yang ada! Jika kalian memutuskan sesuatu hal dengan kesadaran yang utuh, aku ucapkan selamat. Jika kalian memutuskan sesuatu hal dengan kesadaran yang tidak utuh, aku ucapkan semoga beruntung. Jika kalian memutuskan sesuatu hal tanpa kesadaran sama sekali, aku ucapkan “semoga kematian menemukan mu hidup.”
            Entah untuk memilih pulang ke rumah, kembali mendaki atau sekedar beristirahat sejenak, adalah masing-masing pilihan yang bebas dipilih. Begitu pula dengan resikonya, bebas datang, menetap dan pergi begitu saja. Bukan berpikir tentang konsekuensi atau capaian apa yang akan kita dapatkan, lebih sederhana dari hal tersebut, mari kembali mempertanyakan kepada diri sendiri. Apakah memang sudah siap? Siap untuk apapun yang akan terjadi, siap untuk kehidupan yang terkadang absurd atau bahkan sekedar bertanya, sudah siap kah kita untuk berkata siap?
            Begitu lah hidup, masih soal kemewaktuan. Tentang manusia yang temporer, mewaktu di dalam kemewaktuan yang sebenarnya tidak pernah menjadi waktu seutuhnya. Untuk sekedar hidup menjadi seorang fatalis, absurdis ataupun nihilis. Baik secara sadar maupun tidak sadar, baik secara siap maupun tidak siap, baik secara utuh maupun tidak utuh. Dari keterkaitan parsial tersebut aku menemukan sesuatu hal. Pada akhirnya, aku belajar bahwa hidup tidak melulu soal memperbaiki sesuatu yang terkadang kita anggap salah. Ada sebuah fase dimana kita diberikan pilihan untuk membiarkan, atau terjebak di dalam kompleksitas yang terkadang menuntut kita untuk mengkreasikan realitas sesuai dengan hasil produksi idealisme kita yang seharusnya dipertanyakan. Sudah siap kah kita membenturkan realitas dengan idealisme yang dapat menyebabkan diri kita rapuh?
Adakah yang perlu ditangguhkan, ketika membiarkan sesuatu terjadi begitu saja? Atau setidaknya, membiarkan sesuatu hal untuk tetap menjadi dirinya. Kenapa kita selalu memiliki hasrat untuk mengubah sesuatu hal yang padahal kita tidak pernah tahu apakah memang seharusnya dirubah?

Jumat, 09 Februari 2018

Menjadi Abu


Ya, perapian terakhir untuk malam ini. Kemudian aku memutuskan untuk menulis, tentang sesuatu yang seperti biasa tidak aku ketahui. Malam ini, selesai bekerja, aku sedang mendengarkan sebuah lagu yang dilantunkan oleh Julian Casablanca berjudul Ludlow St. Lagu yang sebenarnya memantikku untuk segera menulis, karena sudah beberapa hari belakangan ini aku mendapatkan banyak ide untuk menulis, hanya saja ide tersebut harus kalah dengan rutinitas dan kemalasan yang secara bersamaan bersinergi.

Mari kita mulai, tentang sesuatu yang terkadang hanya datang, untuk sekedar mampir. Tidak untuk menetap, atau bahkan singgah. Ya begitu lah, aku masih sepakat dengan pernyataan bahwa manusia adalah makhluk yang mewaktu dan temporer, jadi tidak perlu dipermasalahkan dengan konsistensi mereka terhadap suatu hal. Waktu adalah musuh sekaligus kawan bagi manusia, sadar sekaligus tidak sadar, waktu adalah seperangkat kompleksitas yang menempa manusia, melalui pengalaman dan prahara nya masing-masing.

Tidak semua hal perlu dijelaskan, didefinisikan atau dipahami secara rasional. Ada beberapa hal yang memang perlu dibiarkan begitu saja, untuk sekedar diterima sebagai sesuatu yang tak masuk akal. Atau sesuatu hal lain yang memang tidak menyimpan apa-apa dibalik kemewaktuannya. Seperti hal nya hukum sebab akibat yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Hidup bukan sekedar soal sebuah alasan dan kejadian. Paling mudahnya hidup tidak melulu soal benar dan salah.

Tentang hitam dan putih, sesuatu hal yang menjadi sebuah analogi pertempuran dialektika manusia. Mereka terjebak di dalamnya, tidak banyak yang memilih untuk menjadi abu-abu di dalamnya. Pun, memilih menjadi abu-abu tetap memiliki dua sisi, karena itu disebut sebagai abu-abu. Ada yang memilih karena bijaksana, ada yang memilih karena sesungguhnya memang mereka tidak memilih. Mereka tetap menjadi abu-abu, namun dalam spektrum yang berbeda. Bukan kah itu rumit? Mungkin…

Sebagian memilih untuk terburu-buru, sebagian lagi memilih untuk tidak. Tapi, ada juga yang memilih untuk melakukan keduanya secara bersamaan, dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi tidak ada yang benar juga dengan hal tersebut.