Rabu, 27 Mei 2020

Tentang Sesuatu Di Luar Kendali Kita.


Memperingati 1 tahun pembicaraan tentang hidup, bersama Astri..

“Sore itu, tepatnya tanggal 27 Mei 2019 di Yogyakarta, adalah hari yang menurutku cukup bersejarah dalam hidupku, karena kebetulan dan ketidaksengajaan percakapan yang kami alami di sebuah gereja tua.”

(Maaf cuman ada foto ini waktu di Gereja HAHAHA)

          Aku masih ingat betul, sore itu kami bercengkerama membicarakan kehidupan dari berbagai macam sudut pandang. Lalu yang menjadikannya lebih spesial adalah spontanitas yang terjadi di hari itu, tidak ada dalam rencana kami berdua untuk bertemu dan membicarakan hal yang cukup berat, terlebih muda-mudi seperti kami tentu akan memilih cafe atau tempat nongkrong yang lain untuk sekedar bersua dan berbincang. Tetapi hari itu, kami memilih gereja dan lagi-lagi hasil dari spontanitas, mungkin lebih tepatnya adalah sesuatu yang sebenarnya dibiarkan terjadi begitu saja. Seakan sesuai dengan kehendak semesta, entahlah.
         Astri memulai pembicaraan dengan menceritakan kondisi kehidupannya, tentu saja karena sudah lama kami tidak bertemu dan berbincang seperti ini, biasanya hanya sekedar berbalas sapa di Instagram. Dia menceritakan dengan penuh antusiasme, sudah lama aku tidak melihat orang bercerita seperti ini. Tetapi ada sesuatu yang membuat ku penasaran, tentang apa yang sebenarnya dia rasakan dan sedang dialami oleh dirinya. Entahlah, mata seorang manusia sulit untuk menyembunyikan sesuatu hal yang sedang dia rasakan, dan aku tau bahwa ada hal berat yang sedang dipikulnya pada saat itu.
       Tanpa perlu hitungan jam, kemudian Astri menceritakan tentang prahara dalam hidupnya. Sesuatu yang menjadi pertanyaan terbesarku pada hari itu, karena sangat random sekali kami berdua berbincang seperti ini dan baru direncanakan beberapa jam sebelum akhirnya kami bertemu, terlebih kami berbincang di sebuah gereja tua, cukup menjadikan momen tersebeut sebagai sesuatu yang terkesan sangat drama sekali dan layak untuk diangkat ke layar lebar (sepertinya, hahaha). Akhirnya terjawab sudah, tentang apa yang diceritakan oleh Astri melalui kedua bola matanya beberapa menit yang lalu. Sebuah pergumulan hebat, antara dirinya dengan situasi yang tidak bisa ia kendalikan atau bahkan dimenangkan. Suatu kondisi dimana manusia dipaksa untuk bertarung melawan kehendak semesta yang terkadang sulit untuk dipahami.
Terlepas dari cerita detail tentang apa yang sebenarnya sedang dia alami, masing-masing manusia memiliki batasan dan indikator yang berbeda di dalam melihat kehidupan ini. Tetapi, penderitaan dan rasa sakit adalah sesuatu hal yang hampir sama di mata semua manusia, tinggal kategorisasi dan kadarnya saja yang berbeda. Dan Astri, pada hari itu telah melewati batas dari rasa sakit dan penderitaan yang sedang dia alami. Dia selamat dari penderitaan tersebut, baik secara fisik, mental, batiniah dan sebagainya dengan sehormat-hormatnya seperti seorang prajurit perang yang dihujani oleh ribuan peluru kehidupan. Setidaknya, ini yang ku ketahui melalui perbincangan kami.
Tentu saja rasa sakit yang tidak berkesudahan menjadi salah satu bagian dari penderitaan yang akan dialami oleh manusia, pada suatu momen, pada suatu hari nanti, seperti kata Nietzche bahwa ”to live is to suffer” dan aku sepakat bahwa hidup ini adalah rangkaian dari penderitaan yang sesungguhnya juga mengajarkan kita banyak hal. Melalui penderitaan, kita dipaksa untuk mengidupi kehidupan di titik terendah, dimana pembelajaran hidup banyak kita dapatkan di jurang tersebut. Tetapi sore itu, aku belum melihat adanya pembelajaran yang Astri dapat kan dan tentu menjadi hal yang wajar karena belajar adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu dan sifatnya tidak instan seperti indomie.

-----------

Hampir setahun berlalu, tepatnya pada tanggal 16 Mei, seminggu yang lalu, kali ini giliranku yang menginisiasi sebuah pembicaraan hidup. Tentu saja karena ketersesatanku di persimpangan hidup yang begitu membingungkan dan kali ini tidak bisa ku jawab seorang diri. Aku tidak tahu pasti kenapa aku memilih Astri sebagai teman berbincang pada hari itu, tetapi keputusan yang tidak berdasar tersebut pada akhirnya berbuah baik, karena jalan gelap di persimpangan hidupku telah kembali terang, meskipun masih membingungkan, tapi setidaknya jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Ternyata, semua pertanyaan dan ketersesatanku dalam hidup ini sudah terlebih dahulu dilewati oleh Astri, tepat setahun yang lalu. Sebuah pergumulan yang ternyata memberikan Astri banyak pelajaran hidup, kini menjadi suatu contoh pembelajaran yang akhirnya membantuku di dalam ketersesatan dan persimpangan hidup ini, terlebih dengan rekomendasi buku yang dia berikan berjudul “Man’s Search For Meaning” karya Victor E. Frankl seorang psikiater yang pernah menjadi tahanan Nazi dan selamat dari tragedi holocaust tersebut.
Frankl banyak menceritakan kisah hidupnya selama masa-masa suram dan mengerikan yang menjadikanku cukup menganggukan kepala, karena dia belajar dari sebuah pengalaman yang luar biasa, sebuah pengalaman yang harganya adalah kematian dan penderitaan, sebuah pengalaman yang belum tentu semua orang mampu mengambil peran tersebut Ada 1 bagian dari buku tersebut yang menurutku cukup menarik dan sangat teknis sekali mengenai makna kehidupan. Frankl mengatakan bahwa ada 3 cara untuk menemukan makna kehidupan,
     (1) dengan menciptakan karya atau melakukan perbuatan;
     (2) dengan mengalami sesuatu hal atau bertemu seseorang;
     (3) dengan sikap yang kita ambil terhadap penderitaan yang tak terhindarkan.

(Oiya bakalan jadi konten di Youtube juga heuheu)

Selama bercengkerama 3 jam melalui video call, Astri selalu mengulang beberapa hal soal respon dan stimulus. Sebelum membaca buku tersebut, aku agak kesulitan memahami konteks pembicaraan yang dimaksudkan oleh Astri. Tetapi semuanya menjadi berbeda setelah aku selesai membaca buku tersebut. Kini aku menjadi semakin paham dengan apa yang Astri bicarakan pada hari itu soal penderitaan, makna hidup dan mengelola respon diri terhadap suatu kejadian yang sekiranya tidak kita kehendaki. Aku benar-benar salut dengan Astri yang mampu melewati pergumulan hidupnya dan menang, terlebih dia juga berhasil membantuku untuk tidak tersesat di persimpangan hidup ini. Well, I respect you so much As3!
Ada sebuah persamaan diantara Astri dan Frankl, mereka berdua adalah seseorang yang selamat dari pertempuran hidup yang kecil probabilitasnya untuk dimenangkan. Tetapi harus dipahami bahwa setiap manusia memiliki batasan dan indikator yang berbeda, tetapi sejauh yang ku ketahui, mereka berdua sama-sama bertarung diujung tebing kehidupan yang bisa saja menyebabkan mereka jatuh ke dalam jurang kematian, kapan pun ketika mereka lengah atau memutuskan untuk menyerah. Astri dengan pergumulan dan rasa sakitnya, Frankl dengan holocaust dan harapan hidupnya, adalah sebuah lentera yang menerangi persimpangan dan teka-teki kehidupaku saat ini.
Ketika membaca buku tersebut, aku membayangkan bagaimana bisa seorang tahanan nazi yang dimasukan ke dalam penjara dan menjalani kehiduan yang sangat berat, bisa selamat dan menuliskan buku yang menurutku terlampau hebatnya. Mari bayangkan kehidupannya yang begitu terpuruk, bahkan untuk sekedar selamat dari segi psikis adalah sebuah keniscayaan, tetapi Frankl mampu melewatinya dan menjabarkan kisah hidupnya ke dalam buku tersebut. Lalu bagaimana dengan Astri? Sama halnya dengan Frankl, Astri juga mengalami penderitaan yang menurutku cukup memberikanku alasan untuk mengakhiri hidup, tetapi dia memilih untuk tetap bertahan dan memenangkan pergumulan tersebut.  Percaya atau tidak, rasa sakit yang dialami Astri begitu mengganggu dan menyebalkan.
Melalui kisah hidup Astri, aku banyak belajar mengenai makna kehidupan yang sebenarnya dapat kita temukan di mana saja dan kapan saja, bahkan pada situasi-situasi tersulit yang pernah kita alami. Melalui buku yang ditulis oleh Victor E. Frankl, aku banyak belajar bahwa ada satu kebebasan mutlak yang tidak bersyarat yang selama ini ku cari keberadaannya, yaitu kebebasan kita dalam memilih respon terhadap tragedi atau komedi yang terjadi dalam hidup kita sebagai seorang manusia yang terlempar dalam kemewaktuan temporer ini. Baik Astri maupun Frankl, aku belajar dari mereka bahwa kontrol diri kita adalah apa yang akan menyelamatkan kita dari tantangan kehidupan yang tidak pernah kita ketahui seberapa beratnya di kemudian hari.
Sesungguhnya, cukup gatal sekali tangan ini untuk menuliskan apa yang sebenarnya sedang Astri alami, tetapi aku tetap memilih untuk tidak menuliskannya dan menjadikan hal tersebut tetap di ranah privat, tentu saja karena aku menghargai Astri yang sudah mau dan mempercayakan cerita tersebut kepadaku. Terima kasih! Aku juga belajar banyak dari cerita tersebut. Terutama soal apa itu keteguhan hati dan semangat seorang petarung kehidupan dalam perjuangannya melawan keinginan semesta yang terkadang berbanding terbalik dengan keinginan manusia yang harus serba ideal.
Berbicara soal semesta, adalah sesuatu yang berada di luar diri kita dan bahkan kita sama sekali tidak memiliki kendali atasnya. Semesta adalah sesuatu yang maha dan melebihi, sedangkan kita ada di dalamnya dan hanya menjadi sepersekiannya. Semesta berkehendak atas apapun yang akan terjadi dalam hidup kita, ambil contoh dengan keberuntungan atau kesialan yang terjadi dalam kehidupan kita, dan ambil contoh yang paling ekstrim ketika kemungkinan terjadinya hal tersebut begitu kecil. Terkadang kita akan tersadar tentang sesuatu dalam hidup ini yang tidak memiliki kendali atas apapun, sesuatu yang benar-benar absurd dan dikehendaki oleh semsta.
Melalui pemahaman tersebut, ada satu hal yang ku pelajari dari Astri, bahwa kita tidak selalu dan sepenuhnya memiliki kendali atas sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, terlebih sesuatu yang berasal dari luar diri kita. Dan pada hari itu aku masih berpikir bahwa bisa mengontrol dan menaklukan hal-hal di luar kendaliku, sehingga kesialan bisa menjauh dan lebih di dekatkan dengan keberuntungan. Tetapi kenyataannya tidak, seberapun besar usaha kita di dalam mengontrol kehidupan ini, selalu ada satu dua hal yang benar-benar tidak dapat dikontrol dan berada di luar kendali kita. Percayalah, terkadang kita harus membiarkan hal tersebut terjadi, entah untuk alasan apapun.

“Sebagai Ucapan Terima Kasih”
Krunk.
Yogyakarta, 27 Mei 2020.