Sabtu, 13 November 2021

1:51 Waktu Setempat

Hari minggu,

Baru saja sabtu berganti dan senin dalam genggaman. Matahari belum menampakan jati dirinya, sedangkan malam-malam yang gelap masih berseteru bersama rembulan yang tak kunjung padam. Angin di depan rumah begitu tenang, tidak menunjukkan tanda-tanda adanya hujan di pagi hari. Pohon-pohon milik tetangga juga tetap berdiam diri, tidak bersuara sama sekali. Pada suatu waktu yang absurd dan banal, seorang lelaki masih terjaga memikirkan tentang apa-apa saja yang singgah sesekali di kepalanya. Terus berputar dan mewaktu, bersama malam-malam yang tak kunjung menghitam.

Tiga buah es batu di sebuah gelas mulai mencair, seperti suasana di sepertiga malam seorang lelaki bersama keterlemparannya. Seharusnya, lelaki tersebut terlebih dahulu menuangkannya lalu menikmatinya sembari menuliskan tentang apa saja yang sedang menganggu waktu tidurnya. Tetapi dia memilih untuk membiarkannya, kemudian sesekali melihat sudah seberapa jauh es batu tersebut menyesuaikan dirinya dengan perubahan. Setelah beberapa menit, ternyata tidak ada perubahan yang cukup berarti. Sama seperti kehidupan lelaki tersebut yang sedang mengalami stagnansi dan tersesat di entah berantah. Kondisi itu diperparah dengan sebuah sabotase yang dilakukan oleh dirinya sendiri.

Jarum jam di kamar tersebut terus beririsan, saling mengejar satu sama lain mencari sesuatu hal yang fana bernama waktu. Detik demi detiknya terasa seperti sedang ditahan oleh sebuah lubang hitam yang sesungguhnya tidak terlalu signifikan keberadaannya. Waktu menjadi teman yang siap menikam kapan saja, terlebih ketika lelaki tersebut mulai kehilangan kesadarannya. Tidak ada yang benar-benar berarti di hadapan sang waktu, kecuali perubahan yang tidak pernah benar-benar berubah. Hanya ada kekosongan dan kehampaan yang mengisi sepersekian perasaan dan pikiran lelaki tersebut. Di malam tersebut, beristirahat menjadi musuh yang sama sekali tidak mau berkompromi. Maka terjadilah vakansi singkat, bersama seperempat botol whiskey keluaran Inggris Raya.

"Untuk sekedar terlelap dan beristirahat, dari hingar bingar kehidupan yang tak berkesudahan."

1:51 waktu setempat, krunk.

Rabu, 03 November 2021

Karena Hidup Tidak Akan Selalu Baik-Baik Saja.

Ketika masih bekerja sebagai seorang barista semasa kuliah 4 tahun silam, seringkali saya berbincang dengan juru parkir di cafe tersebut. Namanya Mas Totok, seorang pria berbahagia yang sudah berkeluarga dan aku berani bertaruh bahwa saat ini dia adalah seorang ayah yang hebat.

Pernah suatu ketika, saya membicarakan "sambatan" hidup yang tentunya tidak pernah berkesudahan bersama Mas Totok. Beliau menceritakan tentang permasalahan ekonomi sedangkan saya membicarakan permasalahan hidup dan tentang apa saja yang saya pikirkan, tentu saja ditemani oleh sebatang perapian dan dua gelas kopi. 

Apa yang diceritakan oleh Mas Totok saat itu adalah permasalahan yang tentunya akan dihadapi oleh setiap orang dewasa, apalagi yang sudah berkeluarga. Pembicaraan atau sambatan seperti ini sebenarnya sudah menjadi makanan sehari-hari ketika cafe sedang sepi pengunjung. Beberapa juru parkir yang lain juga kerap menceritakan hal-hal yang sama. Tetapi, Mas Totok selalu menjadi juru parkir yang paling menarik dan berbeda ketika bercerita.

Kalau tidak salah, sore itu Yogyakarta sedang diguyur hujan. Mas Totok berjalan menuju teras cafe tempat di mana biasanya kami berbincang sembari membawa payung hitam dan peluit di mulutnya. Sambil berjalan seperti juru parkir yang lain, beliau meniup peluitnya sebagai kode bahwa dia akan mendatangi saya untuk berbincang dan tentu saja saya masuk kembali ke bar untuk menyiapkan kopi yang akan menemani pembicaraan kami kedepannya.

Biasanya, Mas Totok memulai pembicaraan dengan sapaan "Heh, pie?" yang artinya menanyakan kabar atau keadaan dan selalu ku jawab dengan "Yo ngene-ngene wae Mas." yang artinya begini-begini saja. Setelah kami memulai ritual tersebut, kemudian sesi "sambatan" hidup dimulai dengan berbagai macam cerita atau kejadian sehari-hari yang telah kami alami. Seringnya kami mengawali dengan cerita-cerita remeh soal kehidupan.

Ketika kami selesai bercengkerama, ada satu hal yang selalu saya ingat ketika kami akan berpisah, beliau selalu menutup pembicaraan dengan mengucapkan kalimat pamungkasnya yaitu "Yo karang jenenge urip, ra bakal penak terus." yang artinya "Namanya juga hidup, tidak akan enak terus.". Kata-kata itu cukup melekat di dalam kepala saya hingga hari ini karena cukup singkat dan menohok seorang mahasiswa semi barista yang selalu mempertanyakan banyak hal dalam hidupnya.

Kalimat pamungkas Mas Totok tersebut pada akhirnya saya maknai dengan cara yang mungkin sedikit berbeda dengan apa yang sebenarnya beliau maksudkan. Kata-kata itu pada akhirnya saya aminkan sebagai obat pereda nyeri yang disebabkan oleh kehidupan. Saya mengartikannya sebagai "Karena Hidup Tidak Akan Selalu Baik-Baik Saja." yang selalu saya ucapkan kepada diri sendiri ketika sedang berada di dalam kondisi yang menyebalkan. Contohnya, ketika saya sedang menulis tulisan kali ini hahaha