Sabtu, 27 Agustus 2016

Dari Sekian Banyak Nanodetik

"Kembalilah aku kedalam rutinitas hidup sebagai homo homini lupus homo homini socius. Melakukan berbagai hal yang harus diselesaikan, lalu berhenti sejenak  mendengarkan alunan piano dari Chopin. Waltz A Flat major, op 69 No 1 seakan-akan membawaku pergi ke rumah Napoleon Bonaparte, bukan membahas tentang seni dalam berperang, hanya sekedar untuk ngopi saja. Bahkan jikalau dia akan menjelaskan tentang ajaran Machiavelli, lebih baik aku bergegas menuju destinasi selanjutnya. Ya karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan aku tidak memiliki cukup waktu untuk mendengarkan hal tersebut. Sekilas imajinasiku, termenung disudut perpustakaan dan menikmati keheningan waktu yang telah diajarkan oleh Paman Heidegger.
               Setidaknya sampai saat ini aku masih memiliki hasrat untuk hidup, ya walaupun sama saja seperti yang lalu ketika dalam sebuah pencarian, namun awal bulan yang akan datang tentu akan berbeda… Semoga saja. Tapi siapa yang akan tahu dengan masa depan yang mampu membuat hampir seluruh umat di bumi ini mengalami geworfenheit, seperti yang sudah dijelaskan oleh Paman Heidegger tadi malam. Oke, sekian cerita singkat tentang imajinasiku atau apapun yang sedang ada didalam otakku. Jadi bisakah kita mulai setelah aku menceritakan seperempat lebih sedikit dari keadaan yang sedang menghantuiku? Baiklah…
               Tentang harapan yang sudah aku hapus perlahan-lahan dari otak dan nuraniku, setidaknya aku lebih merasa tenang ketika sudah tidak lagi berkenalan dengan hal tersebut. Apakah hidupku menuju temaram? Semakin gelapkah? Atau semakin menjadi-jadi terangnya? Benar sekali! Aku belum memiliki jawaban pasti untuk pertanyaan itu. Tapi yang jelas, aku merasakan ketenangan dan keheningan yang begitu berharga, yang tidak pernah orang-orang modern rasakan karena mereka dihajar habis-habisan oleh pemenuhan atas keinginan dan kebutuhan. Bukan bermaksud apapun, hanya saja aku menemukan satu masa dari sekian banyak nanodetik yang ada untuk sekedar diam dan menyadari keberadaanku di dunia ini.
               Mungkin aku adalah satu dari puluhan orang yang sedang tersudut di perpustakaan ini, namun tentu berbeda karena aku sedang tidak diburu-buru oleh hal-hal yang seakan-akan mematikan keberadaan diriku. Walaupun banyak hal yang harus diselesaikan, aku lebih memilih untuk berdiam diri sejenak menemukan keheningan dan kedamaian hati. Lantas ku tulis sedikit demi sedikit yang mulai kabur dari sekitaran kepalaku.
               Apakah dirasa tulisan ini cukup panjang? Jika ya mungkin akan segera ku sudahi karena tidak baik memang melakukan sesuatu secara berlebihan, walalupun aku menemukan keheningan, ketenangan, kedamaian dan teman-teman yang lain. Tapi jangan sampai hanyut didalam arus mematikan bernama pencarian makna atas hidup ini. Singkatnya, aku harus kembali melanjutkan rutinitasku sebagai manusia yang tidak bisa menolak untuk terjebak didalam hingar binger laju waktu yang seakan-akan menjadikan diri kita tidak pernah ada. Tanpa makna…."

Sekitar beberapa bulan yang lalu, bersama kesunyian yang semakin aku rindukan. Oh gelap, dimana kah kau berada? Kopi buatanku tidak pernah sepahit milikmu, aku ingin kembali menjadi sesosok dan seonggok. Ditengah yang sekali lagi bernama hingar bingar, meretas yang paling keras dalam sebuah kertas bermajas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar