Sabtu, 31 Desember 2022

Merayakan Keabsurdan di Jakarta

Dan perayaan-perayaan tersebut, bagi saya hanyalah sebuah satu checklist pemberhentian yang menyatakan bahwa hidup sudah mencapai momen transit di entah berantah. Cepat atau lambat tempat pemberhentian itu akan disambut dengan berbagai macam kesemogaan. Kesemogaan itu biasanya dibalut dengan optimisme, meski tidak sedikit yang memilih menu hidangan pesimisme untuk menyambutnya. Ada juga beberapa yang menyambutnya dengan berpuasa, terhadap ekspetasi dan pencapaian.

Beberapa hari yang lalu, banyak sekali orang-orang yang merayakan ulang tahun seseorang yang saya sebut sebagai “bosku” atau “Bro J”. Mereka berbondong-bondong, pergi ke tempat peribadatan untuk merayakan hari kelahiran si juru selamat. Beberapa memaknainya sebagai sesuatu yang sifatnya transenden, beberapa yang lain tidak dan itu bukan menjadi suatu masalah. Tetapi bagi saya pribadi, momen seperti ini dapat dimaknai pula sebagai suatu pemberhentian sejenak dari kehidupan yang terkadang selalu memaksa kita untuk terus berlari, mengejar tentang apa-apa saja yang bahkan sebenernya tidak pernah kita ketahui.

Kata “sejenak” sering sekali hilang dalam diksi kehidupan saya, terlebih ketika sudah pindah dan menetap untuk beberapa saat di Jakarta, menjadi “homo-jakartensis” yang terjebak dalam rutinitas sembilan sampai lima. Apabila diberi pilihan, tentu saya tidak akan memilih cara hidup seperti ini, tetapi tidak semua orang dilahirkan dengan keistimewaan untuk memilih tentang cara hidup yang mereka inginkan. Sejujurnya sampai detik ini, saya merasa masih lebih beruntung dibandingkan orang-orang yang kerap saya temui di sekitaran Jakarta yang lebih keras dibandingkan tidak sama sekali. Iya, Jakarta yang lebih keras dibandingkan tidak sama sekali.

Jakarta yang katanya keras itu mengajarkan banyak hal kepada saya, kalau kata dosen saya ketika mengambil mata kuliah sosiologi kota, “Jakarta itu, laboratorium sosiologi yang sangat menarik.” dan setelah hampir setahun tinggal di sini, saya mengiyakan pernyataan tersebut. Di kota tersebut, kalian bisa melihat sepasang kekasih makan makanan mewah sembari tertawa bahagia menikmati malam natal yang penuh dengan suasana gembira. Di sisi yang lain, persis di sebelah restoran tersebut, ada sepasang kekasih kelas menengah yang hanya bisa menikmati malam natal dengan kesederhanaan. Tidak jauh dari tempat tersebut, di dalam gelapnya gemerlap kota “metropolitan” tersebut, ada sepasang kekasih yang sama-sama berjuang untuk sekedar bertahan hidup, jauh dari kata layak.

Sebuah kota yang bagi saya pribadi, benar-benar menarik. Apa saja yang lewat seketika di kepala saya bisa saling terhubung satu sama lain, mulai dari kerasnya kehidupan korporasi sembilan sampai lima, dilanjut dengan pelarian “yang sedang berjuang” di bawah gemerlap lantai dansa dan sedikit perapian, kemudian disusul dengan cerita-cerita khas di daerah “yang sengaja terpinggirkan”, ada juga cerita tentang harapan dan kekecawaan dalam ruang hampa “yang terkadang dibesar-besarkan”, kemudian berakhir pada sebuah perayaan natal “yang sedikit kehilangan arahnya”.

Oke cukup sampai di sini, awalnya saya hanya ingin menulis kalau edisi natal kali ini saya rayakan dengan keberagaman, kesederhanaan yang jauh dari hingar-bignar dan absennya kehangatan pelukan dari keluarga serta orang-orang terkasih, tetapi makin ke sini kok malah makin ke sana kemari ya. Oke kita cukup sudahi sampai di sini saja. Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini.

Selamat merayakan apa saja yang harus dirayakan,

Krunk yang sedang melamun seperti biasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar