Rabu, 03 November 2021

Karena Hidup Tidak Akan Selalu Baik-Baik Saja.

Ketika masih bekerja sebagai seorang barista semasa kuliah 4 tahun silam, seringkali saya berbincang dengan juru parkir di cafe tersebut. Namanya Mas Totok, seorang pria berbahagia yang sudah berkeluarga dan aku berani bertaruh bahwa saat ini dia adalah seorang ayah yang hebat.

Pernah suatu ketika, saya membicarakan "sambatan" hidup yang tentunya tidak pernah berkesudahan bersama Mas Totok. Beliau menceritakan tentang permasalahan ekonomi sedangkan saya membicarakan permasalahan hidup dan tentang apa saja yang saya pikirkan, tentu saja ditemani oleh sebatang perapian dan dua gelas kopi. 

Apa yang diceritakan oleh Mas Totok saat itu adalah permasalahan yang tentunya akan dihadapi oleh setiap orang dewasa, apalagi yang sudah berkeluarga. Pembicaraan atau sambatan seperti ini sebenarnya sudah menjadi makanan sehari-hari ketika cafe sedang sepi pengunjung. Beberapa juru parkir yang lain juga kerap menceritakan hal-hal yang sama. Tetapi, Mas Totok selalu menjadi juru parkir yang paling menarik dan berbeda ketika bercerita.

Kalau tidak salah, sore itu Yogyakarta sedang diguyur hujan. Mas Totok berjalan menuju teras cafe tempat di mana biasanya kami berbincang sembari membawa payung hitam dan peluit di mulutnya. Sambil berjalan seperti juru parkir yang lain, beliau meniup peluitnya sebagai kode bahwa dia akan mendatangi saya untuk berbincang dan tentu saja saya masuk kembali ke bar untuk menyiapkan kopi yang akan menemani pembicaraan kami kedepannya.

Biasanya, Mas Totok memulai pembicaraan dengan sapaan "Heh, pie?" yang artinya menanyakan kabar atau keadaan dan selalu ku jawab dengan "Yo ngene-ngene wae Mas." yang artinya begini-begini saja. Setelah kami memulai ritual tersebut, kemudian sesi "sambatan" hidup dimulai dengan berbagai macam cerita atau kejadian sehari-hari yang telah kami alami. Seringnya kami mengawali dengan cerita-cerita remeh soal kehidupan.

Ketika kami selesai bercengkerama, ada satu hal yang selalu saya ingat ketika kami akan berpisah, beliau selalu menutup pembicaraan dengan mengucapkan kalimat pamungkasnya yaitu "Yo karang jenenge urip, ra bakal penak terus." yang artinya "Namanya juga hidup, tidak akan enak terus.". Kata-kata itu cukup melekat di dalam kepala saya hingga hari ini karena cukup singkat dan menohok seorang mahasiswa semi barista yang selalu mempertanyakan banyak hal dalam hidupnya.

Kalimat pamungkas Mas Totok tersebut pada akhirnya saya maknai dengan cara yang mungkin sedikit berbeda dengan apa yang sebenarnya beliau maksudkan. Kata-kata itu pada akhirnya saya aminkan sebagai obat pereda nyeri yang disebabkan oleh kehidupan. Saya mengartikannya sebagai "Karena Hidup Tidak Akan Selalu Baik-Baik Saja." yang selalu saya ucapkan kepada diri sendiri ketika sedang berada di dalam kondisi yang menyebalkan. Contohnya, ketika saya sedang menulis tulisan kali ini hahaha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar