Sabtu, 02 November 2019

Kompleksitas dan Relativitas Kehidupan


(Sebuah Awal Pijakan Manusia, Fundamental Kehidupan)
Pada suatu masa, aku dilahirkan, terlempar dalam kehidupan yang benar-benar begitu kompleksnya, sehingga aku menjadi dari bagian relativitas dunia yang selalu berubah dan dinamis. Pada suatu titik, aku berpikir bahwa tidak dilahirkan didunia ini adalah sebuah kesempatan yang harusnya ku ambil jika bisa, tapi sayangnya kehidupan ini tidak pernah memberikan pilihan kepada kita untuk memilih, setidaknya untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan sama sekali. Bagiku, dilahirkan ke dalam kehidupan ini adalah sebuah kutukan. Seperti mitos sisifus, yang mengangkat batu hingga anak tangga terakhir, tetapi selalu gagal dan mengulangnya lagi dari awal. Seperti itu, dan akan tetap seperti itu, hingga dia mengamini hidupnya sebagai sebuah kutukan yang tidak akan pernah selesai. Pada suatu hari, aku berpikir untuk tetap hidup dan mengalah terhadap kompleksitasnya, tetapi pada suatu hari yang lain, aku berpikir untuk mati dan melawan relativitasnya.
Maka aku bernyayi, merayakan kehidupan dan kematian, beserta kompleksitas dan relativitasnya. Didalamnya, terdapat pujian, tetapi terdapat pula hujatan, karena aku ingin menjadi yang ideal, yang berada dititk tengah dan disebut sebagai manusia yang adil. Tetapi sayangnya tidak seperti itu, tidak ada titik tengah, yang ada hanyalah kecenderungan dan preferensi. Benar dan salah hanyalah konstruksi, baik dan buruk hanyalah argumentasi. Kita tidak sedang benar-benar membela sesuatu hal yang mutlak. Kita hanya membela sesuatu yang kita anggap perlu kita bela. Maka dari situ, dimulailah peperangan manusia terhadap alam dan sesamanya. Peperangan yang mencetak manusia-manusia yang kehilangan rasa kemanusiaannya. Peperangan yang perlahan membumihanguskan kehidupan ini, beserta kompleksitasnya dan relativitasnya.

(Tetap Berperang diakhir Pekan, Untuk Iblis dan Badut Perayaan)
            Dari peperangan itu, manusia diciptakan. Membunuh atau dibunuh adalah pilihan, tidak ada yang benar-benar menjadi temanmu. Satu-satunya teman yang abadi adalah dirimu sendiri, atau dari bahasa yang lebih politis, kepentingan adalah teman abadi. Lalu, peperangan menciptakan keletihan, sehingga memunculkan akhir pekan, untuk sejenak beristirahat dan memulai peperangan selanjutnya. Dan dari akhir pekan ini, sesungguhnya muncul peperangan baru, antara manusia dengan dirinya sendiri. Sebuah peperangan untuk memenangkan kebahagiaan, dengan berbagai cara dan pilihan yang setiap harinya akan semakin beragam. Ada yang memilih untuk bercinta diakhir pekan. Ada yang memilih untuk konsumtif diakhir pekan. Ada yang memilih untuk produktif diakhir pekan. Dan ada juga yang memilih untuk termenung diakhir pekan. Semuanya adalah pilihan, didalam peperangannya masing-masing.
            Akhir pekan yang dikonsepsikan seperti peperangan tersebut melahirkan iblis dan badut dalam suatu momen yang bersamaan. Iblis berarti sisi manusia yang dipenuhi dengan ego dan sifat kedirian, sedangkan badut berarti sisi manusia yang dipenuhi dengan kebodohan dan sifat keikut-ikutan. Sekali lagi, tidak ada yang benar-benar salah, sungguh.. Relativitas kehidupan ini benar-benar menipu kita, tetapi itupun juga tidak mutlak. Yang aku tahu pasti, iblis dan badut itu berjalan dalam sebuah perayaan, dimana mereka merasa menjadi diri mereka yang utuh, tetapi sebenernya mereka adalah korban perang dan menciptakan perang yang sekali lagi terhadap dirinya sendiri. Iblis dan badut yang secara bersamaan menjadi manifestasi manusia diakhir pekan, dengan segala yang dikonsumsinya, dengan segala yang diintepretasikannya.

(Sosial Media dan Sejarah Baru Manusia)
            Manusia menciptakan sejarahnya dengan berbagai cara, tidak perlu aku jelaskan karena sejarah itu sendiri yang akan bercerita. Tetapi, modernitas membawa suatu wacana yang begitu luar biasanya, dimana sejarah untuk pertama kalinya tidak dicetak oleh para pemenang peperangan, tetapi dicetak secara komunal bersama-sama, dalam satu kata amin, dalam satu rumah ibadah bernama media sosial, atau internet juga boleh. Manusia, bersama-sama menuliskan sejarahnya masing-masing, dalam satu narasi yang dikumpulkan oleh rumah ibadah itu. Kemudian manusia-manusia menganggap satu sejarah itu sebagai bentuk populisme, dimana didalamnya tetap terdapat kompleksitas dan relativitas kehidupan.
            Ada yang berbicara soal kesehatan mental, ada yang berbicara soal peperangan, ada yang berbicara soal lingkungan, ada yang berbicara soal keluarga yang tidak harmonis, ada yang berbicara soal korupsi dan konstelasi politik, ada yang berbicara soal hal remeh bernama cinta, ada yang berbicara soal budaya populer, ada yang berbicara soal intoleransi, ada yang berbicara  soal eksistensi Tuhan, dan ada yang berbicara dalam diam. Betapa banyaknya sejarah yang sedang dituliskan oleh manusia-manusia tersebut dalam satu rumah ibadah yang terekam abadi. Populisme menjadi suatu alternatif agama, yang minim intoleransi, yang minim differensiasi, meskipun pada akhirnya tidak pernah pasti. Media sosial adalah sekumpulan doa yang sedang diamini bersama secara komunal, menjadi sebuah sejarah yang tidak akan pernah terlupakan. Peradaban kita, pada masa ini, adalah apa yang sedang dituliskan dan dinarasikan oleh media sosial dalam bentuk doa-doa dan amin yang bervariasi. Selamat membaca, selamat mengamini.

(The Art of Receiving, Seni dalam Menerima)
            Pada akhirnya, begitulah kehidupan, beserta kompleksitasnya, beserta relativitasnya. Tidak perlu mengkhawatirkan kegilaan yang ada disekitarmu, tidak perlu mengamini kematian yang katanya mengerikan. Kematian adalah suatu final dan garis finishnya, dimana perjalanan kita telah selesai, dimana kita akan sadar bahwa yang abadi adalah keabadian itu sendiri, dimana kita akan belajar bahwa yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Semua terangkum dalam perjalanan kita selama hidup, entah berapapun lamanya, itu menjadi suatu bagian proses bagaiman kita terlempar dalam kehidupan ini. Tidak ada yang perlu disesali, tidak ada yang perlu ditangisi, karena kita adalah manusia yang mewaktu dan temporer. Jadi merayakan kematian adalah bagian dari merayakan kehidupan, karena kedua hal tersebut adalah satuan yang sebenernya tidak pernah dipisahkan.
            Menangislah ketika kamu sedang ingin melakukannya, karena terkadang kehidupan ini terlalu menyebalkan. Menjadi manusia berarti menerima semua ketidakidealan dalam diri kita, menangis bukan berarti lemah, menangis berarti kuat, untuk jujur terhadap diri sendiri. Tertawalah ketika kamu sedang ingin melakukannya, karena terkadang kehidupan ini terlalu lucu dan penuh kejutan. Menjadi manusia berarti menerima semua momentum dalam kehidupan kita, tertawa tidak melulu soal bahagia, tertawa bisa juga bentuk syukur terhadap hidup yang sering terdapat satu dua musibah didalamnya. Hiduplah, setidaknya hingga kematian menjemputmu, bukan dirimu yang menjemput kematian itu.  Karena bagi kematian, adalah hina ketika kita manusia yang menjijikan ini datang menemuinya yang selalu menang dari kehidupan.
            Pada akhirnya, kehidupan bukanlah perlombaan, bukan juga perjalan. Kehidupan adalah sekumpulan kompleksitas dan relativitas cerita kita yang berproses bersama dengan diri kita, sehingga tidak ada satupun manusia di bumi ini yang benar-benar sama. Maka dari itu, jadilah manusia yang benar-benar manusia, menurut kepercayaan dan idealismemu.

P.S: Sudah lama tidak menulis, tulisan yang sangat egois.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar