Memperingati 1 tahun
pembicaraan tentang hidup, bersama Astri..
“Sore itu, tepatnya tanggal 27 Mei 2019 di
Yogyakarta, adalah hari yang menurutku cukup bersejarah dalam hidupku, karena
kebetulan dan ketidaksengajaan percakapan yang kami alami di sebuah gereja tua.”
(Maaf cuman ada foto ini waktu di Gereja HAHAHA)
Aku masih ingat betul, sore itu kami
bercengkerama membicarakan kehidupan dari berbagai macam sudut pandang. Lalu
yang menjadikannya lebih spesial adalah spontanitas yang terjadi di hari itu,
tidak ada dalam rencana kami berdua untuk bertemu dan membicarakan hal yang
cukup berat, terlebih muda-mudi seperti kami tentu akan memilih cafe atau
tempat nongkrong yang lain untuk sekedar bersua dan berbincang. Tetapi hari
itu, kami memilih gereja dan lagi-lagi hasil dari spontanitas, mungkin lebih tepatnya
adalah sesuatu yang sebenarnya dibiarkan terjadi begitu saja. Seakan sesuai dengan
kehendak semesta, entahlah.
Astri memulai pembicaraan dengan
menceritakan kondisi kehidupannya, tentu saja karena sudah lama kami tidak
bertemu dan berbincang seperti ini, biasanya hanya sekedar berbalas sapa di Instagram.
Dia menceritakan dengan penuh antusiasme, sudah lama aku tidak melihat orang
bercerita seperti ini. Tetapi ada sesuatu yang membuat ku penasaran, tentang
apa yang sebenarnya dia rasakan dan sedang dialami oleh dirinya. Entahlah, mata
seorang manusia sulit untuk menyembunyikan sesuatu hal yang sedang dia rasakan,
dan aku tau bahwa ada hal berat yang sedang dipikulnya pada saat itu.
Tanpa perlu hitungan jam, kemudian
Astri menceritakan tentang prahara dalam hidupnya. Sesuatu yang menjadi
pertanyaan terbesarku pada hari itu, karena sangat random sekali kami berdua berbincang seperti ini dan baru
direncanakan beberapa jam sebelum akhirnya kami bertemu, terlebih kami
berbincang di sebuah gereja tua, cukup menjadikan momen tersebeut sebagai sesuatu
yang terkesan sangat drama sekali dan layak untuk diangkat ke layar lebar (sepertinya,
hahaha). Akhirnya terjawab sudah, tentang apa yang diceritakan oleh Astri
melalui kedua bola matanya beberapa menit yang lalu. Sebuah pergumulan hebat,
antara dirinya dengan situasi yang tidak bisa ia kendalikan atau bahkan dimenangkan.
Suatu kondisi dimana manusia dipaksa untuk bertarung melawan kehendak semesta
yang terkadang sulit untuk dipahami.
Terlepas
dari cerita detail tentang apa yang sebenarnya sedang dia alami, masing-masing
manusia memiliki batasan dan indikator yang berbeda di dalam melihat kehidupan
ini. Tetapi, penderitaan dan rasa sakit adalah sesuatu hal yang hampir sama di
mata semua manusia, tinggal kategorisasi dan kadarnya saja yang berbeda. Dan
Astri, pada hari itu telah melewati batas dari rasa sakit dan penderitaan yang
sedang dia alami. Dia selamat dari penderitaan tersebut, baik secara fisik,
mental, batiniah dan sebagainya dengan sehormat-hormatnya seperti seorang
prajurit perang yang dihujani oleh ribuan peluru kehidupan. Setidaknya, ini
yang ku ketahui melalui perbincangan kami.
Tentu
saja rasa sakit yang tidak berkesudahan menjadi salah satu bagian dari
penderitaan yang akan dialami oleh manusia, pada suatu momen, pada suatu hari
nanti, seperti kata Nietzche bahwa ”to live
is to suffer” dan aku sepakat bahwa hidup ini adalah rangkaian dari
penderitaan yang sesungguhnya juga mengajarkan kita banyak hal. Melalui
penderitaan, kita dipaksa untuk mengidupi kehidupan di titik terendah, dimana
pembelajaran hidup banyak kita dapatkan di jurang tersebut. Tetapi sore itu,
aku belum melihat adanya pembelajaran yang Astri dapat kan dan tentu menjadi
hal yang wajar karena belajar adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu dan
sifatnya tidak instan seperti indomie.
-----------
Hampir
setahun berlalu, tepatnya pada tanggal 16 Mei, seminggu yang lalu, kali ini
giliranku yang menginisiasi sebuah pembicaraan hidup. Tentu saja karena ketersesatanku
di persimpangan hidup yang begitu membingungkan dan kali ini tidak bisa ku
jawab seorang diri. Aku tidak tahu pasti kenapa aku memilih Astri sebagai teman
berbincang pada hari itu, tetapi keputusan yang tidak berdasar tersebut pada
akhirnya berbuah baik, karena jalan gelap di persimpangan hidupku telah kembali
terang, meskipun masih membingungkan, tapi setidaknya jauh lebih baik daripada
sebelumnya.
Ternyata,
semua pertanyaan dan ketersesatanku dalam hidup ini sudah terlebih dahulu
dilewati oleh Astri, tepat setahun yang lalu. Sebuah pergumulan yang ternyata
memberikan Astri banyak pelajaran hidup, kini menjadi suatu contoh pembelajaran
yang akhirnya membantuku di dalam ketersesatan dan persimpangan hidup ini,
terlebih dengan rekomendasi buku yang dia berikan berjudul “Man’s Search For Meaning” karya Victor E. Frankl seorang psikiater
yang pernah menjadi tahanan Nazi dan selamat dari tragedi holocaust tersebut.
Frankl
banyak menceritakan kisah hidupnya selama masa-masa suram dan mengerikan yang
menjadikanku cukup menganggukan kepala, karena dia belajar dari sebuah
pengalaman yang luar biasa, sebuah pengalaman yang harganya adalah kematian dan
penderitaan, sebuah pengalaman yang belum tentu semua orang mampu mengambil
peran tersebut Ada 1 bagian dari buku tersebut yang menurutku cukup menarik dan
sangat teknis sekali mengenai makna kehidupan. Frankl mengatakan bahwa ada 3
cara untuk menemukan makna kehidupan,
(1) dengan
menciptakan karya atau melakukan perbuatan;
(2) dengan
mengalami sesuatu hal atau bertemu seseorang;
(3) dengan sikap
yang kita ambil terhadap penderitaan yang tak terhindarkan.
(Oiya bakalan jadi konten di Youtube juga heuheu)
Selama
bercengkerama 3 jam melalui video call, Astri selalu mengulang beberapa hal
soal respon dan stimulus. Sebelum membaca buku tersebut, aku agak kesulitan memahami
konteks pembicaraan yang dimaksudkan oleh Astri. Tetapi semuanya menjadi berbeda
setelah aku selesai membaca buku tersebut. Kini aku menjadi semakin paham
dengan apa yang Astri bicarakan pada hari itu soal penderitaan, makna hidup dan
mengelola respon diri terhadap suatu kejadian yang sekiranya tidak kita
kehendaki. Aku benar-benar salut dengan Astri yang mampu melewati pergumulan
hidupnya dan menang, terlebih dia juga berhasil membantuku untuk tidak tersesat
di persimpangan hidup ini. Well, I respect you so much As3!
Ada
sebuah persamaan diantara Astri dan Frankl, mereka berdua adalah seseorang yang
selamat dari pertempuran hidup yang kecil probabilitasnya untuk dimenangkan.
Tetapi harus dipahami bahwa setiap manusia memiliki batasan dan indikator yang
berbeda, tetapi sejauh yang ku ketahui, mereka berdua sama-sama bertarung
diujung tebing kehidupan yang bisa saja menyebabkan mereka jatuh ke dalam
jurang kematian, kapan pun ketika mereka lengah atau memutuskan untuk menyerah.
Astri dengan pergumulan dan rasa sakitnya, Frankl dengan holocaust dan harapan
hidupnya, adalah sebuah lentera yang menerangi persimpangan dan teka-teki
kehidupaku saat ini.
Ketika
membaca buku tersebut, aku membayangkan bagaimana bisa seorang tahanan nazi
yang dimasukan ke dalam penjara dan menjalani kehiduan yang sangat berat, bisa
selamat dan menuliskan buku yang menurutku terlampau hebatnya. Mari bayangkan
kehidupannya yang begitu terpuruk, bahkan untuk sekedar selamat dari segi
psikis adalah sebuah keniscayaan, tetapi Frankl mampu melewatinya dan
menjabarkan kisah hidupnya ke dalam buku tersebut. Lalu bagaimana dengan Astri?
Sama halnya dengan Frankl, Astri juga mengalami penderitaan yang menurutku
cukup memberikanku alasan untuk mengakhiri hidup, tetapi dia memilih untuk
tetap bertahan dan memenangkan pergumulan tersebut. Percaya atau tidak, rasa sakit yang dialami
Astri begitu mengganggu dan menyebalkan.
Melalui
kisah hidup Astri, aku banyak belajar mengenai makna kehidupan yang sebenarnya
dapat kita temukan di mana saja dan kapan saja, bahkan pada situasi-situasi
tersulit yang pernah kita alami. Melalui buku yang ditulis oleh Victor E. Frankl,
aku banyak belajar bahwa ada satu kebebasan mutlak yang tidak bersyarat yang
selama ini ku cari keberadaannya, yaitu kebebasan kita dalam memilih respon
terhadap tragedi atau komedi yang terjadi dalam hidup kita sebagai seorang
manusia yang terlempar dalam kemewaktuan temporer ini. Baik Astri maupun
Frankl, aku belajar dari mereka bahwa kontrol diri kita adalah apa yang akan
menyelamatkan kita dari tantangan kehidupan yang tidak pernah kita ketahui
seberapa beratnya di kemudian hari.
Sesungguhnya,
cukup gatal sekali tangan ini untuk menuliskan apa yang sebenarnya sedang Astri
alami, tetapi aku tetap memilih untuk tidak menuliskannya dan menjadikan hal
tersebut tetap di ranah privat, tentu saja karena aku menghargai Astri yang
sudah mau dan mempercayakan cerita tersebut kepadaku. Terima kasih! Aku juga
belajar banyak dari cerita tersebut. Terutama soal apa itu keteguhan hati dan
semangat seorang petarung kehidupan dalam perjuangannya melawan keinginan
semesta yang terkadang berbanding terbalik dengan keinginan manusia yang harus
serba ideal.
Berbicara
soal semesta, adalah sesuatu yang berada di luar diri kita dan bahkan kita sama
sekali tidak memiliki kendali atasnya. Semesta adalah sesuatu yang maha dan
melebihi, sedangkan kita ada di dalamnya dan hanya menjadi sepersekiannya.
Semesta berkehendak atas apapun yang akan terjadi dalam hidup kita, ambil
contoh dengan keberuntungan atau kesialan yang terjadi dalam kehidupan kita,
dan ambil contoh yang paling ekstrim ketika kemungkinan terjadinya hal tersebut
begitu kecil. Terkadang kita akan tersadar tentang sesuatu dalam hidup ini yang
tidak memiliki kendali atas apapun, sesuatu yang benar-benar absurd dan
dikehendaki oleh semsta.
Melalui
pemahaman tersebut, ada satu hal yang ku pelajari dari Astri, bahwa kita tidak
selalu dan sepenuhnya memiliki kendali atas sesuatu yang terjadi dalam hidup
kita, terlebih sesuatu yang berasal dari luar diri kita. Dan pada hari itu aku
masih berpikir bahwa bisa mengontrol dan menaklukan hal-hal di luar kendaliku,
sehingga kesialan bisa menjauh dan lebih di dekatkan dengan keberuntungan.
Tetapi kenyataannya tidak, seberapun besar usaha kita di dalam mengontrol
kehidupan ini, selalu ada satu dua hal yang benar-benar tidak dapat dikontrol dan
berada di luar kendali kita. Percayalah, terkadang kita harus membiarkan hal
tersebut terjadi, entah untuk alasan apapun.
“Sebagai Ucapan Terima Kasih”
Krunk.
Yogyakarta, 27
Mei 2020.