Jumat, 29 Desember 2017

Manuskrip Manusia Maha-Ahay


            Terkadang, banyak sekali hal-hal yang tidak masuk akan di dunia ini. Salah satunya mengenai seni dalam melepaskan. Apa itu seni dalam melepaskan? Secara praktis, hal trsebut dapat dipahami sebagai seni dalam melepaskan seseuatu hal. Namun penekanannya ada di dalam negasi yang dia sembunyikan dalam tanda-tanda. Ah sudahlah, hal tersebut terlalu sulit untuk dijelaskan. Baik, kita mulai saja ceritanya.

            Malam itu, seperti biasa aku pergi seorang diri untuk menikmati sebuah gelas dan perapian di tengah kota. Sudah lama aku tidak melakukan hal tersebut, sepekan penuh dengan rutinitas dan ku putuskan hari itu aku harus melarikan diri. Ya, aku sedang menjadi seorang pecundang malam itu. Aku lebih memilih lari ketimbang menghadapi takdirku, tapi sesekali kurasa bukan lah masalah.

            Seperti biasa, aku mengamati keadaan disekitar cafe yang sedang ku tumpangi untuk sejenak menenangkan diri. Segelas kopi, sebatang perapian dan sehembusan nafas berjalan beriringan bersama waktu yang sedikit demi sedikit menyikskaku. Terhadap takdir yang semakin hari tidak sanggup ku hadapi, terhadap tantangan yang semakin hari tidak lebih dari sekedar permainan.

            Ah, persetan dengan semua penjelasan mengenai cafe dan suasana malam itu. AKu melarikan diri dari rutinitas yang sudah membunuhku sedari lama, aku melarikan diri dari kenyataan yang tidak dapat aku terima, aku melarikan diri dari pesakitan atas sebuah kekosongan dalam hidup ini. AKu hanya lari dan terus menerus berlari, persetan benar aku ini. Tidak seperti biasanya aku memutuskan untuk mengalah, lebih tepatnya melepaskan.

            Melepaskan bagiku adalah sebuah seni baru yang sedang aku kenal. Aku membiarkan diriku menerima semua hal yang memang seharusnya aku terima. Aku tidak pernah menegasikan hal tersebut

            Satu pertandingan telah aku lewati, aku mengaku kalah dan memang kalah. Tapi setidaknya hal terebut membuatku menjadi manusia yang lebih baik sepertinya. Entahlah, kapasitasku sebagai seonggok daging ini mulai meningkat. Sepertinya aku dapat lebih menekan dan menang di pertandingan-pertandingan lain.

            Sebuah modal penting, sebuah pembelajaran yang menarik. Kalah tidak selamanya buruk, mengakui kekalahan tersebut apalagi. Yah, satu langkah lebih maju.. Aku sepertinya memang membutuhkan hal seperti ini. Selama ini ku kira aku sudah cukup kuat, ternyata belum. Mengontrol seekor monster di dalam diriku benama amarah itu ternyata sangat sulit, dalam pertandingan tersebut aku mengakui kekalahan tersebut.

            Menerima adalah sebuah kunci yang aku lupakan untuk mengurung monster tersebut. Entah faktor apa yang membuatku lupa, tapi sudahlah hal tersebut tidak perlu diingat, lagipula aku sudah mendapatkan sesuatu yng berguna bagiku di masa depan. Begitulah semesta memberikan sebuah hantaman tepat di dadaku.

            Untungnya aku selamat, tidak mati mengenaskan seperti para pecundang yang lain, walaupun malam ini aku juga jadi pecundang. Ya tapi setidaknya kekalahan tersebut membuatku harus menulis sebuah cerita. Mengenai pertarungan seorang Ubermensch, pertarungan yang tidak akan pernah dia menangkan. Mengenai kutukan seorang Sisifus, kutukan yang tidak akan pernah dia menangkan. Mengenai perlombaan seorang Jenny, perlombaan yang tidak akan pernah dia menangkan.

            Mereka bertiga telah menerim tragedi tersebut sebagai sebuah takdir yang memang tidak dapat mereka rubah, tapi setidaknya dia tidak pernah menyerah. Persetan sekali, ketiga tokoh tersebut benar-benar membuatku ingin mengeluarkan air mata. Jujur saja, aku kagum dengan tekad kuat mereka, berdiri dan terus melawan di ronde terakhir, walau pada akhirnya harus terjatuh dan kalah.

            Sejujurnya, tulisan ini separuhnya adalah manifestasi atas sebuah amarah. Dia adalah sebuah narasi mengenai keterpurukan seorang manusia dan kekalahan di dalam keterlemaprannya. Tapi narasinya juga tidak menceritakan banyak hal, setidaknya sampai aku benar-benar menjadi manusia yang satu langkah lebih maju daripada malam ini.

            Begitu abstrak bukan? Bahkan aku sendiri tidak tahu dengan apa yang sedang aku tulis, tapi setidaknya ini dapat merepresentasikan sebuah perjalanan dan pertarungan singkat di sebuah malam. Tepatnya di akhir Mei yang menjadi tragedi. Hah, berlebihan sekali, tapi aku mengakui bahwa pertarungan ini tidak dapat aku menangkan.

            Seperti analogi mengenai percaturan dan kontestasiya. Seorang bijak mengatakan, “lebih baik menyerah daripada memperlama kesengsaraan.” ah siapa yang tahu kalau pertarungan tersebut akan menjadi sebuah kesengsaraan? Bisa jadi akan menjadi sebuah kemenangan? Tapi siapa yang tahu? Sebelum bel dibunyikan, sebelum peluit ditiup, semua keniscayaan adalah sebuah kemungkinan.

            Berjibaku di dalam kemungkinan-kemungkinan dan ekstasi ekspetasi memang tidak mudah, tapi setidaknya satu langkah lebih berani ketimbang harus menyerah diawal pertandingan. Pun demikian seperti halnya Daud dan Goliat, kalian tahu kan cerita tentang pertarungan kedua orang tersebut? Siapa yang akan menyangka bahwa Daud dapat menjatuhkan Goliat. Sang bijak yang tadi bermain catur salah besar! Tapi aku mengapresiasi sekali rasionalitas yang tak terbatas yang menjadi kapital utamanya

            Banyak yang seharusnya aku lakukan, kerjakan dan tuntaskan. Tapi masa bodoh, aku sedang ingin menikmati kekalahan atas diri ini, begitu menyebalkan tapi menyenangkan. Ada suatu masa dimana aku mengakui bahwak kebahagiaan itu sedih, pun demikian sebaliknya bahwa kesedihan itu bahagia. Ah apa yang sedang aku bicarakan di tengah kekalahanku?

            Menulis adalah sebuah energi, atas kebangkitan dan keterpurukan. Menikmati di sisa kemewaktuan yang ada. Matilah kau mati! Tidak ada yang akan membuatmu menjadi manusia yang lebih baik sebelum kamu berkenalan dengan kematian dan keputusasaan. Mereka mengajariku banyak hal sebelum aku menyelesaikan masa puberku. Terima kasih, paman!

            Tapi kembali lagi mengenai kekalahanku malam itu, tidak ada yang dapat dirubah, hanyalah permenungan atas kekalahan tersebut. Lalu aku bisa apa? Mengisahkannya? Untuk apa? Tidak penting dengan bagaimana kamu terjatuh, tetapi yang harus kamu garis bawahi adalah cerita tentang bagaimana kamu akan bangkit dari kekalahan tersebut.

            Setiap manusia adalah teman bagi sesamanya dan setiap manusia adalah musuh bagi sesamanya. Homo Homini Lupus, Homo Homini Socius. Salah seorang yang katanya lagi-lagi bijak di sebuah candu akan dunia ide. Yap, aku belajar juga dari hal tersebut. Tidak ada yang perlu kamu percayai selain dirimu sendiri. Mereka semua pada akhirnya juga akan sama-sama mati dan tak akan bisa menolongmu di suatu momentum. Hanyalah dirimu, yang akan bertarung dengan ketidaksiapan serta kekalahan-kekalahan telak yang sudah menanti di depan mata.

            Seperti cerita Jimmy, yang dikisahkan secara epic oleh paman Billie Joe. Sebuah cerita sekaligus narasi besar tentang keterasingan seorang manusia di dalam lingkungannya. Tidak ada yang membantunya keluar dari lubang gelap bernama keputusasaan. Dia secara dramatis selamat seorang diri, bukan kah itu keren? Ya, sangat keren! Cerita tentang Jimmy tersebut pertama kali aku dengarkan ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Kemudian aku baru memahami cerita keseluruhannya setelah menyelesaikan masa pubertasku.

            Oh, sampai detik ini aku masih duduk termenung seorang diri di sebuah cafe , masih mengamati keadaan sekitarku, masih menikmati kekalahanku, masih menikmati secangkir kopi, masih menyiasati sebatang perapian, masih mendengarkan orang-orang bercerita tentang bagaimana mereka melewati hari-harinya. Yah, kopinya mulai dingin. Tapi eperti biasa, aku tidak terlalu peduli dengan hal tersebut.

            Hmmmmmmm... Cerita apalagi yang akan coba aku tulis? Mungkin bercerita soal cinta! Bagaimana? Baiklah kita mulai dengan sepasang kekasih yang sedang menikmati kopinya di dekat pintu masuk. Mereka berdua saling menatap mesra, saling lempar cerita dan menghangatkan satu sama lain. Untuk sesaat, aku baru saja menyadari bahwa di cafe tersebut hanya aku seorang yang duduk tanpa seorang partner.

            Ya, tapi ini adalah bagian yang paling aku sukai.




            Seni dalam melepaskan adalah salah satu kegilaan yang pernah aku temui semasa aku muda. Kau tahu, manusia memang benar-benar hebat apabila dipersenjatai dengan negasi. Dengan liar dia akan menegasikan semua hal yang ada di dunia dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar akan eksistensinya. Lalu mereka akan membawa semuanya ke ujung perarakan, menanti api terakhir sebelum melumat kegilaan yang telah menjadi-jadi sebelum aku dilahirkan.

            Aku adalah amarah, yang datang bersama dengan kebahagiaan sepasang merpati kematian, di tengah cakrawala ekstasi akan keputusasaan. Mereka bernyanyi, bersorak-sorai mengharapkan sebuah keajaiban atas hidup mereka yang sia-sia. Dan aku datang, sebagai pembawa pesan kematian terhadap sebuah peradaban manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar