Tahun baru, apakah semuanya harus baru? Ah terkadang
manusia suka bercanda. Terkadang yang baru tidak selamanya lebih baik. Ada
beberapa hal, tentang perubahan dan pembaharuan yang kadang tidak disukai
manusia. Apa saja? Pikir sendiri, silahkan kontemplasi kan, berhubung masih
awal tahun. Semoga, semoga dan semoga, adalah mantra yang cukup membosankan.
Sebuah pemahaman tentang ekstasi ekspetasi, tapi begitu lah manusia dan tidak
ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi, apa kalian tidak Lelah dengan kata
semoga, dan seakan-akan kata tersebut adalah mimpi buruk yang akan menghantui
kalian selama tahun ini berjalan, mau tidak mau, semoga adalah selayaknya kekasih
yang harus diperlakukan dengan luar biasa. Cukup melelahkan bukan? Hidup di
dalam ke-semoga-an.
Tentang kesemogaan atau ke-semoga-an, adalah hal yang
cukup melelahkan, tapi kata manusia-manusia di peradaban ini, itu adalah hal
yang baik dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Lagi-lagi aku sepakat,
tapi untuk apa hidup jika hanya menjadi budak kesemogaan tersebut? Hidup untuk
mengejar sebuah sumpah serapah, atas kesmeogaan yang harus direalisasikan dalam
pertempuran resolusi. Yah, itu adalah pilihan. Tapi aku yakin, sebagian ada
yang sadar dan sebagian ada yang tidak, dan aku sepakat. Lalu apa sesungguhnya
poin terpenting dari kesemogaan? Mungkin tidak ada, atau bersembunyi, atau
sebenarnya tidak ada lalu seakan-akan dibuat ada, siapa yang tahu..
Sebuah siklus, yang terus menerus diulang. Tapi hebatnya
manusia ada disitu, mereka tidak lelah, kapok pun tidak. Betapa hebatnya
manusia, mereka terjun ke dalam pertempuran resolusi, mereka bertarung
mati-matian, ada yang selamat, ada yang tidak. Lalu setelah itu mereka kembali
lagi, melakukan hal yang sama, melakukan perjuangan yang sama. Untuk kesmeogaan
yang kadang tidak pernah mereka sadari untuk apa, mungkin untuk dua kata yang terkesan
sangat pragmatis bernama “lebih baik.”. Hmmmm, tidak ada apa-apa di puncak
sana, setelah lebih baik lalu apa? Tentu menjadi lebih baik lagi dari
sebelumnya, dan akan terus seperti itu, lalu mati. Sungguh, sebuah roman yang
sangat “epic”, diceritakan oleh para manusia.
Oleh peradabannya
sendiri, oleh naskahnya sendiri dan oleh repetasinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar