Hari pertama di
bulan Juli, 2017
Tentang
Keterlemparan
Pagi
itu aku terbangun, lebih jelasnya kesiangan. Tapi aku masih menganggap bahwa
itu pagi, ah masa bodoh siapa yang akan peduli itu pagi, siang, sore ataupun
malam. Intinya adalah, hari itu adalah hari pertama di bulan julia dan aku
melakukan hal-hal yang sangat tidak jelas. Seharusnya Juli menjadi bulan yang
paling hebat, karena aku akan mendapatkan banyak hal dari bulan tersebut. Mulai
dari pengalaman, cerita dan masih banyak lagi yang dapt ku jadikan pembelajaran
di dalam keterlemparanku atas hidup ini.
Seharusnya
pagi itu aku menghadiri sebuah acara, tapi apa daya, kelelahan fisik ternyata
memang tidak bisa lagi ditolerir. Tidak seperti batin, yang dapat kita tolerir
hingga tak terbatas. Selama kita hidup di dunia ini, seringkali terjadi
pergolakan batin, entah apapun narasinya, tetapi selalu saja masalah batin
selalu dapat mudah dikendalikan daripada hal-hal yang menyangkut fisik. Manusia
memang cukup aneh, mereka dapat menahan kesedihan, kekecewaan dan keputusasaan.
Tapi mereka tidak bisa menahan suatu habitus bernama “ngantuk”. Lalu tertidur lah mereka secara pulas.
Pada
siang hari, aku tidak melakukan apa-apa, benar-benar tidak melakukan apa-apa.
Biasanya aku akan memikirkan banyak hal tentang hidup ini, mulai dari perkara
sosial, gaya hidup dan apapun yang layak untuk dipikirkan termasuk cinta. Tapi
untuk cinta mungkin tidak akan dibahas dalam tulisan kali ini. Tidak melakukan
apa-apa itu benar-benar seru sekali! Benar-benar tidak melakukan apa-apa
kecuali bernafas.
Pada
sore harinya, ada sebuah pesan dari seorang teman yang melakukan kebodohan, dia
pulang ke Yogyakarta membawa oleh-oleh yang cukup banyak, tapi koper dan tasnya
ketinggalan di bandara. Benar-benar bodoh.. Kebodohan tersebut menyebabkan
akhir pekanku harus berakhir disebuah rumah yang dapat dikatakan markas dalam
rangka menyambut mahasiswa baru. Ya, dia hanya membawa handphone dan dompet,
kunci tempat tinggalnya ada di dalam koper yang tertinggal di bandara dan harus
menunggu 1x24 jam pengiriman dari bandara tersebut ke Yogyakarta. Jadi aku
menemaninya di akhir pekan yang seharusnya ku habiskan untuk mengitari Yogyakarta,
sebuah rencana yang gagal untuk kesekian kalinya.
Malamnya,
aku hanya menghabiskan perapian dan duduk manis di ruang tamu. Melihat perlahan
perapian menuju kematian, melihat sebuah ruang yang sepi, melihat hidup yang
penuh dengan intepretasi. Akhirnya aku
memikirkan sesuatu hal yang begitu absurd, lebih absurd dari biasanya dan
sepertinya memang tidak layak untuk dikisahkan, seperti halnya penantian.
Hahahaha
Jadi apa inti
dari tulisan ini? Tidak ada..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar