Terkadang, banyak sekali hal-hal
yang tidak masuk akan di dunia ini. Salah satunya mengenai seni dalam
melepaskan. Apa itu seni dalam melepaskan? Secara praktis, hal trsebut dapat
dipahami sebagai seni dalam melepaskan seseuatu hal. Namun penekanannya ada di
dalam negasi yang dia sembunyikan dalam tanda-tanda. Ah sudahlah, hal tersebut
terlalu sulit untuk dijelaskan. Baik, kita mulai saja ceritanya.
Malam itu, seperti biasa aku pergi
seorang diri untuk menikmati sebuah gelas dan perapian di tengah kota. Sudah
lama aku tidak melakukan hal tersebut, sepekan penuh dengan rutinitas dan ku
putuskan hari itu aku harus melarikan diri. Ya, aku sedang menjadi seorang
pecundang malam itu. Aku lebih memilih lari ketimbang menghadapi takdirku, tapi
sesekali kurasa bukan lah masalah.
Seperti biasa, aku mengamati keadaan
disekitar cafe yang sedang ku tumpangi untuk sejenak menenangkan diri. Segelas
kopi, sebatang perapian dan sehembusan nafas berjalan beriringan bersama waktu
yang sedikit demi sedikit menyikskaku. Terhadap takdir yang semakin hari tidak
sanggup ku hadapi, terhadap tantangan yang semakin hari tidak lebih dari
sekedar permainan.
Ah, persetan dengan semua penjelasan
mengenai cafe dan suasana malam itu. AKu melarikan diri dari rutinitas yang
sudah membunuhku sedari lama, aku melarikan diri dari kenyataan yang tidak
dapat aku terima, aku melarikan diri dari pesakitan atas sebuah kekosongan
dalam hidup ini. AKu hanya lari dan terus menerus berlari, persetan benar aku
ini. Tidak seperti biasanya aku memutuskan untuk mengalah, lebih tepatnya
melepaskan.
Melepaskan bagiku adalah sebuah seni
baru yang sedang aku kenal. Aku membiarkan diriku menerima semua hal yang
memang seharusnya aku terima. Aku tidak pernah menegasikan hal tersebut
Satu pertandingan telah aku lewati,
aku mengaku kalah dan memang kalah. Tapi setidaknya hal terebut membuatku
menjadi manusia yang lebih baik sepertinya. Entahlah, kapasitasku sebagai
seonggok daging ini mulai meningkat. Sepertinya aku dapat lebih menekan dan
menang di pertandingan-pertandingan lain.
Sebuah modal penting, sebuah
pembelajaran yang menarik. Kalah tidak selamanya buruk, mengakui kekalahan
tersebut apalagi. Yah, satu langkah lebih maju.. Aku sepertinya memang
membutuhkan hal seperti ini. Selama ini ku kira aku sudah cukup kuat, ternyata
belum. Mengontrol seekor monster di dalam diriku benama amarah itu ternyata
sangat sulit, dalam pertandingan tersebut aku mengakui kekalahan tersebut.
Menerima adalah sebuah kunci yang
aku lupakan untuk mengurung monster tersebut. Entah faktor apa yang membuatku
lupa, tapi sudahlah hal tersebut tidak perlu diingat, lagipula aku sudah
mendapatkan sesuatu yng berguna bagiku di masa depan. Begitulah semesta
memberikan sebuah hantaman tepat di dadaku.
Untungnya aku selamat, tidak mati
mengenaskan seperti para pecundang yang lain, walaupun malam ini aku juga jadi
pecundang. Ya tapi setidaknya kekalahan tersebut membuatku harus menulis sebuah
cerita. Mengenai pertarungan seorang Ubermensch, pertarungan yang tidak akan
pernah dia menangkan. Mengenai kutukan seorang Sisifus, kutukan yang tidak akan
pernah dia menangkan. Mengenai perlombaan seorang Jenny, perlombaan yang tidak
akan pernah dia menangkan.
Mereka bertiga telah menerim tragedi
tersebut sebagai sebuah takdir yang memang tidak dapat mereka rubah, tapi
setidaknya dia tidak pernah menyerah. Persetan sekali, ketiga tokoh tersebut
benar-benar membuatku ingin mengeluarkan air mata. Jujur saja, aku kagum dengan
tekad kuat mereka, berdiri dan terus melawan di ronde terakhir, walau pada akhirnya
harus terjatuh dan kalah.
Sejujurnya, tulisan ini separuhnya
adalah manifestasi atas sebuah amarah. Dia adalah sebuah narasi mengenai
keterpurukan seorang manusia dan kekalahan di dalam keterlemaprannya. Tapi
narasinya juga tidak menceritakan banyak hal, setidaknya sampai aku benar-benar
menjadi manusia yang satu langkah lebih maju daripada malam ini.
Begitu abstrak bukan? Bahkan aku
sendiri tidak tahu dengan apa yang sedang aku tulis, tapi setidaknya ini dapat
merepresentasikan sebuah perjalanan dan pertarungan singkat di sebuah malam.
Tepatnya di akhir Mei yang menjadi tragedi. Hah, berlebihan sekali, tapi aku
mengakui bahwa pertarungan ini tidak dapat aku menangkan.
Seperti analogi mengenai percaturan
dan kontestasiya. Seorang bijak mengatakan, “lebih baik menyerah daripada
memperlama kesengsaraan.” ah siapa yang tahu kalau pertarungan tersebut akan
menjadi sebuah kesengsaraan? Bisa jadi akan menjadi sebuah kemenangan? Tapi
siapa yang tahu? Sebelum bel dibunyikan, sebelum peluit ditiup, semua keniscayaan
adalah sebuah kemungkinan.
Berjibaku di dalam
kemungkinan-kemungkinan dan ekstasi ekspetasi memang tidak mudah, tapi
setidaknya satu langkah lebih berani ketimbang harus menyerah diawal
pertandingan. Pun demikian seperti halnya Daud dan Goliat, kalian tahu kan
cerita tentang pertarungan kedua orang tersebut? Siapa yang akan menyangka
bahwa Daud dapat menjatuhkan Goliat. Sang bijak yang tadi bermain catur salah
besar! Tapi aku mengapresiasi sekali rasionalitas yang tak terbatas yang
menjadi kapital utamanya
Banyak yang seharusnya aku lakukan,
kerjakan dan tuntaskan. Tapi masa bodoh, aku sedang ingin menikmati kekalahan
atas diri ini, begitu menyebalkan tapi menyenangkan. Ada suatu masa dimana aku
mengakui bahwak kebahagiaan itu sedih, pun demikian sebaliknya bahwa kesedihan
itu bahagia. Ah apa yang sedang aku bicarakan di tengah kekalahanku?
Menulis adalah sebuah energi, atas
kebangkitan dan keterpurukan. Menikmati di sisa kemewaktuan yang ada. Matilah
kau mati! Tidak ada yang akan membuatmu menjadi manusia yang lebih baik sebelum
kamu berkenalan dengan kematian dan keputusasaan. Mereka mengajariku banyak hal
sebelum aku menyelesaikan masa puberku. Terima kasih, paman!
Tapi kembali lagi mengenai
kekalahanku malam itu, tidak ada yang dapat dirubah, hanyalah permenungan atas
kekalahan tersebut. Lalu aku bisa apa? Mengisahkannya? Untuk apa? Tidak penting
dengan bagaimana kamu terjatuh, tetapi yang harus kamu garis bawahi adalah
cerita tentang bagaimana kamu akan bangkit dari kekalahan tersebut.
Setiap manusia adalah teman bagi
sesamanya dan setiap manusia adalah musuh bagi sesamanya. Homo Homini Lupus, Homo Homini Socius. Salah seorang yang katanya
lagi-lagi bijak di sebuah candu akan dunia ide. Yap, aku belajar juga dari hal
tersebut. Tidak ada yang perlu kamu percayai selain dirimu sendiri. Mereka
semua pada akhirnya juga akan sama-sama mati dan tak akan bisa menolongmu di
suatu momentum. Hanyalah dirimu, yang akan bertarung dengan ketidaksiapan serta
kekalahan-kekalahan telak yang sudah menanti di depan mata.
Seperti cerita Jimmy, yang
dikisahkan secara epic oleh paman
Billie Joe. Sebuah cerita sekaligus narasi besar tentang keterasingan seorang
manusia di dalam lingkungannya. Tidak ada yang membantunya keluar dari lubang
gelap bernama keputusasaan. Dia secara dramatis selamat seorang diri, bukan kah
itu keren? Ya, sangat keren! Cerita tentang Jimmy tersebut pertama kali aku
dengarkan ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Kemudian aku baru
memahami cerita keseluruhannya setelah menyelesaikan masa pubertasku.
Oh, sampai detik ini aku masih duduk
termenung seorang diri di sebuah cafe , masih mengamati keadaan sekitarku,
masih menikmati kekalahanku, masih menikmati secangkir kopi, masih menyiasati
sebatang perapian, masih mendengarkan orang-orang bercerita tentang bagaimana
mereka melewati hari-harinya. Yah, kopinya mulai dingin. Tapi eperti biasa, aku
tidak terlalu peduli dengan hal tersebut.
Hmmmmmmm... Cerita apalagi yang akan
coba aku tulis? Mungkin bercerita soal cinta! Bagaimana? Baiklah kita mulai
dengan sepasang kekasih yang sedang menikmati kopinya di dekat pintu masuk.
Mereka berdua saling menatap mesra, saling lempar cerita dan menghangatkan satu
sama lain. Untuk sesaat, aku baru saja menyadari bahwa di cafe tersebut hanya
aku seorang yang duduk tanpa seorang partner.
Ya, tapi ini adalah bagian yang
paling aku sukai.
Seni dalam melepaskan adalah salah
satu kegilaan yang pernah aku temui semasa aku muda. Kau tahu, manusia memang
benar-benar hebat apabila dipersenjatai dengan negasi. Dengan liar dia akan
menegasikan semua hal yang ada di dunia dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar
akan eksistensinya. Lalu mereka akan membawa semuanya ke ujung perarakan,
menanti api terakhir sebelum melumat kegilaan yang telah menjadi-jadi sebelum
aku dilahirkan.
Aku adalah amarah, yang datang
bersama dengan kebahagiaan sepasang merpati kematian, di tengah cakrawala
ekstasi akan keputusasaan. Mereka bernyanyi, bersorak-sorai mengharapkan sebuah
keajaiban atas hidup mereka yang sia-sia. Dan aku datang, sebagai pembawa pesan
kematian terhadap sebuah peradaban manusia.