Terkadang aku diam termenung
memikirkan suatu hal, tentang sebuah pertanyaan yang lebih sering muncul
ketimbang hal-hal mengenai keterlemparan hidup atau manusia beserta
peradabannya. Pertanyaan yang sangat sering muncul dan ku acuhkan, karena ini
tidak semudah merenungkan kehidupan beserta kompleksitasnya. Kenapa aku selalu
berpikir mengenai hal-hal kecil disekitarku? Mengapa aku selalu menulisnya di
dalam sebuah catatan harian yang tidak tahu akan sampai kapan aku akan
melakukannya? Bagaimana bisa aku selalu berpikir mengenai hal-hal yang hirarki
dan sebenarnya tidak perlu di pertanyakan, namun aku justru menantangnya dan
ingin membuat sebuah anti-tesis?
Tiga pertanyaan yang akan selalu
muncul setelah aku selesai menulis catatan harianku mengenai permenunganku atas
hidup ini. Pertanyaan yang sampai saat ini tidak pernah bisa aku jawab, atau
mungkin memang sedang tidak ingin aku jawab. Entahlah, aku merasa menjadi
manusia yang berbeda dengan orang-orang disekitarku. Berbicara soal normal
hingga bosan, kebebasan yang tidak pernah bisa keluar dari batasnya dan
peperangan berdarah mengenai kebenaran. Tiga hal yang selalu berputar di
kepalaku, memaksaku untuk berpikir dan menghasilkan sebuah tulisan yang
sebenarnya aku tidak tau, untuk apa aku menulis? Semakin hari, aku merasa tidak
sanggup menerima segala realita kehidupan ini. Kompleksitasnya semakin
menghimpitku ke ruang tak terbatas, semakin terhimpit semakin menjadi sempit.
Hingga batas yang aku cari sedari dulu hampir ke temukan, namun kembali semesta
selalu member sebuah permainan yang menyenangkan. Permainan tersebutlah yang
mencegah kompleksitas tersebut membantuku untuk menyentuh batas kehidupan ini,
benar-benar menarik.
Entahlah sampai kapan samudera
kehidupan ini akan ku arungi. Tidak seperti pelaut yang lain, aku selalu
diterpa badai kebingungan. Sepertinya aku terlalu sombong untuk tidak memakai
kompas dalam perjalanan panjang ini. Tapi aku percaya, di ujung laut sana juga
ada pelaut yang sepertiku, jadi itu tidak terlalu membuatku khawatir berpergian
di tengah luasnya samudera tanpa sebuah kompas sebagai penunjuk arah. Biarkan
saja mata angin membawaku, sesuka dia menghantarkanku kepada semesta. Cukup
sekian, aku tidak terlalu suka menulis panjang-panjang seperti para maestro
disana. Aku ini hanya seonggok daging yang bergentayangan dalam kemewaktuan,
jadi tidak ada yang perlu diharapkan dari manusia sepertiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar