"Menuju bulan
Juli, dimana setahun kedepan aku akan genap berkepala dua…"
Malam
itu hujan, aku sendirian seperti biasanya menikmati kopi dan perapian di sebuah
café. Tidak ada yang spesial dengan hujan malam ini, semua terasa biasa saja
seperti malam dan hujan yang tidak berkesudahan. Aku hanya mengingat sebagian dari
memoar usang yang terekam di dalam setiap hembusan perapian serta pahitnya kopi
malam itu. Terasa begitu nikmat, sama seperti biasanya. Tapi aku benar-benar
berharap hujan pada malam itu berbeda, aku sedikit bosan. Suatu kejutan ku
harap datang menemui ku malam itu, mungkin akan ku ajak dia bercengkerama
bersama kopi dan perapian hingga larut malam.
Tapi tetap saja, tidak ada yang
berubah. Hanya aku disini dengan segala keadaan yang akan sampai kapanpun tetap
sama apabila aku tidak melakukan perubahan apapun. Aku sadar dengan hal tersebut,
tapi sayangnya aku masih belum ingin meninggalkan kenikmatan remeh seperti ini.
Walaupun memang sangat membosankan, berbicara melalui sebuah tulisan yang tidak
aku ketahui untuk siapa ditujukan. Tapi aku seperti tidak memiliki pilihan
lain, yang bisa ku lakukan hanya menjalani ini semua.
Hanya ada sepasang kekasih yang
sedang memadu kasih dan seorang pria tua yang menikmati kopinya sembari membaca
buku dan mengenakan topi tua miliknya. Kemudian seperti biasanya, sang barista
akan terlihat sok sibuk mempersiapkan ini dan itu di singgah-sanahnya. Ya
begitulah deskripsi singkat suatu malam di sebuah cafe. Benar-benar tidak ada
yang special bukan? Hanya kesepian dan keresahan yang menemaniku hingga gelas
demi gelas dan batang demi batang menjadi satuan hitung keberadaanku di dalam
kehidupan ini. Benar-benar terasa sepi hidup ini, tanpa adanya sebuah
kejutan-kejutan yang datangnya dari nurani.
Apakah pria tua di ujung sana juga
merasakan hal yang sama denganku? Menghabiskan hari demi hari tanpa sebuah
inisiatif, terjebak di dalam rutinitas dan merasakan kebosanan atas hidup ini.
Tapi sepertinya tidak, dia terlalu asik membaca bukunya, mungkin buku itu
adalah hidupnya. Sama halnya seperti sepasang kekasih itu, saling menjadi
kehidupan satu sama lain. Lalu sang barista dengan seni di dalam kopi-kopinya,
juga memiliki penghargaan atas hidupnya. Sedangkan sampai saat ini, di dalam
perjalan yang sudah ku tempuh ribuan mil jauhnya, aku bahkan tidak menemukan
kehidupan itu. Tidak dengan buku, kekasih atau kopi.
Aku telah merasakan itu semua dulu,
sekarang hal-hal seperti itu sudah tidak lagi bernilai. Mungkin kesepian dan
kesendirian ini adalah pengharagaanku atas hidup? Ah aku masih malu-malu
berkenalan dengan nurani, sesungguhnya ketika aku sudah mengenal nurani
tersebut, mungkin semua keresahan ini akan segera berakhir. Tapi ada sebuah
tekanan yang memaksaku untuk tidak mengenal nuraniku, “Sebaiknya tetap berjalan
saja, hal remeh seperti itu hanya akan menghambatmu!” tapi bagaimana mungkin
hal tersebut menghambatku? Justru pertanyaan-pertanyaan yang sering bermunculan
karena aku tak mengenal nurani lah yang semakin menghambatku. Tapi aku sedang
terhambat oleh apa? Dan kemana aku akan pergi? Sudah ribuan mil aku lewati,
dari mana sebenarnya aku berangkat?
Kemudian aku tidak mau mengingat hal
tersebut, mari kembali ke sebuah virtualiasi café tersebut. Malam semakin
mencekam, hujan turun semakin deras dan gelegar langit menjadi teman semesta
bersenandung bersama menunggu datangnya pagi. Pria tua dan bukunya itu sudah
tidak ada di tempat terakhir dia duduk, sepasang kekasih tersebut memutuskan
untuk kembali ke apartemennya, sang barista masih tetap saja sibuk dengan
segala ini dan itunya di singgah sanah kekuasaannya. Aku menoleh kearah jendela
di sebelahku, banyak sekali orang-orang berjalan dibawah tangisan semesta.
Pulang dari rutinitas pekerjaan, menuju ke suatu perayaan atau hanya tersesat
di jalan bernama kehidupan? Itulah yang sesungguhnya sedang mereka lakukan di
dalam keterlemparan hidup ini.
Mengamati manusia-manusia di dalam
rutinitasnya memang menyenangkan, apalagi hujan turun yang semakin membuat
suasana menjadi syahdu. Aku begitu menikmati detik demi detik yang ada dan
setiap kecepatan langkah kaki orang-orang yang semakin mendekati tujuan mereka.
Aku terlalu menikmati suasana pada malam itu, sampai-sampai aku lupa kopiku
sudah dingin, seperti halnya diri ini. Lalu apa yang tersisa kini? Perapian
sudah habis terbakar menghangatkan suasan malam ini, kopi yang sudah dingin
tidak akan bersinergi dengan baik apabila tetap dinikmati. Jadi apa yang
tersisa kini? Sebuah nafas yang menciptakan irama kehidupan, itulah hal
terakhir yang akan kita miliki di dunia ini. Sebuah tempat pemberangkatan,
tujuan dan kenikmatan hidup yang tidak akan pernah kita sadari, karena kita telah
hanyut ditelan keterlemparan kita di dalam hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar