Sore itu, seorang pemuda berkacamata
yang sedang duduk termenung di sebuah taman tiba-tiba berteriak “Beri aku
kebahagiaan yang tak terhingga! Sehingga aku dapat bosan dengan kebahagiaan dan
bisa secepatnya meninggalkan panggung sandiwara ini…” teriak pemuda itu ke arah
langit yang hampir mendung, menandakan bahwa sore itu akan turun hujan. Setelah
pemuda itu berteriak, datanglah seorang perempuan yang kebetulan sedang lewat
dan menghampiri pemuda tersebut.
Perempuan tersebut kira-kira usianya
tidak jauh berbeda dengan pemuda tersebut, rambutnya hitam panjang dan wajahnya
memancarkan cahaya seakan-akan dia membawa sebuah harapan untuk diberikan.
Setelah pemuda tersebut kembali termenung, perempuan tersebut kemudian
memposisikan diri untuk duduk disebelahnya dan mulai menyapa pemuda tersebut.
“Bolehkan aku duduk di bangku ini?”
Tanya perempuan tersebut.
“Oh, silahkan. Maaf untuk teriakanku
yang tadi.”
“Teriakanmu
tadi menyebabkan seluruh orang di taman ini teralihkan perhatiannya, termasuk
aku yang kebetulan sedang lewat.”
“Iya,
tadi itu adalah sepersekian detik yang begitu hebat, aku benar-benar bisa
menyampaikan segala keresehanku sebagai seorang manusia, ditambah dengan
teriakan lantang yang ku persembahkan untuk semesta.”
“Siapa
namamu?” Sembari bertanya, perempuan itu mengulurkan jabat tangan.
“Apakah
penting untuk dirimu mengetahui siapa namaku? Sebenarnya aku juga sedang
bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Tentang seorang perempuan tak dikenal
yang tiba-tiba datang.”
“Aku
hanya bertanya, lagipula akan lebih mudah kan jikalau kita mengobrol dan
mengenal satu sama lain? Aku Helena. Salam kenal.” Perempuan tersebut tersenyum
ke arah pemuda tersebut.
“Aku
Erik.”
“Erik,
apa yang sedang kau lakukan disini?” Tanya Helena yang semakin penasaran.
“Aku
hanya menikmati keterlemparanku di dalam kehidupan ini. Bagaimana denganmu,
Helena?
Sore
di taman itu begitu tenang, tidak terlalu banyak orang disana. Sehingga Erik
dan Helena bisa merasakan ketenangan yang disajikan oleh kolam, air mancur dan
rerumputan hijau, serta rindangnya taman itu yang dikelilingi oleh pohon-pohon
yang menjulang tinggi. Ditambah burung-burung bertebangan bebas kesana kemari,
dari satu pohon ke pohon lain. Kemudian mereka berkumpul menjadi suatu kelompok
dan akhirnya terbang menuju senja.
Setelah
Erik menjawab pertanyaan yang dilontarkan Helena, sejenak waktu berhenti di
kepala Helena. Jawaban yang dirasa benar-benar mengguncang hati Helena sebagai
seorang manusia. Tapi dia tetap berusaha untuk menutupi ekspresi kagetnya dan
kemudian bertanya lagi “Apakah dengan begitu engkau akan menemukan
kebahagiaan?”. Erik dengan tegas menjawab “Ya.”. Setelah percakapan singkat
itu, mereka berdua akhirnya hanya bisa terdiam di bangku tersebut. Bangku
dimana dua insan manusia yang sebenarnya sedang sama-sama mencari kebahagiaan
dipertemukan.
“Aku
pun sebenarnya sedang mengalami hal yang sama denganmu, Erik.”
“Apa
maksudmu?” Erik begitu kaget dengan pernyataan Helena.
“Aku
juga sedang mencari apa itu arti kebahagiaan.”
Kemudian
Erik terdiam dan melanjutkan permenungannya. Matanya tetap fokus menatap air
mancur yang tiada pernah kering, seperti halnya penderitaan manusia. Erik
benar-benar semakin merasakan keterlemparannya di dunia ini, terlebih setelah
mendengar pernyataan mengejutkan Helena yang tidak pernah diduga oleh Erik.
Bagaimana mungkin seorang manusia yang sedang mengalami keterlemparannya di
dalam hidup ini tetap bisa bermain sandiwara sedemikian rupa? Akhirnya Erik
berbalik penasaran dan mulai melontarkan beberapa pertanyaan. Obrolan di sore
hari itu pun dimulai.
“Kau
hebat Helena!” Erik mengambil rokok di saku kiri bajunya, kemudian mulai
menyalakan rokok tersebut. “Kau tidak keberatan kan jika aku merokok?”
“Oh
silahkan, lagipula aku tumbuh di lingkungan para perokok, jadi itu sudah biasa.”
Kemudian Helena juga mengeluarkan rokok dari tasnya, kemudia rokok menjadi
teman bercengkerama mereka berdua.
“Sejak
kapan kau mulai merokok?” Tanya Erik kepada Helena sembari menghisap rokoknya.
“Baru-baru
ini, belum ada tiga bulan sepertinya, bagaimana denganmu?
“Sudah
hampir setahun.”
“Belum
lama juga ternyata.
Sudah
hampir habis dua batang, tetapi obrolan mereka belum sampai pada inti keresahan
mereka tentang kebahagiaan dan keterlemparan. Lalu langit sore itu mulai
menangis ketika matahari perlahan mulai pergi meninggalkan taman itu. Sedikit
demi sedikit semesta mulai membasahi bumi ini, memberikan kesegaran bagi mereka
para pecinta hujan dan Erik adalah salah satunya. Hujan mulai turun, Helena
sedikit khawatir apabila basah karena malam itu juga dia harus pergi ke sebuah
pesta. Lalu dikeluarkannya payung hitam dari tas ransel berwarna biru muda.
“Apa
kau tidak takut dengan hujan yang semakin deras?” Tanya Helena kepada Erik
sembari membuka payung untuk melindungi mereka berdua dari kegelisahan semesta
yang menangis.
“Tidak,
aku menyukainya. Lagipula kau tidak perlu repot-repot untuk membagi payungmu
denganku, biarkan saja hujan bersetubuh denganku di penghujung sore ini.” Lalu
Helena menarik payungnya dan kali ini kita dapat melihat di sebuah bangku tua,
ada dua insan manusia yang sedang merasakan keterlemparannya. Satu seorang
pemuda dengan keberaniannya menghadapi hujan, satunya lagi seorang perempuan
muda yang duduk dibawah lindungan paying hitam.
“Erik,
sebentar lagi aku akan pergi. Kita belum sempat berbicara banyak hal mengenai
Keterlemparan dan Kebahagiaan.”
“Pembicaraan
kita sore ini terlalu sendu Helena.”
“Benar
Erik.”
“Kalau
begitu, aku tunggu kau di taman ini minggu depan. Bangku dan jam yang sama,
silahkan datang apabila kau mau membicarakan banyak hal yang belum sempat
tersampaikan sore ini.” Kemudian perlahan Erik mulai bangkit dari bangku tua
tersebut.
“Terima
kasih untuk waktunya Erik.” Helena tersenyum sambil menundukan kepalanya.
“Tidak
masalah.” Erik berdiri dibawah amukan semesta yang semakin menjadi-jadi,
sedangkan Helena masih duduk dan terdiam di bangku tua tersebut. “Bukankah kau
harus menghadiri sebuah pesta mala ini?”
“Iya,
tapi aku ingin semenit lagi disini.”
“Baiklah
kalau begitu, sampai jumpa minggu depan Helena.” Kemudian perlahan-lahan Erik
mulai berjalan ke luar taman, meninggalkan Helena yang masih duduk termenung
seorang diri. Tiba-tiba Helena berteriak “Terima kasih semesta! Engkau telah
memberiku jawaban atas ketakutan ini.” Kemudian Helena melempar payungnya dan
berlari dibawah derasnya hujan sembari menggendong tas ransel. Dari kejauhan
terlihat Erik menghentikan langkahnya dan melihat Helena yang sedang berlari
menuju kearah matahari tenggelam.
Hujan
semakin deras, Erik kemudian kembali ke taman tersebut untuk mengambil payung
hitam Helena dan melanjutkan perjalanan pulang. Erik menjadi pusat perhatian
orang-orang di sepanjang jalan menuju apartementnya. Bagaimana tidak, seorang
pemuda berkacamata yang basah kuyup dan sama sekali tidak membuka payung hitam
yang dibawa disebelah tangan kirinya. Tapi Erik tetap berjalan, seakan-akan dia
mengisyaratkan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh Erik. Sebuah perlawanan
atas kebiadaban peradaban beserta konstruksi tirani yang semakin menderu-deru
membungkam kemanusiaan…………….. ( Bersambung )
*Sebuah cerita singkat dan apa adanya yang bersambung, mewakili segala hal
yang ada di dalam benak KrunK maupun Carolus Dewangga. Terbit juga di
carolusdewangga.tumblr.com