Aina,
Seorang wanita yang kutemui
secara tidak sengaja dari sekian banyaknya kemungkinan, yang awalnya hanya kuanggap
sebagai “kebetulan” saja, toh lagipula orang-orang datang dan pergi di dalam
kehidupan kita yang mewaktu ini, jadi tidak perlu terlalu dipikirkan, ucapku beberapa
bulan yang lalu ketika berbicara dengannya ketika sedang bermain peran.
Permainan peran yang pertama, mengambil
latar belakang “masa lalu” yang menyajikan sebuah pementasan dua orang yang
tidak saling kenal dan tidak saling peduli satu sama lain, hanya saja terpaksa
untuk berbincang sekali dua kali, apa saja yang dibicarakan juga tidak jauh
dari keputusasaan, pesimisme, ketidakpedulian dan hal-hal yang kami anggap “entahlah,
aku benar-benar tidak peduli, toh lagipula hidup akan berakhir”.
Permainan peran yang kedua,
mengambil latar belakang “pertemuan pertama” yang menyajikan sebuah pementasan
sekelompok orang-orang yang sedang merayakan banyak hal di kuartal dua tahun
tersebut, sebagian dari mereka merayakan dengan keterpaksaan, sebagian lagi dengan
ketidaktahuan dan yang sebagian lagi adalah diriku, yang merayakan pertemuan
dengan seseorang pada permainan peran yang pertama, masih tetap dalam kedaan
acuh dan tidak peduli karena memang tidak ada yang benar-benar signifikan
baginya dan juga diriku. Tapi setidaknya, sesekali pandanganku tidak pernah
terlepas darinya ketika berbincang, terlebih ketika dia sedang mempraktekan
sebuah atraksi berjudul “tarot”.
Permainan peran yang ketiga,
mengambil latar belakang “perjalan yang jauh” yang sama-sama kami tempuh untuk
bertemu, meski itu hanya sebuah kebetulan dan bukan tujuan utama kami pada saat
itu. Dia menempuih jarak ratusan kilometer, sedangkan aku hanya belasan, tetapi
supaya tulisan ini tetap terkesan “romantis” maka kita anggap sebagai jarak yang
sama-sama jauh, sedikit memaksa tapi tidak apa. Kami bertemu di sebuah halte
setelah menempuh perjalan yang jauh, aku masih mengingat betul dia menungguku
sembari membaca sebuah buku, sore itu langit di kota tersebut mendung dan di
sebagian daerah sedang turun hujan. Singkat cerita, kami memiliki waktu lebih
banyak untuk berbincang dan bercerita tentang apa saja. Aku menyebutnya sebagai
rumah, yang saat ini sedang kuupayakan, meski aku tidak pernah tahu apakah itu
akan menjadi rumah yang benar-benar nyaman dan membawa kebahagiaan, tetapi
setidaknya aku tahu bahwa bisa jadi rumah yang selama ini aku cari ada di depan
mataku.
Permainan peran yang keempat,
mengambil latar belakang “tentang apa saja yang disemogakan” yang mungkin
sama-sama tidak kami ketahui beberapa hari yang lalu di kota asalnya. Permainan
peran yang keempat kali ini benar-benar tidak direncanakan, kebetulan saja aku
sedang menuju tempatnya dan tidak ada salahnya untuk mengajaknya bertemu, setidaknya
akhir pekan kemarin benar-benar membuatku tersenyum dan merasa bahagia.
Sejujurnya kami sama-sama tidak tahu harus pergi ke mana pada hari itu, tetapi
dengan inisiatifnya dia mengajak untuk pergi ke hutan, sudah lama aku tidak
menghabiskan akhir pekan seperti ini dan dia berhasil.
Aku memperhatikan beberapa hal
detail dan menyadari bahwa dia berbeda dari orang-orang yang pernah ku temui.
Ketika dalam perjalanan menuju hutan, kami memutuskan untuk berhenti sejenak di
sebuah minimarket dan aku membeli dua botol air mineral karena tahu hari ini
akan menjadi hari yang melelahkan. Sesampainya di mobil, aku cukup terkejut ketika
dia mengeluarkan dua botol air dari tasnya yang ternyata sudah dia siapkan sebelum
bertemu denganku. Sebuah hal kecil dan sederhana, tetapi aku yakin tidak banyak
orang di luar sana akan mengupayakan hal tersebut, dan bagiku itu sangat manis
di tengah kondisi peradaban yang semakin hari semakin menjadi biadab.
Ketika sampai di hutan tersebut,
sebelum turun dan melanjutkan perjalanan mengelilingi hutan dan bercerita
tentang banyak hal, aku benar-benar mengingat dia mengatakan sesuatu yang
sampai detik ini masih membekas. “Wait, aku ada sesuatu buat kamu” kemudian
dia mengeluarkan sebuah topi berwarna hitam dan memberikannya kepadaku. “Ini
kamu pake ya, karena kita bakalan jalan-jalan di luar, takutnya hujan atau
panas, ini punya ayahku.” aku hanya terdiam membisu, mengambil topi
tersebut dan langsung memakainya di kepala.
Sisanya, adalah obrolan ngalor-ngidul sembari menempuh ribuan meter yang tidak perlu diceritakan, dan sedikit rencana gila untuk bisa hidup bersama yang dia anggap bercanda ketika sedang makan burger di dekat stasiun kepulangan.
Dengan penuh harapan, di Jakarta.
Krunk.
"Australia, right?" |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar