Apakah kalian
pernah merasakan kebahagiaan dan kesedihan di waktu yang bersamaan? Terdengar
cukup aneh, tapi pagi ini aku merasakan kedua hal tersebut secara bersamaan.
Bahagia karena aku masih diberikan hidup, keluarga yang baik dan dapat
menikmati pagi ini dengan segelas teh serta pemandangan burung-burung yang
berterbangan di sekitar rumahku. Sedih karena menyadari bahwa dalam beberapa
jam, hal-hal tersebut akan menghilang dan aku harus melanjutkan kehidupanku di
usia dua puluh tiga yang menyebalkan. Aku benar-benar yakin bahwa kalian pernah
merasakan hal-hal semacam ini.
Manusia adalah makhluk yang menurut
ku begitu kompleks dan rumit. Kita terdiri dari berbagai macam perasaan dan
pikiran yang terus-menerus berubah dan saling mengisi satu sama lain, perpaduan
komposisi itu pun bergantung juga pada suasana dan kondisi di sekitar kita.
Bisa jadi kita merasakan kesedihan karena beberapa jam yang lalu kita baru saja
dikhianati oleh orang yang kita cintai, tetapi di saat yang bersamaan bisa jadi
kita harus berbahagia karena dikelilingi oleh orang yang benar-benar mencintai
kita dan masih peduli dengan keberadaan kita.
Setelah
melalui pergumulan dalam diri karena mempertimbakang perasaan dan pikiran, kita
akan berakhir pada satu titik dimana keputusan harus segera diambil, apakah
kita akan bersedih atau berbahagia. Tentu saja, secara tidak sadar kita akan
berbicara dengan diri kita sendiri seperti orang gila, untuk menentukan respon
seperti apa yang harus kita berikan terhadap sekumpulan kejadian yang sedang kita
alami, atau hal yang paling mendasar adalah menentukan apa yang harus kita
rasakan dan kita pikirkan untuk menjadi satu fondasi tertentu di dalam memenuhi
diri kita sebagai manusia yang mewaktu dalam keadaan yang selalu berubah.
Beberapa
orang akan mengikuti perasaan mereka, beberapa yang lain akan mengikuti pikiran
mereka dan tidak ada yang salah dengan kedua hal tersebut karena pada akhirnya
ini cuman persoalan preferensi. Beberapa teman-temanku menyadari biasanya
mereka terlebih dahulu digerakan oleh perasaan, lalu kemudian dikendalikan oleh
pikiran. Bisa jadi perasaan kita yang mendominasi, bisa pula pikiran kita yang
jauh lebih bijak untuk mengendalikan keadaan. Perasaan tidak pernah salah,
begitu pula dengan pikiran kita, hanya saja kesesuaian menjadi sesuatu yang
biasanya mutlak bagi sebagian manusia di dalam menentukan respon yang paling
tepat dalam suatu kondisi tertentu.
Bagi
ku pribadi, perasaan dan pikiran seperti saudara kembar yang sering berkelahi
karena memperebutkan hal-hal remeh, tetapi di saat yang bersamaan mereka berdua
adalah saudara kembar yang saling melengkapi satu sama lain. Meskipun keduanya
dapat hidup terpisah, tetapi kemungkinan akan lebih baik jika mereka hidup
berdampingan dan saling menopang satu sama lain sebagai saudara yang memiliki
keterikatan batin. Sesekali saudara kembar bernama perasaan dan pikiran
tersebut berkelahi, untuk memperebutkan kendali atas diri kita. Sesekali pula
saudara kembar tersebut saling bersinergi agar diri kita tidak kehilangan arah.
Mereka berdua terkesan seperti “love hate
relationship” tetapi dalam bentuk yang abstrak.