(Sebuah Awal
Pijakan Manusia, Fundamental Kehidupan)
Pada
suatu masa, aku dilahirkan, terlempar dalam kehidupan yang benar-benar begitu
kompleksnya, sehingga aku menjadi dari bagian relativitas dunia yang selalu
berubah dan dinamis. Pada suatu titik, aku berpikir bahwa tidak dilahirkan
didunia ini adalah sebuah kesempatan yang harusnya ku ambil jika bisa, tapi
sayangnya kehidupan ini tidak pernah memberikan pilihan kepada kita untuk memilih,
setidaknya untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan sama sekali. Bagiku,
dilahirkan ke dalam kehidupan ini adalah sebuah kutukan. Seperti mitos sisifus,
yang mengangkat batu hingga anak tangga terakhir, tetapi selalu gagal dan
mengulangnya lagi dari awal. Seperti itu, dan akan tetap seperti itu, hingga
dia mengamini hidupnya sebagai sebuah kutukan yang tidak akan pernah selesai.
Pada suatu hari, aku berpikir untuk tetap hidup dan mengalah terhadap
kompleksitasnya, tetapi pada suatu hari yang lain, aku berpikir untuk mati dan
melawan relativitasnya.
Maka
aku bernyayi, merayakan kehidupan dan kematian, beserta kompleksitas dan
relativitasnya. Didalamnya, terdapat pujian, tetapi terdapat pula hujatan,
karena aku ingin menjadi yang ideal, yang berada dititk tengah dan disebut
sebagai manusia yang adil. Tetapi sayangnya tidak seperti itu, tidak ada titik
tengah, yang ada hanyalah kecenderungan dan preferensi. Benar dan salah hanyalah
konstruksi, baik dan buruk hanyalah argumentasi. Kita tidak sedang benar-benar
membela sesuatu hal yang mutlak. Kita hanya membela sesuatu yang kita anggap
perlu kita bela. Maka dari situ, dimulailah peperangan manusia terhadap alam dan
sesamanya. Peperangan yang mencetak manusia-manusia yang kehilangan rasa
kemanusiaannya. Peperangan yang perlahan membumihanguskan kehidupan ini,
beserta kompleksitasnya dan relativitasnya.
(Tetap Berperang
diakhir Pekan, Untuk Iblis dan Badut Perayaan)
Dari peperangan itu, manusia
diciptakan. Membunuh atau dibunuh adalah pilihan, tidak ada yang benar-benar
menjadi temanmu. Satu-satunya teman yang abadi adalah dirimu sendiri, atau dari
bahasa yang lebih politis, kepentingan adalah teman abadi. Lalu, peperangan
menciptakan keletihan, sehingga memunculkan akhir pekan, untuk sejenak
beristirahat dan memulai peperangan selanjutnya. Dan dari akhir pekan ini,
sesungguhnya muncul peperangan baru, antara manusia dengan dirinya sendiri.
Sebuah peperangan untuk memenangkan kebahagiaan, dengan berbagai cara dan
pilihan yang setiap harinya akan semakin beragam. Ada yang memilih untuk
bercinta diakhir pekan. Ada yang memilih untuk konsumtif diakhir pekan. Ada
yang memilih untuk produktif diakhir pekan. Dan ada juga yang memilih untuk
termenung diakhir pekan. Semuanya adalah pilihan, didalam peperangannya
masing-masing.
Akhir pekan yang dikonsepsikan
seperti peperangan tersebut melahirkan iblis dan badut dalam suatu momen yang
bersamaan. Iblis berarti sisi manusia yang dipenuhi dengan ego dan sifat
kedirian, sedangkan badut berarti sisi manusia yang dipenuhi dengan kebodohan
dan sifat keikut-ikutan. Sekali lagi, tidak ada yang benar-benar salah,
sungguh.. Relativitas kehidupan ini benar-benar menipu kita, tetapi itupun juga
tidak mutlak. Yang aku tahu pasti, iblis dan badut itu berjalan dalam sebuah
perayaan, dimana mereka merasa menjadi diri mereka yang utuh, tetapi sebenernya
mereka adalah korban perang dan menciptakan perang yang sekali lagi terhadap
dirinya sendiri. Iblis dan badut yang secara bersamaan menjadi manifestasi
manusia diakhir pekan, dengan segala yang dikonsumsinya, dengan segala yang
diintepretasikannya.
(Sosial Media
dan Sejarah Baru Manusia)
Manusia menciptakan sejarahnya
dengan berbagai cara, tidak perlu aku jelaskan karena sejarah itu sendiri yang
akan bercerita. Tetapi, modernitas membawa suatu wacana yang begitu luar
biasanya, dimana sejarah untuk pertama kalinya tidak dicetak oleh para pemenang
peperangan, tetapi dicetak secara komunal bersama-sama, dalam satu kata amin,
dalam satu rumah ibadah bernama media sosial, atau internet juga boleh.
Manusia, bersama-sama menuliskan sejarahnya masing-masing, dalam satu narasi
yang dikumpulkan oleh rumah ibadah itu. Kemudian manusia-manusia menganggap
satu sejarah itu sebagai bentuk populisme, dimana didalamnya tetap terdapat
kompleksitas dan relativitas kehidupan.
Ada yang berbicara soal kesehatan
mental, ada yang berbicara soal peperangan, ada yang berbicara soal lingkungan,
ada yang berbicara soal keluarga yang tidak harmonis, ada yang berbicara soal
korupsi dan konstelasi politik, ada yang berbicara soal hal remeh bernama
cinta, ada yang berbicara soal budaya populer, ada yang berbicara soal intoleransi,
ada yang berbicara soal eksistensi
Tuhan, dan ada yang berbicara dalam diam. Betapa banyaknya sejarah yang sedang
dituliskan oleh manusia-manusia tersebut dalam satu rumah ibadah yang terekam
abadi. Populisme menjadi suatu alternatif agama, yang minim intoleransi, yang
minim differensiasi, meskipun pada akhirnya tidak pernah pasti. Media sosial
adalah sekumpulan doa yang sedang diamini bersama secara komunal, menjadi
sebuah sejarah yang tidak akan pernah terlupakan. Peradaban kita, pada masa
ini, adalah apa yang sedang dituliskan dan dinarasikan oleh media sosial dalam
bentuk doa-doa dan amin yang bervariasi. Selamat membaca, selamat mengamini.
(The Art of
Receiving, Seni dalam Menerima)
Pada akhirnya, begitulah kehidupan,
beserta kompleksitasnya, beserta relativitasnya. Tidak perlu mengkhawatirkan
kegilaan yang ada disekitarmu, tidak perlu mengamini kematian yang katanya
mengerikan. Kematian adalah suatu final dan garis finishnya, dimana perjalanan
kita telah selesai, dimana kita akan sadar bahwa yang abadi adalah keabadian
itu sendiri, dimana kita akan belajar bahwa yang tidak berubah adalah perubahan
itu sendiri. Semua terangkum dalam perjalanan kita selama hidup, entah
berapapun lamanya, itu menjadi suatu bagian proses bagaiman kita terlempar
dalam kehidupan ini. Tidak ada yang perlu disesali, tidak ada yang perlu
ditangisi, karena kita adalah manusia yang mewaktu dan temporer. Jadi merayakan
kematian adalah bagian dari merayakan kehidupan, karena kedua hal tersebut
adalah satuan yang sebenernya tidak pernah dipisahkan.
Menangislah ketika kamu sedang ingin
melakukannya, karena terkadang kehidupan ini terlalu menyebalkan. Menjadi
manusia berarti menerima semua ketidakidealan dalam diri kita, menangis bukan berarti
lemah, menangis berarti kuat, untuk jujur terhadap diri sendiri. Tertawalah
ketika kamu sedang ingin melakukannya, karena terkadang kehidupan ini terlalu
lucu dan penuh kejutan. Menjadi manusia berarti menerima semua momentum dalam kehidupan
kita, tertawa tidak melulu soal bahagia, tertawa bisa juga bentuk syukur terhadap
hidup yang sering terdapat satu dua musibah didalamnya. Hiduplah, setidaknya
hingga kematian menjemputmu, bukan dirimu yang menjemput kematian itu. Karena bagi kematian, adalah hina ketika kita
manusia yang menjijikan ini datang menemuinya yang selalu menang dari
kehidupan.
Pada akhirnya, kehidupan bukanlah
perlombaan, bukan juga perjalan. Kehidupan adalah sekumpulan kompleksitas dan
relativitas cerita kita yang berproses bersama dengan diri kita, sehingga tidak
ada satupun manusia di bumi ini yang benar-benar sama. Maka dari itu, jadilah
manusia yang benar-benar manusia, menurut kepercayaan dan idealismemu.
P.S: Sudah lama tidak menulis, tulisan yang sangat egois.