Untuk
kalian yang sedang menuruni bukit, lalu memutuskan untuk kembali mendaki gunung
yang lebih tinggi,
Sudah lama aku tidak menulis sepagi
ini, ternyata sudah cukup lama pula aku tidak menyapa pagi. Apa kabar? Kalian
yang saat ini mungkin sedang merasakan keresahan, kekhawatiran atau ketakutan
akan hidup yang semakin hari semakin tidak menyediakan kepastian. Semoga tetap
dalam keadaan yang memang seharunya, entah apapun itu keadaannya. Menjadi
manusia memang merepotkan, jika aku bisa memilih, menjadi sebuah koin
sepertinya jauh lebih baik. Hanya memiliki dua sisi, yang pasti dan tidak
terlalu kompleks, pun paling menyedihkannya adalah berdiri diantara kedua sisi
tersebut, gambar atau angka.
Untuk kalian yang sedang menuruni
bukit, lalu memutuskan untuk kembali mendaki gunung yang lebih tinggi, Jika
boleh, ku ucapkan selamat atas pilihan yang menurutku gila, tapi jujur saja
kalian yang memilih untuk kembali mendaki gunung adalah orang-orang yang berani
dan perlu diapresiasi, apalagi memilih untuk mendaki gunung yang lebih tinggi,
semoga berhasil mendobrak batasan yang ada! Jika kalian memutuskan sesuatu hal
dengan kesadaran yang utuh, aku ucapkan selamat. Jika kalian memutuskan sesuatu
hal dengan kesadaran yang tidak utuh, aku ucapkan semoga beruntung. Jika kalian
memutuskan sesuatu hal tanpa kesadaran sama sekali, aku ucapkan “semoga
kematian menemukan mu hidup.”
Entah untuk memilih pulang ke rumah,
kembali mendaki atau sekedar beristirahat sejenak, adalah masing-masing pilihan
yang bebas dipilih. Begitu pula dengan resikonya, bebas datang, menetap dan
pergi begitu saja. Bukan berpikir tentang konsekuensi atau capaian apa yang
akan kita dapatkan, lebih sederhana dari hal tersebut, mari kembali
mempertanyakan kepada diri sendiri. Apakah memang sudah siap? Siap untuk apapun
yang akan terjadi, siap untuk kehidupan yang terkadang absurd atau bahkan
sekedar bertanya, sudah siap kah kita untuk berkata siap?
Begitu lah hidup, masih soal
kemewaktuan. Tentang manusia yang temporer, mewaktu di dalam kemewaktuan yang
sebenarnya tidak pernah menjadi waktu seutuhnya. Untuk sekedar hidup menjadi
seorang fatalis, absurdis ataupun nihilis. Baik secara sadar maupun tidak
sadar, baik secara siap maupun tidak siap, baik secara utuh maupun tidak utuh. Dari
keterkaitan parsial tersebut aku menemukan sesuatu hal. Pada akhirnya, aku
belajar bahwa hidup tidak melulu soal memperbaiki sesuatu yang terkadang kita
anggap salah. Ada sebuah fase dimana kita diberikan pilihan untuk membiarkan,
atau terjebak di dalam kompleksitas yang terkadang menuntut kita untuk
mengkreasikan realitas sesuai dengan hasil produksi idealisme kita yang
seharusnya dipertanyakan. Sudah siap kah kita membenturkan realitas dengan
idealisme yang dapat menyebabkan diri kita rapuh?
Adakah yang perlu ditangguhkan, ketika membiarkan
sesuatu terjadi begitu saja? Atau setidaknya, membiarkan sesuatu hal untuk
tetap menjadi dirinya. Kenapa kita selalu memiliki hasrat untuk mengubah
sesuatu hal yang padahal kita tidak pernah tahu apakah memang seharusnya dirubah?