"Ah
hujannya sudah berhenti." Begitu kata Erik sembari menyalakan
rokoknya dan melihat keluar jendela. "Aku baru ingat bahwa pagi ini adalah
akhir dari sebuah desember, bukan kah begitu Helena?" Helena masih
tertidur pulas di kasurnya sembari mengenakan selimut dan topi natal. Malam
hari sebelumnya, sepasang manusia yang terjebak di dalam kemewaktuan tersebut
merayakan sebuah perayaan atas ketiadaan. Ketiadaan kemanusiaan, lebih tepatnya
sekumpulan manusia yang menuhankan modernisme.
"Lihat lah
betapa bodohnya mereka Helena, terjebak di dalam rutinitas dan
terus-menerus melakukan sesuatu yang selalu diulang-ulang. Memulai
pagi, melaksanakan siang dan mengakhiri malam. Apa mereka tidak
bosan?" Sesekali Erik hisap rokoknya, sembari melihat
orang-orang di kerumunan melalui kaca jendelanya yang berembun.
Dari kaca
jendela tersebut dia melihat banyak sekali manusia dengan berbagai kegiatan dan
jati diri. Ada seorang parlente mengenakan busana super mewah dan berjalan
layaknya manusia maha oke, menyisir rambutnya yang klimis dan sesekali ia
curi-curi pandang terhadap gadis-gadis muda disekitarnya. Kemudian ada beberapa
anak kecil yang saling berkejaran, entah apa yang sedang mereka mainkan, tapi
itu terlihat sangat membahagiakan, hal yang sudah lama tidak dirasakan oleh
Erik. Ada pula kakek tua renta yang berjalan lemah di pergumulan para manusia
dan rutinitasnya, ia berjalan tertatih-tatih berjuang agar dapat segera keluar
dari kerumunan yang semakin menggila tersebut.
"Ah,
manusia, kehidupan dan lagi-lagi permenungan. Menyebalkan!" Ucap Erik
sambil sedikit berteriak. Teriakan tersebutlah yang membangunkan Helena dari
tidur panjangnya. "Ada apa Erik? Kenapa kau berteriak? Ah sudah pagi lagi
ternyata.." Erik menengok ke arah Helena yang sedang mengenakan kacamata.
"Oh kau sudah bangun, selamat pagi! Aku hanya sedang memikirkan sesuatu
Helena, ketika melihat banyak hal dari balik jendela pagi ini."
"Apa yang sedang kau
pikirkan? Sepertinya akan menjadi sebuah obrolan menarik." Tanya Helena.
"Apa yang sebenarnya mereka
cari?"
"Siapa maksudmu,
Erik?" Helena yang baru saja terbangun menguap.
"Manusia, lantas apa yang
sebenarnya mereka cari?" Tanya Erik kepada Helena.
"Oh, lagi-lagi manusia
ya."
"Cukup mengganggu
bukan?"
"Ya begitulah."
"Apakah akan selalu begini
Helena? Akhir dari sebuah Desember." Erik mematikan rokoknya, kemudian
meletakannya di asbak.
"Banyak hal-hal yang
sesungguhnya tersirat Erik, mereka bersembunyi seperti perdebatan Eksistensi
dan Esensi, kau tidak akan bisa mengetahui semua hal. Terkadang, sesekali
lakukan hal-hal yang berkebalikan. Cobalah untuk berpikir menggunakan hati,
lalu sebaliknya." Helena masih terbaring di kasurnya, menggunakan selimut
dan topi natal.
"Seperti
halnya obrolan ketika, bukan kah hidup hanyalah sebuah skenario? Jikalau
begitu maka si penulis juga turut serta menyembunyikan sesuatu? Apakah seperti
itu Helena?"
"Ya begitulah, penulis yang
menceritakan kisah kita berdua pun sedang berpikir keras Erik, bagaimana dia
dapat menyembunyikan sesuatu yang selayaknya disembunyikan."
"Apakah dia akan tetap
berusaha untuk melanjutkan ceritanya? Sembari memikirkan hal-hal tersirat yang
harus disembunyikan kembali?" Erik kembali melihat ke arah jendela,
melihat kerumunan yang semakin penuh sesak.
Helena mencoba
bangun dari kasurnya, sembari digulung oleh selimut, topi natal di kepalanya
pun belum terlepas. "Pertanyaanmu itu, seperti hal nya kapan kita akan
mati? Manusia mana yang mampu menjawabnya? Sepertinya tidak ada Erik." Setelah
sepersekian detik Helena bangkit, terdengar suara
tembakan pistol sebanyak enam kali. Kemudian suasana di kamar itu
seketika menjadi hening, hanya lagu-lagu milik George Ezra yang masih
bersenandung pagi itu dan Budapest menjadi saksi keheningan di sepersekian
detik terakhir... Apakah ada yang kurang?