Dan perayaan-perayaan
tersebut, bagi saya hanyalah sebuah satu checklist pemberhentian yang
menyatakan bahwa hidup sudah mencapai momen transit di entah berantah. Cepat
atau lambat tempat pemberhentian itu akan disambut dengan berbagai macam
kesemogaan. Kesemogaan itu biasanya dibalut dengan optimisme, meski tidak sedikit
yang memilih menu hidangan pesimisme untuk menyambutnya. Ada juga beberapa yang
menyambutnya dengan berpuasa, terhadap ekspetasi dan pencapaian.
Beberapa hari yang lalu, banyak sekali
orang-orang yang merayakan ulang tahun seseorang yang saya sebut sebagai “bosku”
atau “Bro J”. Mereka berbondong-bondong, pergi ke tempat peribadatan untuk
merayakan hari kelahiran si juru selamat. Beberapa memaknainya sebagai sesuatu
yang sifatnya transenden, beberapa yang lain tidak dan itu bukan menjadi suatu
masalah. Tetapi bagi saya pribadi, momen seperti ini dapat dimaknai pula
sebagai suatu pemberhentian sejenak dari kehidupan yang terkadang selalu
memaksa kita untuk terus berlari, mengejar tentang apa-apa saja yang bahkan
sebenernya tidak pernah kita ketahui.
Kata “sejenak” sering
sekali hilang dalam diksi kehidupan saya, terlebih ketika sudah pindah dan
menetap untuk beberapa saat di Jakarta, menjadi “homo-jakartensis” yang
terjebak dalam rutinitas sembilan sampai lima. Apabila diberi pilihan, tentu saya
tidak akan memilih cara hidup seperti ini, tetapi tidak semua orang dilahirkan
dengan “keistimewaan” untuk memilih tentang cara hidup yang mereka
inginkan. Sejujurnya sampai detik ini, saya merasa masih lebih beruntung dibandingkan
orang-orang yang kerap saya temui di sekitaran Jakarta yang lebih keras
dibandingkan tidak sama sekali. Iya, Jakarta yang lebih keras dibandingkan
tidak sama sekali.
Jakarta yang katanya
keras itu mengajarkan banyak hal kepada saya, kalau kata dosen saya ketika
mengambil mata kuliah sosiologi kota, “Jakarta itu, laboratorium sosiologi yang
sangat menarik.” dan setelah hampir setahun tinggal di sini, saya mengiyakan pernyataan
tersebut. Di kota tersebut, kalian bisa melihat sepasang kekasih makan makanan
mewah sembari tertawa bahagia menikmati malam natal yang penuh dengan suasana
gembira. Di sisi yang lain, persis di sebelah restoran tersebut, ada sepasang
kekasih kelas menengah yang hanya bisa menikmati malam natal dengan kesederhanaan.
Tidak jauh dari tempat tersebut, di dalam gelapnya gemerlap kota “metropolitan”
tersebut, ada sepasang kekasih yang sama-sama berjuang untuk sekedar bertahan
hidup, jauh dari kata layak.
Sebuah kota yang bagi
saya pribadi, benar-benar menarik. Apa saja yang lewat seketika di kepala saya
bisa saling terhubung satu sama lain, mulai dari kerasnya kehidupan korporasi sembilan
sampai lima, dilanjut dengan pelarian “yang sedang berjuang” di bawah gemerlap lantai
dansa dan sedikit perapian, kemudian disusul dengan cerita-cerita khas di
daerah “yang sengaja terpinggirkan”, ada juga cerita tentang harapan dan
kekecawaan dalam ruang hampa “yang terkadang dibesar-besarkan”, kemudian berakhir
pada sebuah perayaan natal “yang sedikit kehilangan arahnya”.
Oke cukup sampai di sini,
awalnya saya hanya ingin menulis kalau edisi natal kali ini saya rayakan dengan
keberagaman, kesederhanaan yang jauh dari hingar-bignar dan absennya kehangatan
pelukan dari keluarga serta orang-orang terkasih, tetapi makin ke sini kok
malah makin ke sana kemari ya. Oke kita cukup sudahi sampai di sini saja.
Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini.
Selamat merayakan
apa saja yang harus dirayakan,
Krunk yang sedang melamun
seperti biasanya.