Selasa, 10 September 2024

tentang apa saja yang disemogakan

Aina,

Seorang wanita yang kutemui secara tidak sengaja dari sekian banyaknya kemungkinan, yang awalnya hanya kuanggap sebagai “kebetulan” saja, toh lagipula orang-orang datang dan pergi di dalam kehidupan kita yang mewaktu ini, jadi tidak perlu terlalu dipikirkan, ucapku beberapa bulan yang lalu ketika berbicara dengannya ketika sedang bermain peran.

Permainan peran yang pertama, mengambil latar belakang “masa lalu” yang menyajikan sebuah pementasan dua orang yang tidak saling kenal dan tidak saling peduli satu sama lain, hanya saja terpaksa untuk berbincang sekali dua kali, apa saja yang dibicarakan juga tidak jauh dari keputusasaan, pesimisme, ketidakpedulian dan hal-hal yang kami anggap “entahlah, aku benar-benar tidak peduli, toh lagipula hidup akan berakhir”.

Permainan peran yang kedua, mengambil latar belakang “pertemuan pertama” yang menyajikan sebuah pementasan sekelompok orang-orang yang sedang merayakan banyak hal di kuartal dua tahun tersebut, sebagian dari mereka merayakan dengan keterpaksaan, sebagian lagi dengan ketidaktahuan dan yang sebagian lagi adalah diriku, yang merayakan pertemuan dengan seseorang pada permainan peran yang pertama, masih tetap dalam kedaan acuh dan tidak peduli karena memang tidak ada yang benar-benar signifikan baginya dan juga diriku. Tapi setidaknya, sesekali pandanganku tidak pernah terlepas darinya ketika berbincang, terlebih ketika dia sedang mempraktekan sebuah atraksi berjudul “tarot”.

Permainan peran yang ketiga, mengambil latar belakang “perjalan yang jauh” yang sama-sama kami tempuh untuk bertemu, meski itu hanya sebuah kebetulan dan bukan tujuan utama kami pada saat itu. Dia menempuih jarak ratusan kilometer, sedangkan aku hanya belasan, tetapi supaya tulisan ini tetap terkesan “romantis” maka kita anggap sebagai jarak yang sama-sama jauh, sedikit memaksa tapi tidak apa. Kami bertemu di sebuah halte setelah menempuh perjalan yang jauh, aku masih mengingat betul dia menungguku sembari membaca sebuah buku, sore itu langit di kota tersebut mendung dan di sebagian daerah sedang turun hujan. Singkat cerita, kami memiliki waktu lebih banyak untuk berbincang dan bercerita tentang apa saja. Aku menyebutnya sebagai rumah, yang saat ini sedang kuupayakan, meski aku tidak pernah tahu apakah itu akan menjadi rumah yang benar-benar nyaman dan membawa kebahagiaan, tetapi setidaknya aku tahu bahwa bisa jadi rumah yang selama ini aku cari ada di depan mataku.

Permainan peran yang keempat, mengambil latar belakang “tentang apa saja yang disemogakan” yang mungkin sama-sama tidak kami ketahui beberapa hari yang lalu di kota asalnya. Permainan peran yang keempat kali ini benar-benar tidak direncanakan, kebetulan saja aku sedang menuju tempatnya dan tidak ada salahnya untuk mengajaknya bertemu, setidaknya akhir pekan kemarin benar-benar membuatku tersenyum dan merasa bahagia. Sejujurnya kami sama-sama tidak tahu harus pergi ke mana pada hari itu, tetapi dengan inisiatifnya dia mengajak untuk pergi ke hutan, sudah lama aku tidak menghabiskan akhir pekan seperti ini dan dia berhasil.

Aku memperhatikan beberapa hal detail dan menyadari bahwa dia berbeda dari orang-orang yang pernah ku temui. Ketika dalam perjalanan menuju hutan, kami memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah minimarket dan aku membeli dua botol air mineral karena tahu hari ini akan menjadi hari yang melelahkan. Sesampainya di mobil, aku cukup terkejut ketika dia mengeluarkan dua botol air dari tasnya yang ternyata sudah dia siapkan sebelum bertemu denganku. Sebuah hal kecil dan sederhana, tetapi aku yakin tidak banyak orang di luar sana akan mengupayakan hal tersebut, dan bagiku itu sangat manis di tengah kondisi peradaban yang semakin hari semakin menjadi biadab.

Ketika sampai di hutan tersebut, sebelum turun dan melanjutkan perjalanan mengelilingi hutan dan bercerita tentang banyak hal, aku benar-benar mengingat dia mengatakan sesuatu yang sampai detik ini masih membekas. “Wait, aku ada sesuatu buat kamu” kemudian dia mengeluarkan sebuah topi berwarna hitam dan memberikannya kepadaku. “Ini kamu pake ya, karena kita bakalan jalan-jalan di luar, takutnya hujan atau panas, ini punya ayahku.” aku hanya terdiam membisu, mengambil topi tersebut dan langsung memakainya di kepala.

Sisanya, adalah obrolan ngalor-ngidul sembari menempuh ribuan meter yang tidak perlu diceritakan, dan sedikit rencana gila untuk bisa hidup bersama yang dia anggap bercanda ketika sedang makan burger di dekat stasiun kepulangan.

Dengan penuh harapan, di Jakarta.

Krunk.

"Australia, right?"



Sabtu, 09 Maret 2024

di pertengahan bulan desember yang sunyi

 "dan pada tiap keheningan-keheningan yang ku temukan di setiap perjalanan, mereka nyata bersemayam dalam setiap perayaan."


Mereka memulai dengan sebuah pertanyaan-pertanyaan di sekitaran perayaan, berharap masing-masing dari mereka menemukan jawaban-jawaban atas ketidaktahuan yang sedang mereka renungkan.

Sesekali salah satu dari mereka menyalakan perapian, begitu pula dengan yang lain menyiapakn perarakan dan sisanya membantu dalam doa dari setiap apa saja yang mereka semogakan.




Senin, 19 Februari 2024

At the end of the day,


At the end of the day, when the sun dips below the horizon and shadows stretch across the canvas of existence, there's a stark realization that lingers in the quiet corners of our minds — the undeniable truth that, in the grand tapestry of life, we are fleeting, mere visitors on this ephemeral journey.


As the hands of time relentlessly move forward, we navigate the maze of experiences, hopes, and dreams. Yet, in the vast cosmic expanse, our narratives are but brief whispers, echoing momentarily before dissipating into the vastness of the unknown.


In the face of this inevitable truth, there is both a haunting melancholy and a profound liberation. The weight of transient struggles and fleeting victories is softened by the cosmic perspective that, at the end of the day, we all converge towards the same destination — the quiet embrace of eternity.


It's a reminder to savor the hues of each sunset, to dance in the rain of laughter, and to forge connections that defy the limitations of time. For in the end, our shared mortality becomes the common ground that unites us all, urging us to seek meaning, purpose, and connection in the brief interlude we call life.


Embrace the beauty in the ephemeral, the poetry in the passing moments, and let the awareness of our shared mortality inspire you to live authentically, love deeply, and leave an indelible mark on the fleeting canvas of existence. At the end of the day, amid the dance of shadows and the whispers of the wind, find solace in the understanding that, somewhere along the journey, you left a trace of your unique light in the tapestry of time.

Sabtu, 31 Desember 2022

Merayakan Keabsurdan di Jakarta

Dan perayaan-perayaan tersebut, bagi saya hanyalah sebuah satu checklist pemberhentian yang menyatakan bahwa hidup sudah mencapai momen transit di entah berantah. Cepat atau lambat tempat pemberhentian itu akan disambut dengan berbagai macam kesemogaan. Kesemogaan itu biasanya dibalut dengan optimisme, meski tidak sedikit yang memilih menu hidangan pesimisme untuk menyambutnya. Ada juga beberapa yang menyambutnya dengan berpuasa, terhadap ekspetasi dan pencapaian.

Beberapa hari yang lalu, banyak sekali orang-orang yang merayakan ulang tahun seseorang yang saya sebut sebagai “bosku” atau “Bro J”. Mereka berbondong-bondong, pergi ke tempat peribadatan untuk merayakan hari kelahiran si juru selamat. Beberapa memaknainya sebagai sesuatu yang sifatnya transenden, beberapa yang lain tidak dan itu bukan menjadi suatu masalah. Tetapi bagi saya pribadi, momen seperti ini dapat dimaknai pula sebagai suatu pemberhentian sejenak dari kehidupan yang terkadang selalu memaksa kita untuk terus berlari, mengejar tentang apa-apa saja yang bahkan sebenernya tidak pernah kita ketahui.

Kata “sejenak” sering sekali hilang dalam diksi kehidupan saya, terlebih ketika sudah pindah dan menetap untuk beberapa saat di Jakarta, menjadi “homo-jakartensis” yang terjebak dalam rutinitas sembilan sampai lima. Apabila diberi pilihan, tentu saya tidak akan memilih cara hidup seperti ini, tetapi tidak semua orang dilahirkan dengan keistimewaan untuk memilih tentang cara hidup yang mereka inginkan. Sejujurnya sampai detik ini, saya merasa masih lebih beruntung dibandingkan orang-orang yang kerap saya temui di sekitaran Jakarta yang lebih keras dibandingkan tidak sama sekali. Iya, Jakarta yang lebih keras dibandingkan tidak sama sekali.

Jakarta yang katanya keras itu mengajarkan banyak hal kepada saya, kalau kata dosen saya ketika mengambil mata kuliah sosiologi kota, “Jakarta itu, laboratorium sosiologi yang sangat menarik.” dan setelah hampir setahun tinggal di sini, saya mengiyakan pernyataan tersebut. Di kota tersebut, kalian bisa melihat sepasang kekasih makan makanan mewah sembari tertawa bahagia menikmati malam natal yang penuh dengan suasana gembira. Di sisi yang lain, persis di sebelah restoran tersebut, ada sepasang kekasih kelas menengah yang hanya bisa menikmati malam natal dengan kesederhanaan. Tidak jauh dari tempat tersebut, di dalam gelapnya gemerlap kota “metropolitan” tersebut, ada sepasang kekasih yang sama-sama berjuang untuk sekedar bertahan hidup, jauh dari kata layak.

Sebuah kota yang bagi saya pribadi, benar-benar menarik. Apa saja yang lewat seketika di kepala saya bisa saling terhubung satu sama lain, mulai dari kerasnya kehidupan korporasi sembilan sampai lima, dilanjut dengan pelarian “yang sedang berjuang” di bawah gemerlap lantai dansa dan sedikit perapian, kemudian disusul dengan cerita-cerita khas di daerah “yang sengaja terpinggirkan”, ada juga cerita tentang harapan dan kekecawaan dalam ruang hampa “yang terkadang dibesar-besarkan”, kemudian berakhir pada sebuah perayaan natal “yang sedikit kehilangan arahnya”.

Oke cukup sampai di sini, awalnya saya hanya ingin menulis kalau edisi natal kali ini saya rayakan dengan keberagaman, kesederhanaan yang jauh dari hingar-bignar dan absennya kehangatan pelukan dari keluarga serta orang-orang terkasih, tetapi makin ke sini kok malah makin ke sana kemari ya. Oke kita cukup sudahi sampai di sini saja. Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini.

Selamat merayakan apa saja yang harus dirayakan,

Krunk yang sedang melamun seperti biasanya.